Ungkapan di atas pasti sudah tidak asing lagi bagi banyak orang. Pacar atau suami/isteri disebut belahan jiwa (Bahasa Inggris “soulmate”). Dalam budaya Jawa, pasangan hidup disebut “separuh jiwa” (garwa = sigaraning nyawa).
Apakah istilah-istilah di atas boleh digunakan? Apakah makanya sejalan dengan ajaran Alkitab?
Pertanyaan seperti ini sebenarnya sukar untuk dijawab. Sebuah istilah biasanya digunakan dengan penekanan dan tujuan tertentu. Yang menciptakan maupun menggunakan istilah itu mungkin sadar dengan keterbatasan yang ada di dalamnya, tetapi mereka tetap menggunakannya. Orang lain yang tidak mengetahui hal itu bisa saja salah menafsirkan penggunaan itu.
Terlepas dari kesulitan di atas, kita mempunyai alasan yang memadai untuk tidak menggunakan istilah-istilah di atas. Secara historis maupun theologis, semua itu bermasalah atau, paling tidak, berpotensi menimbulkan kesalahpahaman.
Marilah kita mulai dengan memikirkan istilah “belahan jiwa”. Secara historis dan theologis, istilah ini sebaiknya tidak usah digunakan. Konsep di baliknya tidak selaras dengan ajaran firman Tuhan. Menurut banyak ahli, ungkapan “soulmate” (pasangan jiwa = belahan jiwa) berasal dari filsafat Yunani kuno tentang seks dan manusia. Dalam mitologi Yunani diceritakan bahwa pemisahan antara laki-laki dan perempuan seperti sekarang adalah akibat dari tindakan para dewa yang merasa terancam dengan kekuatan manusia-manusia yang sebelumnya memiliki empat kaki, empat tangan, dan satu muka dengan dua sisi serta jenis kelamin ganda. Para dewa lantas memisahkan manusia menjadi dua bagian (laki-laki dan perempuan) seperti sekarang. Sejak saat itu manusia baru akan menemukan sukacita kalau menemukan pasangannya.
Konsep ini secara theologis sukar untuk dibenarkan. Alkitab mengajarkan konsep “dari dua menjadi satu” (Kejadian 2:24), bukan “dari ½ + ½ menjadi satu”. Adam sudah menjadi manusia yang utuh dan sempurna, bahkan sebelum Hawa diciptakan bagi dia. Keutuhan Adam ada di dalam TUHAN, bukan pasangan. Hawa diciptakan untuk membuat Adam menjadi lebih baik, bukan lebih utuh.
Konsep Jawa juga bisa menimbulkan kesalahpahaman, seolah-olah kehidupan seseorang bergantung pada pasangannya. Pasangan hidup memang anugerah dari Tuhan yang sangat penting, tetapi dia tetap bukan penentu hidup kita. Setiap orang seharusnya tidak kehilangan semangat dan arti hidup sesudah ditinggalkan oleh pasangannya.
Jika ditelaah secara lebih mendalam, istilah-istilah di atas juga terkesan tidak adil bagi mereka yang tidak menikah atau tidak memiliki pasangan lagi. Jika seseorang baru menjadi sempurna ketika menemukan belahan jiwa, berarti mereka yang terpanggil untuk menjalani kehidupan selibat (tidak menikah) adalah orang-orang yang tidak utuh. Hal ini tentu saja keliru. Banyak pelaku selibat yang hidupnya jauh lebih utuh dan bermakna daripada mereka yang menikah. Yohanes Pembaptis, Yesus Kristus, dan Paulus adalah contohnya. Pernikahan tidak membuat kita utuh. Pernikahan bukan tempat untuk mendapatkan sesuatu, melainkan untuk berbagi sesuatu. Bukan untuk membuat orang lain utuh, tetapi membuat dia menjadi lebih baik. Soli Deo Gloria.