Ayat di atas termasuk salah satu teks Alkitab yang paling sering diperdebatkan dan disalahtafsirkan. Seperti Paulus, sebagian hamba Tuhan menggunakan ayat ini sebagai dorongan kepada jemaat untuk memberikan persembahan barang atau uang. Tidak seperti Paulus, mereka memahami teks ini sebagai sebuah janji yang berkaitan dengan kelimpahan secara materi. Kristus rela menjadi miskin (secara finansial), supaya kita menjadi kaya (secara finansial).
Benarkah ayat ini berbicara tentang kekayaan dan kemiskinan secara finansial?
Secara sekilas teks ini mungkin bisa diarahkan ke sana. Konteks 2 Korintus 8-9 adalah tentang pengumpulan bantuan untuk orang-orang kudus di Yerusalem (8:4; 9:1-2). Jadi, topiknya tentang materi. Lagipula, Kristus memang benar-benar hidup dalam kemiskinan selama Dia menjadi manusia di dunia. Sebagai contoh, Dia tidak mampu membayar bea bait Allah, sampai-sampai Dia perlu mengadakan mujizat hanya untuk membayarnya (Mat. 17:24-27).
Walaupun demikian, penyelidikan lebih mendalam justru membawa kita pada arah yang berlainan. 2 Korintus 8:9 bukanlah sebuah janji. Kekayaan dan kemiskinan di teks itu juga tidak boleh dibatasi secara finansial. Ada banyak petunjuk ke arah sana.
Pertama, kata “kaya” (plousios/plouteÅ) sudah muncul di ayat 2 (ploutos). Di sana juga ada kontras antara kemiskinan dan kekayaan. Nah, kekayaan di ayat 2 dipahami sebagai kekayaan secara kemurahan. Masalah hati, bukan materi.
Kedua, kata “kaya” juga muncul di ayat 7. Jemaat Korintus bukan hanya kaya (LAI:TB), tetapi melimpah (perriseuÅ, mayoritas versi Inggris) dalam banyak hal: iman, perkataan, pengetahuan, kesungguhan dalam membantu, dan kasih. Sudah sewajarnya apabila mereka juga kaya dalam pelayanan kasih atau memberi bantuan materi (ayat 7b). Jika kekayaan di ayat 7 adalah secara spiritual, atas dasar apa kekayaan di ayat 9 ditafsirkan secara finansial?
Ketiga, ayat 9 berkaitan dengan ketulusan kasih jemaat Korintus (ayat 8b “aku mau menguji keikhlasan kasih kamu”). Secara lebih spesifik, kata sambung “karena” (gar) di awal ayat 9 menyiratkan sebuah alasan bagi ketulusan itu. Jemaat Korintus memberi bukan dengan motivasi apa-apa, selain sebagai ucapan syukur atas kasih karunia yang mereka telah kenal dalam Kristus Yesus. Jika ayat 9 dipahami sebagai janji dan melalui pemberian itu jemaat Korintus akan menjadi lebih kaya, bukankah pemberian mereka justru terlihat tidak tulus? Bukankah itu memanipulasi dan bukan mengasihi?
Keempat, fokus utama di ayat 1-9 adalah pemberian jemaat Makedonia yang luar biasa. Mereka dalam keadaan miskin dan teraniaya (ayat 2), tetapi mereka rela memberi melebihi kemampuan mereka (ayat 3). Mereka bahkan mendesak Paulus agar mau melibatkan mereka dalam penggalangan bantuan tersebut (ayat 4). Persembahan mereka benar-benar melampaui harapan Paulus (ayat 5). Kasih karunia yang melimpah ini sengaja diceritakan kepada jemaat di Korintus supaya mereka tergerak untuk memberi (ayat 8). Poin yang ingin ditunjukkan adalah ini: kemiskinan bukanlah halangan untuk memberi. Memberi itu tentang hati, bukan jumlah materi. Jika ini adalah poin yang ingin disampaikan oleh Paulus, tidak mungkin dia mendorong jemaat Korintus untuk memberi dengan memberi mereka iming-iming atau rayuan kekayaan secara jasmani. Hal itu akan bertabrakan dengan inti pesan yang dia ingin tegaskan di ayat 1-9.
Jadi, Kristus yang kaya rela menjadi miskin tidak boleh dibatasi secara finansial. Kekayaan Kristus di sini lebih merujuk pada kemuliaan, kekuasaan, hikmat dan segala sesuatu pada diri-Nya yang sempurna. Ketika Dia menjadi manusia, Dia tidak menggunakan semua itu semau Dia. Dia belajar begantung pada Bapa-Nya. Dia melakukan semuanya itu bagi kita. Dia memberi teladan kepada kita. Kalau Dia yang begitu sempurna saja mau melepaskan semuanya demi kita, masakan kita tidak berani melepaskan apa yang kita miliki demi orang lain? Soli Deo Gloria.