Tidak Malu Dengan Injil (2 Timotius 1:6-8)

Posted on 07/10/2018 | In Teaching | Leave a comment

Hampir semua orang Kristen dengan sigap akan mengamini bahwa Injil merupakan kabar baik dari Allah yang membawa jaminan kehidupan kekal. Kematian tidak lagi menakutkan karena di seberang sana ada kehidupan lain yang lebih menggembirakan.

Ironisnya, tidak semua orang Kristen siap mati bagi Injil. Mereka hanya mensyukuri kehidupan yang diperoleh dari Injil tetapi tidak berani mengorbankan kehidupan bagi Injil. Penganiayaan dan kematian seringkali menjadi momok yang menakutkan.

Bagaimana kita tetap mampu mengikuti dan melayani Tuhan dengan setia di tengah tantangan dan bahaya yang ada? Pertanyaan inilah yang akan dikupas dalam teks kita hari ini. Sebelum menguraikan teks secara lebih detil, kita perlu memahami dua hal terlebih dahulu: latar belakang nasihat dan makna “malu”.

Sehubungan dengan latar belakang, banyak teolog Injili meyakini bahwa surat ke-2 untuk Timotius berkaitan dengan penganiayaan yang makin masif dan intensif di bawah kekuasaan Kaisar Nero. Penganiayaan yang semakin meningkat telah memakan banyak korban. Paulus sendiri sedang berada di dalam penjara pada waktu menuliskan surat ini (1:8). Berbeda dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya, kali ini dia merasa bahwa pemenjaraannya akan berujung pada hukuman mati (4:6-8).

Di tengah situasi seperti ini beberapa orang yang biasa mendampingi dan menolong Paulus dalam pelayanan justru berpaling dari dia. Figelus dan Hermogenes meninggalkan dia karena alasan keamanan (1:15). Dimas mengambil keputusan yang sama demi kenikmatan dunia (4:10).

Tentu saja tidak semua orang mengambil tindakan yang sama. Beberapa tetap bertahan. Keluarga Onesiforus mengunjungi Paulus di penjara tanpa takut (1:16). Timotius juga terus meneladani Paulus (3:10-11).

Sehubungan dengan makna “malu”, kita tidak boleh memahami hal ini secara psikologis, misalnya sungkan atau malu dalam berkata-kata. Malu di sini lebih ke arah sosial. Maknanya lebih berhubungan dengan aib sebagai kontras terhadap kehormatan. Mereka akan diberi cap atau label sosial yang negatif. Pengucilan dan kehilangan dukungan dari komunitas bisa terjadi pula. Itulah sebabnya “malu” dalam surat ini secara konsisten dikaitkan dengan penderitaan atau pemenjaraan, bukan sekadar penolakan (1:8, 12; 16).

Di tengah keadaan seperti inilah Paulus memberikan nasihat kepada Timotius di 1:6-8. Dia memperingatkan Timotius untuk mengobarkan karunianya dan tidak menjadi takut atau malu tentang Injil (ayat 7 “bukan roh ketakutan”; ayat 8 “janganlah malu”). Kita tidak bisa memastikan apakah Timotius belum atau sudah mengalami ketakutan maupun rasa malu terhadap Injil. Yang jelas, dua bahaya ini – takut dan malu – saling berkaitan dan menjadi persoalan yang riil. Beberapa orang sudah takluk pada dua bahaya ini (1:15).

 

Isi nasihat: mengobarkan karunia Allah (ayat 6a)

Kata “mengobarkan” (anazōpyreō) hanya muncul sekali di Perjanjian Baru. Penggunaan kata ini di Septuaginta menyiratkan sesuatu yang sudah redup dan perlu dikobarkan lagi. Semangat Yakub kembali dibangkitkan ketika melihat kereta yang dikirimkan oleh Yusuf untuk menjemput dia ke Mesir (Kej. 45:27). Hal ini secara eksplisit dikontraskan dengan hati Yakub sebelumnya yang dingin (Kej. 45:26). Kata anazōpyreō juga muncul di Apokrifa (1 Makabe). Pada waktu Trifo, pejabat Mesir dari dinasti Ptolemues, mengirim pasukan ke Yerusalem,  Simon berusaha membesarkan hati bangsa itu. Perkataan heroiknya mampu membuat semangat bangsa itu kembali dibangkitkan (1Mak. 13:7).

Berdasarkan dua penggunaan ini, tidak berlebihan apabila kita menduga bahwa Timotius memang sudah mengalami kemerosotan semangat dalam menggunakan karunianya. Dugaan ini semakin kuat jika dibandingkan dengan nasihat kepada Timotius di surat sebelumnya. Di sana Paulus hanya berkata: “Jangan lalai dalam menggunakan karunia yang ada padamu” (1Tim. 4:14a).

Seberapa parah keadaan Timotius pada saat surat ke-2 ditulis, kita tidak bisa memastikan. Yang bisa dipastikan adalah penyebabnya, yang berkaitan dengan penderitaan (bdk. “ketakutan” dan “malu” di 1:7-8). Itulah sebabnya Paulus beberapa kali menasihati Timotius supaya tidak malu dalam memberitakan Injil (1:8; 2:15).

Timotius perlu terus-menerus mengobarkan karunia Allah dalam dirinya. Makna itulah yang tersirat dari kata kerja present yang digunakan di sini (anazōpyrein). Beragam situasi, terutama tekanan dan penderitaan, berpotensi melumpuhkan hasrat seseorang untuk menggunakan karunianya. Roh kita harus tetap menyala-nyala dalam melayani Tuhan (Rm. 12:11). Jangan memadamkan Roh (1Tes. 5:19). Ingat, karunia adalah sebuah kepercayaan, bukan kepemilikan. Jikalau kita tidak setia, hal itu akan diambil dari diri kita.

 

Dasar nasihat  (ayat 6b-8)

Paulus tidak hanya memberikan nasihat. Dia juga menjelaskan beberapa cara untuk melakukan hal itu. Kata kuncinya adalah anamimnēskō (ayat 6, LAI:TB “memperingatkan”). Secara hurufiah, kata ini berarti “mengingatkan” (semua versi Inggris, kontra LAI:TB).

Apa saja yang perlu diingat supaya kita mampu mengobarkan karunia Allah dalam diri kita di tengah semua tekanan yang ada?

Pertama, mengingat peneguhan atas karunia kita (ayat 6b). Dalam bagian ini Paulus memberi keterangan tambahan tentang karunia Allah yang dia maksud. Karunia itu ada dalam diri Timotius melalui penumpangan tangannya. Menilik surat sebelumnya (1Tim. 4:14), kita dapat mengetahui bahwa penumpangan tangan itu tidak dilakukan oleh Paulus seorang diri. Seluruh penatua turut menumpangkan tangan. Peneguhan atas karunia itu juga dilakukan melalui nubuat. Dengan kata lain, pemberian dan peneguhan karunia itu tidak mungkin keliru.

Poin ini terlihat sederhana, tetapi tidak boleh diremehkan. Pelayanan tidak mudah. Banyak hambatan dan tantangan. Hasilnya juga tidak selalu bisa terlihat. Keputusasaannya kadang menghadang. Di tengah situasi seperti ini, kita tidak boleh berkecil hati. Tengoklah ke belakang kepada Allah yang memanggil kita. Dia tidak pernah salah memanggil. Dia tidak pernah salah mempercayakan suatu karunia.

Kedua, mengingat roh yang Tuhan berikan dalam diri kita (ayat 7). Kata sambung “sebab” di awal ayat 7 menunjukkan keterkaitan antara penumpangan tangan di ayat 6 dengan pemberian roh yang positif di ayat 7. Melalui penumpangan tangan itulah Allah memberikan roh tersebut. Dengan kata lain, Allah tidak hanya memberikan karunia roh, tetapi Dia juga menyediakan sesuatu bagi roh kita, sehingga kita mampu menggunakan karunia itu.

Roh yang dimaksud di ayat 7 pasti berhubungan dengan Roh Kudus sebagai pemberi karunia. Bagaimanapun, fokus Paulus bukan terletak di sana. Yang disorot adalah apa yang dikerjakan oleh Roh Kudus di dalam roh kita. Penerjemah LAI:TB secara tepat menangkap maksud ini dengan menambahkan frasa “yang membangkitkan”.

Roh yang memberikan karunia adalah Roh yang sama yang memberikan kekuatan (dynamis), kasih (agapē), dan ketertiban (sōphronismos). Tiga kata ini harus ditafsirkan sebagai kontras terhadap roh yang membangkitkan ketakutan (deilia). Ketakutan seringkali membuat kita merasa kecil dan tak berdaya, sehingga kita perlu mengingat bahwa ada kuasa (dynamis) yang Allah sediakan dalam diri kita. Kita tidak sekerdil yang Iblis seringkali bisikkan ke telinga kita. Di tengah penderitaan yang ada kita juga cenderung mencari kesenangan dan kenyamanan diri sendiri, karena itu Allah memberikan kasih (agapē) dalam hati kita. Kasihlah yang memampukan kita untuk berani melayani orang lain, apapun resiko yang harus dihadapi. Penderitaan juga seringkali membuat kita tidak konsisten. Dalam situasi seperti ini Roh Kudus akan memberikan pengendalian atau kedisiplinan diri (sōphronismos, mayoritas versi Inggris, kontra LAI:TB “ketertiban”). Tidak ada dalih untuk tidak menggunakan karunia rohani dalam diri kita. Allah bukan hanya memberikan karunia roh, tetapi juga memampukan roh kita dengan kuasa, kasih, dan pengendalian/kedisiplinan diri.

Ketiga, mengingat kuasa Allah dalam penderitaan kita (ayat 8). Ayat ini menjelaskan bahwa karunia di ayat 6 berkaitan dengan pemberitaan Injil (ayat 8). Timotius tidak boleh malu (takut terhadap konsekuensinya). Bukan hanya karena dalam dirinya ada roh yang membangkitkan kuasa (dynamis), tetapi juga karena ada kuasa (dynamis) dalam menghadapi penderitaan (ayat 8b “ikutlah menderita bagi Injil-Nya oleh kekuatan Allah”).

Penderitaan bukan bukti ketidakberdayaan. Penjara tidak bisa membelenggu kuasa Allah. Kuasa ilahi justru diperlihatkan pada saat seseorang mampu bertahan di dalam penderitaan. Itulah yang sedang diajarkan oleh Paulus di ayat ini. Dia tidak menjanjikan bahwa pemberitaan Injil akan selalu berhasil. Para pelayan Tuhan tidak kebal terhadap kegagalan dan penderitaan. Namun, satu hal yang pasti adalah kuasa dalam menghadapi semuanya itu. Allah tidak mungkin membawa ke dalam suatu kesulitan tanpa menyediakan kekuatan.

Bagaimana dengan situasi Anda sekarang? Apakah cinta mula-mula mulai pudar? Apakah semangat dalam pelayanan mulai padam? Ingatlah panggilan-Nya. Ingatlah kuasa, kasih, dan pengendalian/kedisiplinan diri yang dikerjakan-Nya dalam diri kita. Ingatlah bahwa Dia selalu menyediakan kuasa di dalam setiap penderitaan yang kita lewati. Roh yang membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang-orang mati adalah Roh yang sama yang memberikan karunia dan kuasa dalam diri kita. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko