Lanjutan dari https://rec.or.id/tindakan-ham-terhadap-nuh-kejadian-921-23/
Perbuatan Nuh (9:21)
Kej. 6:9 menyatakan Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah. Kalimat inilah yang pada akhirnya membuat pembaca memberi kesimpulan bahwa Nuh tidak mungkin berbuat yang tidak benar seperti halnya melakukan kemabukan sampai menelanjangi diri (9:21). Bagaimanakah orang yang hidup bergaul dengan Allah sampai tidak sadarkan diri karena mabuk? Tidaklah mengherankan ada beberapa orang yang berusaha mempertahankan bahwa Nuh yang di Kej. 6:9-9:17 bukanlah Nuh yang sama di Kej. 9:21. Ada juga yang menafsirkan bahwa kejatuhan Nuh terjadi karena dia hanya menanam anggur, bukan tanaman lainnya. Beberapa penafsir lain mengatakan bahwa Nuh menjadi sombong sehingga itu memicu pada kejatuhannya. Penafsiran ini dikaitkan dengan adanya mandat dan kesempatan dari Tuhan terhadap Nuh untuk memulai masyarakat baru (Kej. 9:1-17), membuat Nuh menjadi sombong dan berakibat pada kemabukan di kemahnya. Memang terdengar menggelikan dan dipaksakan, namun itulah beberapa usaha untuk memahami tindakan kemabukan Nuh.
Sebenarnya kemunduran/kejatuhan setiap tokoh tertentu bukan merupakan sesuatu yang baru pada kitab Kejadian atau dalam keseluruhan Alkitab. Dapat dikatakan bahwa kemabukan Nuh merupakan sesuatu yang lumrah sebagai manusia (lumrah bukan berarti sesuatu yang dibenarkan). Kejatuhan Nuh melalui kemabukannya ini justru sebenarnya bagus untuk menggambarkan natur manusia yang berdosa. Tidak ada satupun tokoh di Alkitab, sebaik apapun yang ‘suci’, kecuali Tuhan Yesus. Adam sebagai manusia pertama juga gagal; Abraham yang disebut sebagai tokoh iman pun akhirnya gagal; bahkan Musa, tokoh yang digambarkan memiliki kedekatan khusus dengan Tuhan, akhirnya harus mengalami kegagalan pula.
Hal lain yang harus dipahami adalah ungkapan ‘Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah‘ (6:9) muncul setelah kemunculan pernyataan ‘Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN’ (Kej. 6:8). Penempatannya ini mengkonfirmasi bahwa kasih karunia atau anugerah Allah-lah yang menjadikan Nuh sebagai orang benar, tidak bercela dan dapat bergaul dengan Allah. Jika kita membaca bagian-bagian sebelumnya, tidak ada gambaran dari tindakan Nuh yang layak membuat Allah memberikan anugerahNya kepadanya. Di tengah kejahatan dunia yang semakin parah (Kej. 6:5-7), nama Nuh muncul sebagai kontras dan langsung diikuti dengan penjelasan bahwa ada anugerah Allah yang khusus diberikan kepada Nuh. Nuh adalah keturunan dari Lamekh (Kej. 5:28-29). Namun Lamekh yang dimaksud bukanlah Lamekh yang terkenal sebagai tokoh yang melakukan poligami pertama dalam Alkitab (Kej. 4:19) dan melakukan pembunuhan (4:23-24). Lamekh yang adalah bapak dari Nuh adalah Lamekh yang berasal dari garis keturunan Set (5:3). Lamekh yang adalah bapak Nuh ini memberikan pernyataan pengharapan saat Nuh lahir: Anak ini akan memberi kepada kita penghiburan dalam pekerjaan kita yang penuh susah payah di tanah yang telah terkutuk oleh TUHAN (Kej. 5:29). Nama Nuh memiliki akar kata yang sama dengan kata ‘penghiburan’. Intinya adalah ketika Nuh dapat berbuat yang lebih baik dari orang-orang sejamannya, itu dikarenakan anugerah Allah buatnya.
Namun ada unsur yang menarik lainnya dari ucapan Lamekh tentang Nuh yang berhubungan dengan profesi Nuh sendiri. Ada unsur ‘tanah’ di perkataan Lamekh ketika memberi nama Nuh : …. di tanah yang telah terkutuk oleh TUHAN (Kej. 5:29). Dan di Kej. 9:20 dikatakan: Nuh menjadi petani; dialah yang mula-mula membuat kebun anggur. Kata ‘petani’ itu dalam bahasa Ibraninya adalah ish ha'adamah yang artinya ‘the man of the land’. Beberapa terjemahan bahasa Inggris menggunakan terjemahan yang berbeda seperti: man of the soil, husbandman, farmer atau tiller of the soil. Hidup Nuh berhubungan dengan nama yang diharapkan oleh bapaknya. Dia berharap dari tanah yang dikutuk oleh Tuhan, dia dapat menjadikan tanah itu sebagai penghiburan. Hal itu memang terjadi ketika Nuh akhirnya membuat kebun anggur. Dia mengusahakan tanah sehingga kebun anggur itu memperoleh hasil yang baik. Namun dari hasil kebun anggur yang baik itulah akhirnya menggiring Nuh pada tindakan berdosa, yaitu mabuk.
Nuh berdosa dalam hal ini, namun apakah yang Nuh lakukan ini memang sebuah tindakan yang dia lakukan berulang-ulang, dalam arti bahwa Nuh tahu jika minum anggur akan mengakibatkan kemabukan? Sebenarnya ada kata yang menggiring pada pemahaman bahwa ada kemungkinan Nuh tidak mengetahui bahwa minum anggur dalam jumlah yang banyak akan berakibat sesuatu yang buruk dan ini terjadi karena adanya perbedaan terjemahan. Kata itu adalah : …. Nuh menjadi petani; dialah yang mula-mula membuat kebun anggur (9:20). Dari kalimat di atas, ada kesan bahwa Nuh-lah orang yang pertama kali membuat kebun anggur, sehingga dalam ketidaktahuannya tentang anggur ini, Nuh kemudian memakan atau meminum hasil dari kebunnya; akibatnya dia mengalami kemabukan. Dengan interpretasi seperti ini Nuh dianggap tidak berdosa dengan kemabukannya karena memang dia tidak mengetahuinya.
Penafsiran ini salah karena dalam versi bahasa Ibrani-nya tidak ada keterangan bahwa ‘Nuh-lah yang mula-mula membuat kebun anggur’. Justru terjemahan yang tepat adalah ‘Nuh ‘mulai’ menjadi petani atau bertanam dan dia menanam anggur’. Kalimat ‘Nuh mulai menjadi petani’ itu muncul dalam konteks peristiwa setelah berlalunya air bah. Dalam profesinya sebagai petani itulah Nuh memilih untuk menanam anggur dan melakukan dosa dengan meminum anggur sampai mabuk. Jadi apapun alasannya, tindakan mabuk Nuh tidak dapat dibenarkan.