Istilah “feminisme” menjadi begitu populer sejak pertengahan abad ke-19. Gerakan ini telah menjamur dan berkembang begitu rupa sehingga sangat sulit untuk memberikan sebuah definisi yang dapat mewakili seluruh keragaman yang ada. Lagipula feminisme juga terjadi di berbagai bidang dan agama. Gerakan ini sangat masif dan lintas area.
Tanpa bermaksud terlalu menyederhanakan (oversimplikasi), feminisme dapat dipahami sebagai sebuah ideologi yang meyakini dan memperjuangkan kesejajaran seks (atau gender). Berbagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam budaya patriakhal (yang mendukung keutamaan laki-laki), terus digerus. Perempuan berhak diperlakukan tanpa diskriminasi. Berhak untuk diberi kesempatan yang sama. Berhak untuk menjadi pemimpin atas laki-laki.
Gerakan ini juga terjadi dalam kekristenan. Berbagai aspek sudah dikaji ulang dan diinterpretasikan dalam perspektif yang lebih berpihak pada perempuan. Ini terjadi dalam banyak bidang. Sebagai contoh, dalam liturgi, bahasa-bahasa yang cenderung maskulin coba diubah. Nama-nama tradisional dalam Allah Tritunggal (Bapa, Anak, Roh Kudus) diganti menjadi Pencipta, Penebus, dan Pemelihara. Dalam terjemahan Alkitab diusulkan bahasa inklusif (tanpa nuansa gender). Misalnya, “sons of God” (anak-anak laki-laki Allah) diganti “children of God” (anak-anak Allah). Teks-teks yang terlihat merendahkan perempuan (misalnya 1 Tim. 2:12) ditafsirkan ulang sehingga kesejajaran laki-laki dan perempuan menjadi lebih transparan.
Bagaimana kita seharusnya menyikapi ini? Menjawab pertanyaan ini jelas tidak mudah. Diperlukan ratusan, bahkan ribuan buku, untuk menuntaskan isu ini (itupun kalau bisa dituntaskan). Dalam artikel ini kita hanya akan mendekati persoalan ini secara sederhana (tanpa bermaksud terlalu menyederhanakan kerumitan yang ada).
Sikap pertama adalah mengapresiasi. Ada banyak hal positif yang dimunculkan melalui feminisme. Penindasan terhadap perempuan lebih mendapat sorotan dan kritikan. Kesempatan yang lebih besar bagi para perempuan untuk berkiprah di berbagai bidang juga terbuka lebar. Perempuan tidak lagi diposisikan sebagai kelompok marjinal (pinggiran) yang bisa diabaikan.
Walaupun demikian, kita perlu membedakan antara feminisme dan emansipasi. Antara feminisme dan feminitas. Alkitab sangat mendukung emansipasi dan feminitas. Perempuan dijadikan sebagai gambar Allah (Kej. 1:27). Perempuan dijadikan penolong (bukan pembantu) bagi laki-laki (Kej. 2:18). Beberapa tokoh Alkitab yang penting adalah perempuan (Ruth. Ester, Debora, Maria, Elisabet, dsb). Beberapa bahkan menjadi pemimpin (Debora, Maryam, Priskila).
Alkitab yang sama tetap menempatkan laki-laki sebagai kepala. Adam menamai Hawa (Kej. 2:23). Hawa diciptakan untuk Adam, bukan sebaliknya (Kej. 2:18). Ketika mereka berdua jatuh ke dalam dosa, yang diminta pertanggungjawaban pertama adalah Adam (Kej. 3:9-12). Ajaran ini tetap dipertahankan di Perjanjian Baru. Sebagai contoh, Paulus menegaskan perbedaan laki-laki dan perempuan serta posisi laki-laki sebagai kepala perempuan (1Kor. 11:7-10; Ef. 5:23).
Jadi, bagaimana kita seharusnya memahami dua kelompok data Alkitab di atas? Apakah laki-laki dan perempuan benar-benar sejajar ataukah laki-laki memang ditempatkan di atas perempuan? Kunci untuk memahami hal ini terletak pada istilah “kepala”. Posisi sebagai kepala adalah sesuatu yang positif. Sebagai kepala, laki-laki memimpin dengan penuh kasih-sayang (Ef. 5:28-30). Yang perlu ditentang adalah posisi laki-laki sebagai “penguasa”. Sebagai penguasa, laki-laki cenderung menggunakan kekerasan dan tekanan.
Hal lain yang perlu diperjelas adalah konteks. Pada dirinya sendiri, laki-laki dan perempuan memang tidak berbeda. Masing-masing harus saling menghargai dan merendahkan diri (Ef. 5:21). Tatkala mereka berkumpul bersama (terutama dalam pernikahan), laki-laki tetap adalah kepala (Ef. 5:22). Sebaliknya, walaupun laki-laki adalah kepala perempuan (1Kor. 11:7-10), tetapi di hadapan Tuhan keduanya sama saja (1Kor. 11:11). Laki-laki juga bergantung pada perempuan (1Kor. 11:12).
Jadi, ajaran Alkitab menyediakan sebuah perspektif yang seimbang. Di satu sisi memang laki-laki ditempatkan di atas perempuan. Namun, hal ini bukan berarti penindasan atau perendahan terhadap perempuan. Keduanya sama-sama berharga di hadapan Allah. Keduanya sama-sama berhak mendapatkan kesempatan-kesempatan yang berharga dalam hidup. Soli Deo Gloria.