Larangan untuk tidak menghakimi orang lain sudah sedemikian terkenal, terutama di kalangan orang-orang Kristen. Tuhan Yesus sendiri mengajarkan agar kita jangan menghakimi orang lain supaya kita sendiri tidak dihakimi (Mat. 7:1-5). Dengan dalih ingin menaati perintah ini, sebagian orang Kristen memilih untuk bersikap toleran dan permisif terhadap dosa orang lain. Beberapa bahkan beranggapan bahwa mereka tidak berhak untuk mengurusi atau menilai pandangan maupun sikap orang lain.
Dalam zaman pasca-kekristenan di Barat ini sekaligus bertahtanya pasca-modernisme dengan moralitas relatifnya, sikap menghakimi telah dipahami dalam cara yang berbeda dengan yang diajarkan di dalam Alkitab. Sama-sama dianggap negatif, tetapi dengan pemahaman yang berbeda. Artikel ini akan menyinggung tiga kesalahpahaman populer tentang sikap menghakimi.
Pertama, menyalahkan pandangan atau sikap orang dipandang sebagai tindakan menghakimi. Saya masih ingat dalam salah satu seminar saya tentang homoseksualitas ada beberapa anggota LSM yang pro-LGBT hadir di sana dan memberikan pertanyaan tajam selama sesi tanya-jawab. Pimpinan mereka mempertanyakan mengapa saya menghakimi mereka (atau kelompok LGBT). Saya pun bertanya balik mengapa mereka mendapatkan kesan seperti itu. Ternyata kesan itu didasarkan pada ketidaksetujuan saya terhadap homoseksualitas. Saya menganggap itu sebagai sebuah kesalahan. Dengan tenang saya bertanya lagi: “Apakah Anda menganggap pandangan saya ini benar atau salah?” Ketika dia menjawab dengan tegas bahwa pandangan saya salah, saya lantas mengajukan pertanyaan pamungkas: “Apakah itu berarti bahwa Anda sedang menghakimi saya?”
Kedua, tidak menyetujui pandangan atau sikap orang lain dianggap tidak mengasihi. Pada Juni 2020 Instagram meluncurkan fitur baru dalam Story, yaitu Pride. Fitur ini dimaksudkan sebagai dukungan terhadap komunitas LGBT. Salah satu hashtag yang dipopulerkan adalah #loveislove. Maksudnya, yang penting itu kasih, bukan menghakimi. Dalam kalimat lain, kalau mengasihi ya tidak usah menghakimi.
Persoalannya, definisi “menghakimi” yang diasumsikan di sana ternyata sangat spesifik: yang tidak menyetujui LGBT berarti tidak mengasihi mereka. Mereka memandang persetujuan sebagai wujud kasih dan ketidaksetujuan sebagai wujud kebencian atau ketidakpedulian. Konsep seperti ini jelas mengandung kekeliruan logis dan praktis. Mereka telah terjebak pada kekeliruan dilema semua (false dilemma). Tidak menyetujui dan mengasihi tidak harus dikontraskan. Lagipula dalam kehidupan sehari-hari kasih justru diekspresikan ketika seseorang terpaksa tidak menyetujui sikap atau keputusan orang lain yang dianggap salah dan bisa membahayakan orang tersebut.
Ketiga, menyalahkan pandangan orang lain dipandang mencampuri urusan orang lain. Mereka yang berpandangan seperti ini biasanya menganggap moralitas berada dalam ranah personal. Semua terserah masing-masing orang. Dalam konteks Indonesia mentalitas ini diungkapkan melalui beragam cara, misalnya “Loe loe gue gue, yang penting loe gak nyenggol gue”.
Tidak sukar untuk menemukan kesalahan dalam pandangan di atas. Jika moralitas benar-benar masalah personal, orang itu juga tidak boleh mengekspresikan pandangan moralnya di ranah publik. Dia tidak boleh secara terbuka memberikan dukungan terhadap suatu tindakan. Begitu dia mengutarakan pendapat moral di ranah publik, dia sedang mengundang orang lain untuk menyikapi pandangannya. Di samping itu, pandangan tersebut menyiratkan ketidaksiapan orang itu untuk menguji keabsahan pandangannya. Jika dia meyakini bahwa pandangannya benar, dia seharusnya tidak usah kuatir dievaluasi oleh orang lain. Biarlah dia berdiskusi dengan orang yang menyalahkan dia, lalu membiarkan banyak orang untuk menilainya.
Pandangan ini juga sukar untuk diterapkan dalam kehidupan. Jika seseorang benar-benar menganggap moralitas berada di ranah personal, orang itu juga tidak berhak untuk menyalahkan orang lain yang menyalahkan dia. Bukankah sikap orang lain itu juga termasuk ranah personal bagi orang itu? Untuk apa dia mengurusi orang lain yang melakukan kesalahan? Jika dia merasa berhak untuk mencampuri karena dia lebih dahulu dicampuri, itu menunjukkan bahwa moralitas tidak benar-benar personal. Moralitas dapat dijadikan konsumsi publik apabila terjadi persentuhan kepentingan antar dua pihak yang berseberangan. Dengan demikian siapa saja yang merasa terganggu dengan sikap atau pilihan orang lain juga berhak untuk mencampuri sikap atau pilihan itu.
Tiga kesalahpahaman di atas muncul karena manusia berusaha untuk mendirikan kebenarannya sendiri. Sama seperti Hawa, mereka mau memiliki otonomi moral untuk menentukan yang baik dan yang jahat (Kej. 3:6). Sama seperti Pilatus, mereka bertindak sok tahu padahal tidak tahu apa-apa (Yoh. 18:38). Itulah yang akan terjadi pada mereka yang tidak cukup rendah hati untuk mengakui firman Allah sebagai kebenaran yang membenarkan manusia (Yoh. 17:17). Soli Deo Gloria.