Sintaks
Aspek tata bahasa yang lebih luas daripada morfologi adalah sintaks. Kalau morfologi hanya melihat sebuah kata pada dirinya sendiri, sintaks membahas posisi kata atau struktur kalimat. Dengan kata lain, sintaks menyinggung tentang keterkaitan antar kata atau kalimat.
Penyelidikan sintaks tidak terelakkan bagi kita, karena perbedaan sintaktikal yang cukup kentara antara bahasa asli Alkitab dan Indonesia. Sebagai contoh, Bahasa Yunani seringkali menggunakan sebuah kalimat yang sangat panjang (terdiri dari beberapa anak kalimat), sedangkan Bahasa Indonesia cenderung lebih pendek. Tidak heran, dalam terjemahan, sebuah kalimat Yunani kadangkala harus dipisah-pisah menjadi beberapa kalimat (bdk. Ef 1:3-14 yang merupakan satu kalimat dalam teks Yunani). Contoh lain adalah penggunaan kata sifat dalam Bahasa Ibrani/Aram. Salah satu cara mengungkapkan kata sifat adalah dengan meletakkan dua kata benda secara berdekatan, yang kedua merupakan keterangan sifat untuk yang pertama (Tuhan kemuliaan = Tuhan yang mulia).
Lebih jauh, penggunaan sebuah kalimat yang panjang seringkali menimbulkan persoalan seputar keterkaitan kata. Kadangkala sebuah kata merujuk balik pada atau menjelaskan kata lain yang terletak cukup jauh di depan kata itu. Seandainya di antara dua kata tersebut tidak ada kata lain yang bisa dijadikan kandidat rujukan (disebut antiseden), struktur semacam ini tidak akan menimbulkan kesulitan. Kenyataannya, dalam beberapa kasus terdapat lebih dari satu kandidat.
Dalam kasus-kasus yang tidak melibatkan kalimat panjang pun kerancuan semacam ini dapat terjadi. Contoh: Apakah frase terakhir di Roma 9:5 ‘Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya’ menerangkan Mesias atau Bapa? Jika kita menganggap bagian ini sebagai doksologi, maka frase ini terpisah dari ayat sebelumnya, sehingga kemungkinan besar ditujukan pada Bapa. Beberapa penafsir bagaimana tetap mencoba memahami frase ini sebagai rujukan pada Mesias.
Walaupun penyelidikan sintaks dalam Bahasa Yunani terkesan rumit, tetapi tetap ada petunjuk yang memudahkan. Selain pertimbangan konteks, kesesuaian tata bahasa juga menolong kita untuk menebak keterkaitan antar kata. Sebuah kata yang menerangkan kata lain biasanya memiliki poin-poin gramatikal yang sama. Sebagai contoh, kata ganti penunjuk (‘ini’ atau ‘itu’) hampir selalu memiliki jenis kelamin dan jumlah yang sama dengan kata yang diterangkan, kecuali dalam kasus constructio ad sensum (konstruksi kalimat berdasarkan pertimbangan rasa). Dalam beberapa teks, hal ini sangat berkaitan dengan ajaran teologis yang penting. Misalnya, apakah kata ‘itu’ (berjenis kelamin neuter) yang muncul dua kali di Efesus 2:8-9 merujuk pada iman, kasih karunia, keselamatan, atau keseluruhan prosesnya?
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penyelidikan konteks adalah tingkatan kalimat: apakah sebuah kalimat merupakan induk kalimat atau anak kalimat. Seperti sudah disinggung sebelumnya, relasi seperti ini seringkali sulit dideteksi dalam terjemahan, karena sebuah kalimat Yunani yang panjang seringkali dijadikan beberapa kalimat yang terpisah. Contoh: 1 Petrus 1:6-7 dalam terjemahan LAI:TB terkesan terdiri dari dua perintah: merendahkan diri (ayat 6) dan menyerahkan kekuatiran (ayat 7). Dalam teks Yunani kedua ayat ini membentuk kesatuan dengan induk kalimat terletak pada ayat 6. Beberapa versi Inggris secara tepat memperlakukan ayat 7 sebagai anak kalimat yang menerangkan ayat 6. Jadi, posisi ayat 6 dan 7 tidak sejajar. Menyerahkan kekuatiran kepada Tuhan berfungsi untuk menerangkan merendahkan diri di bawah tangan Tuhan yang kuat. Dengan demikian terdapat keterkaitan yang sangat erat antara kerendahhatian dan penyerahan kekuatiran.
Tidak seperti analisa kosa kata yang berfokus pada arti kata, analisa tata bahasa membahas dua hal yang berkaitan dengan arti kalimat secara keseluruhan. Beberapa hal tersebut adalah morfologi (bentuk gramatikal dari suatu kata) dan sintaks (posisi kata atau struktur kalimat). Pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang hal ini akan sangat menentukan ketepatan penafsiran.
Morfologi
Aspek ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi kita, karena perbedaan yang besar antara bahasa asli Alkitab dan Bahasa Indonesia. Sebagai contoh, Bahasa Yunani merupakan bahasa yang sangat kaya dengan morfologi, sedangkan Bahasa Indonesia jutsru sebaliknya. Satu kata dalam Bahasa Yunani menyampaikan informasi lebih banyak daripada satu kata Indonesia.
Dalam kaitan dengan kata kerja, misalnya, sebuah kata kerja Yunani sudah menyiratkan beberapa aspek dari kata itu:
Jenis kalimat (mood): pernyataan, perintah/larangan, harapan, pengandaian, ajakan, dsb.
Kaitan antara subyek dan kata kerja (voice): aktif (subyek melakukan tindakan), pasif (subyek dikenai tindakan), middle (subyek melakukan tindakan untuk dirinya sendiri)
Subyek yang melakukan: saya, kamu, dia, kami/kita, kalian, mereka
Keterangan waktu (tense): present, aorist, future, perfek, imperfek
Misalnya: kata agapaō berarti “saya terus-menerus/sedang mengasihi” (dari kata dasar agapa = mengasihi ditambah akhiran ō yang menerangkan subyek (‘saya’) dan keterangan waktu dari agapa (‘present’). Seandainya akhiran ō berubah, kita akan menemukan arti yang berbeda.Contoh: agapēseis = kamu harus mengasihi/kasihilah (Mat 5:43).
Hal yang sama berlaku pada kata benda. Sebuah kata benda Yunani sudah menyiratkan beragam aspek:
Jumlah (number): tunggal atau jamak
Jenis kelamin (gender): maskulin, neuter, feminin
Posisi dalam kalimat (case): vokatif (sappan), nominatif (subyek), genitif (milik/sumber), datif (obyek tidak langsung), akusatif (obyek langsung)
Pola perubahan morfologi (declension): deklensi 1, 2, atau 3
Perbandingan yang sederhana adalah caa membentuk kata kerja jamak. Untuk membentuk kata benda jamak, Bahasa Indonesia perlu mengulang sebuah kata benda atau memberikan tambahan kata yang menunjukkan jumlah jamak. Contoh: batu-batu, beberapa batu, banyak batu. Dalam Bahasa Yunani, satu kata sudah menyiratkan jumlah dari kata benda itu. Misalnya: lithos = batu (tunggal), lithous = batu (jamak). Yang menentukan di sini adalah akhiran yang digunakan (os atau oi). Bukan hanya jumlah kata, tetapi jenis kelamin, deklensi, dan kasus dari kata itu juga langsung dapat diketahui. Misalnya: lithos = maskulin, deklensi 2, kasusnya sebagai subyek (nominatif), sedangkan lithous = maskulin, deklensi 2, kasusnya obyek (akusatif).
Kita masih bisa memperpanjang contoh-contoh perbedaan morfologi antara bahasa asli Alkitab dan bahasa kita, namun pemaparan di atas sudah cukup untuk menjelaskan bahwa pengetahuan morfologi merupakan kebutuhan pokok dalam penafsiran. Membaca terjemahan Bahasa Indonesia dengan teliti sesuai konteksnya memang sudah cukup untuk menghindarkan kita dari kesesatan fatal, tetapi penguasaan morfologi akan membantu kita menemukan kekayaan Alkitab secara lebih mendalam. Dalam bagian selanjutnya kita akan melihat contoh-contoh praktis bagaimana penguasa morfologi menghasilkan penafsiran yang menarik dan mendalam.
Analisa tata bahasa juga menuntut kita untuk memperhatikan urutan kata dalam suatu kalimat. Hal ini tidak terelakkan dalam studi bahasa Alkitab, terutama dalam Bahasa Yunani. Kalimat Yunani tidak mengikuti pola subyek – predikat – obyek, karena fungsi kata dalam kalimat (sebagai subyek atau obyek) tidak dideteksi melalui posisi mereka terhadap kata kerja (sebelum kata kerja = subyek, sesudah kata kerja = obyek), melainkan dari bentuk tata bahasa (morfologi) mereka. Di manapun sebuah kata benda diletakkan, penafsir yang terlatih dalam Bahasa Yunani akan mampu mengetahui fungsi itu dalam kalimat.
Dengan kata lain, penulis Alkitab – sama seperti penulis kuno Yunani lainnya - memiliki kebebasan yang sangat besar untuk mengatur kalimatnya sesuai dengan yang ia inginkan. Pada saat seorang penulis meletakkan sebuah kata di awal kalimat kalimat, hal itu seringkali menunjukkan penekanan yang ia ingin sampaikan kepada pembaca. Dalam contoh sebelumnya di 1 Petrus 5:7 kata ‘segala kekuatiran’ sengaja diposisikan di awal kalimat untuk menyampaikan pesan bahwa yang penting bukan cuma tindakan kita terhadap kekuatiran (menyerahkannya kepada Allah) tetapi juga kuantitas dari kekuatiran yang diserahkan (segalanya). Kita didorong untuk menyerahkan ‘segala kekuatiran’ kita.
Aspek sintaks yang lain yang tidak kalah penting adalah pemunculan sebuah subyek secara eksplisit. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, sebuah kata kerja Yunani sudah menyiratkan subyek dan tindakan. Tanpa tambahan subyek secara terpisah pun, pembaca sudah bisa mendeteksi subyek yang ada di sebuah kata kerja. Apabila seorang penulis masih menambahkan kata khusus sebagai subyek, hal itu pasti bukan tanpa tujuan. Ia mau menunjukkan penekanan atau penegasan. Ia ingin menunjukkan nilai penting dari subyek tersebut.
Contoh yang paling populer adalah ucapan Tuhan Yesus di Yohanes 14:6 “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup”. Dalam teks Yunani ucapan ini didahului dengan subyek khusus, yaitu egō, dan diikuti oleh kata kerja eimi yang sudah memiliki arti ‘Aku adalah’. Jika diterjemahkan secara hurufiah, kalimat ini terlihat sebagai berikut: “Aku, Aku adalah jalan itu dan kebenaran itu dan kehidupan itu”. Pemunculan kata egō dimaksudkan untuk memberi penekanan bahwa “Aku [dan hanya Aku] adalah jalan itu dan kebenaran itu dan kehidupan itu”. Tidak heran di bagian selanjutnya Tuhan Yesus menambahkan ‘tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku” (ayat 6b).