Tidak Ada Ruang Bagi Ketidakpedulian (Matius 15:1-9)

Posted on 21/02/2021 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/03/Tidak-Ada-Ruang-Bagi-Ketidakpedulian-Matius-15-1-9.jpg Tidak Ada Ruang Bagi Ketidakpedulian (Matius 15:1-9)

Pernahkan kita melarikan diri dari tanggung jawab dengan alasan yang terdengar baik dan masuk akal? Kita menyiasati kewajiban dengan kebajikan. Itulah kelicikan hati manusia yang berdosa.

Kita tahu Tuhan memanggil kita untuk mengasihi keluarga kita. Kita sudah belajar bagaimana memperdulikan keluarga itu menyenangkan Tuhan. Namun kenyataannya, mengasihi keluarga tidaklah mudah sehingga kita tergoda untuk menghindarinya. Masalahnya kita pasti merasa bersalah jika kita semudah itu mengabaikan keluarga kita. Apalagi ketidakpedulian seperti itu akan mengundang kecaman dari masyarakat di sekitar kita, khususnya budaya Asia yang kolektif. Lalu bagaimana? Kita menyiasati dengan kedok kebaikan, bahkan dengan bungkus agama. Kita menghindari kebaikan dengan kebaikan lain versi kita sendiri agar kita tidak terlihat seperti anak durhaka yang tidak berbakti. Saat kita bermain akal-akalan seperti ini, Tuhan dihina dan keluarga ditelantarkan. Karena Alkitab mengajarkan, untuk keluarga, tidak ada ruang bagi ketidakpedulian.

Pertemuan Yesus dengan orang Farisi dan ahli Taurat bukanlah pemandangan baru. Di Matius 12 misalnya, mereka mengkritik Yesus mengenai mengenai hari Sabat. Kemdian pada saat Yesus menyembuhkan orang yang kerasukan setan, orang Farisi bahkan menuduh Yesus berasal dari setan. Yesus tidak lepas dari kontroversi. Di teks kita hari ini, Yesus kedatangan orang Farisi dan ahli Taurat langsung dari Yerusalem. Fakta bahwa mereka datang dari pusat kerohanian agama Yahudi merujuk kepada keseriusan mereka untuk mengevaluasi Yesus dengan otoritas yang lebih berbobot. Yesus akan disorot lebih ketat.



Serangan Orang Farisi dan Ahli Taurat (ayat 1-2)

Yang diserang adalah murid Yesus, karena tindakan mereka melambangkan ajaran Yesus. Para murid dituduh melanggar adat istiadat nenek moyang yaitu tidak membasuh tangan sebelum makan. Mengapa tindakan yang terkesan sepele, seperti membasuh tangan, dinilai sebuah pelanggaran?

Untuk orang Yahudi, perintah Allah dapat dibagi menjadi dua bagian. Ada hukum tertulis, yaitu Taurat itu sendiri. Ada juga hukum lisan, yaitu tafsiran para ahli Taurat dan guru Yahudi mengenai Taurat. Hukum lisan ini diajarkan turun-temurun sejak jaman Musa dan berisi berbagai macam aturan detail yang mencakup kehidupan sehari-hari orang Yahudi agar mereka mentaati Taurat. Di dalam teks kita, adat istiadat nenek moyang adalah bagian dari hukum lisan tersebut, dimana salah satu peraturannya membahas perihal membasuh tangan sebelum makan.

Untuk orang modern, kata adat istiadat atau tradisi terkesan negatif dan membebani. Namun sebetulnya kata Yunani “adat istiadat” (paradosis) dapat bermakna positif. Misalanya kata ini dipakai oleh Paulus untuk menggambarkan ajaran Injil yang diteruskan kepada gereja mula-mula. Dengan kata lain, tidak semua adat istiadat itu jelek. Jika digunakan dengan tepat, tradisi dapat memberikan kejelasan dalam bertindak. Tradisi yang baik membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik.

Mengapa perlu membasuh tangan sebelum makan? Di dalam wawasan dunia orang Yahudi kuno, banyak hal yang berpotensi membuat orang menjadi najis. Hal-hal seperti hubungan suami istri, persalinan, dsb. Najis dalam arti tidak layak dihadapan Tuhan. Maka, jika seseorang menyentuh sesuatu yang najis, walaupun secara tidak sengaja, tangan menjadi najis. Jika tangan menjadi najis, maka makanan yang diambilpun ikut menjadi najis. Sehingga pada saat masuk ke dalam tubuh, orang itu menjadi najis. Keseriusan membasuh tangan untuk menghindari kenajisan ditunjukkan lewat tulisan Yahudi kuno. Misalnya seorang rabi pernah mengajarkan bahwa memakan roti tanpa membasuh tangan itu seperti berhubungan badan dengan pekerja seks komersial.

Maka, membasuh tangan sebelum makan adalah bentuk penyucian atau pemurnian diri. Membasuh tangan adalah tanda kekudusan. Saat para murid melanggar perintah ini, orang Farisi dan ahli Taurat meragukan kebenaran Yesus.



Serangan Balik Yesus (ayat 3-6)

Yesus tidak meladeni isu membasuh tangan. Dia menyerang balik langsung ke akar permasalahan. Adat istiadat yang bertujuan untuk mematuhi Taurat malah membawa mereka untuk melanggar Taurat tersebut. Yesus berkata dengan jelas mereka sudah melanggar perintah Allah demi mempertahankan adat istiadat nenek moyang mereka, yang adalah buatan manusia. Maka orang Farisi dan ahli Taurat yang dilihat sebagai pembela Firman ternyata adalah pelanggar Firman. Di saat mereka sibuk membasuh tangan sebelum makan, mereka melupakan kebutuhan keluarga mereka.

Bagaimana bisa demikian? Yesus menyebutkan dua perintah Allah mengenai menghormati orang tua (ayat 4). Menghormati disini berarti memperdulikan lewat tindakan konkrit, yaitu dengan membantu memenuhi kebutuhan orang tua. Penghormatan itu juga ditunjukkan lewat cara kita berbicara tentang orang tua kita. Dengan kata lain memperdulikan orang tua lewat tindakan dan perkataan bukan hanya sebuah kewajiban atau norma budaya, melainkan perintah Allah.

Namun perhatikan kontras antara “sebab Allah berfirman” di permulaan ayat 4 dan “tetapi kamu berkata” di permulaan ayat 5. Kontra perintah Tuhan, orang Farisi dan ahli Taurat berhasil menemukan celah. Ada sebuah adat istiadat yang menyatakan bahwa apa yang kita miliki dapat kita dedikasikan kepada bait Allah, sehingga tidak dapat digunakan untuk kebutuhan lainnya. Ini adalah deklarasi formal dimana harta seperti uang, materi, properti akhirnya hanya boleh dipakai untuk kebutuhan bait Allah. Jika ada orang tua dalam keadaan membutuhkan, barang atau uang yang sudah di dedikasikan ini tidak dapat dipakai untuk membantu mereka. Termasuk jika sang anak misalnya menyesal telah melakukan janji persembahan ini dan ternyata ingin menolong orang tuanya, tetap saja hartanya tidak bisa dicairkan.

Mengapa? Karena menurut adat istiadat ini, jika kita sudah berjanji kepada Tuhan, sifatnya tidak bisa ditarik kembali. Di dalam kitab Markus, kita menemukan pemaparan adat istiadat yang sama, “Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban--yaitu persembahan kepada Allah, maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatupun untuk bapanya atau ibunya” (Mrk. 7:11-12).

Tuhan menjadi celah bagi anggota keluarga untuk dapat menelantarkan orang tua mereka. Alasan rohani dijadikan benteng untuk berdosa. Maka, seperti kata seorang teolog, “Dosa di dalam kisah ini adalah kerohanian. Ada sebuah kesetiaan kepada Tuhan yang menyakiti Tuhan, karena menyakiti sesama.” Akibatnya, firman Tuhan itu sendiri menjadi tidak berlaku (ayat 6b). Kata “tidak berlaku” memiliki arti pembatalan legal. Firman Allah berhenti berfungsi sebagai firman.



Kesimpulan Yesus mengenai orang Farisi dan ahli Taurat (ayat 7-9)

Yesus memanggil mereka orang-orang munafik. Tangan mereka boleh bersih namun hati mereka kotor. Mulut mereka memuji Tuhan tapi hati mereka jauh dari Tuhan. Ibadah mereka boleh indah tapi tidak berarti, karena mereka gagal melakukan apa yang Tuhan perintahkan. Kutipan dari kitab Yesaya memberikan gambaran sang imam yang sibuk melayani Tuhan dengan berdoa dan mempersembahkan korban. Namun para rohaniawan ini menelantarkan kebutuhan anak yatim piatu dan janda-janda. Begitu juga orang Farisi dan ahli Taurat bersembunyi dibalik aturan bait Allah sambil mengabaikan kebutuhan orang tua.

Saya teringat ucapan Samuel dapat melengkapi kesimpulan Yesus disini: Tetapi jawab Samuel: "Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan (1 Sam. 15:22).

Dari teks kita, pelajaran rohani apa saja yang dapat kita petik? Kita perlu mengevaluasi ulang adat istiadat atau tradisi yang kita pegang erat selama ini, termasuk tradisi gereja kita. Adakah tradisi yang membawa dampak negatif kepada kehidupan berkeluarga? Kita perlu mengkaji ulang tradisi manusia dengan kebenaran firman Tuhan. Selanjutnya, mari kita kreatif memulai tradisi baru yang mengkawinkan keluarga dengan iman.

Kita perlu jujur kepada diri kita sendiri dan mengenali alasan-alasan “baik” apa yang sering kita gunakan untuk menghindari kepedulian kepada anggota keluarga. Kita perlu memerika motivasi dan tujuan dari keputusan kita. Misalnya kesibukan sering dijadikan alasan untuk tidak dirumah menemani anak. Maka pertanyaan selanjutnya adalah mengapa anda begitu sibuk? Apa yang sebetulnya ingin dicapai? Lebih baik kita terbuka kepada Tuhan dan kepada orang-orang yang kita cintai daripada mencari alasan apalagi dengan kedok agama.

Selanjutnya, kita perlu sadar bahwa aturan terbaik manusia bukanlah substitusi kebenaran Allah. Kita dapat tergoda untuk membuat dan menerapkan aturan kita sendiri dalam memperdulikan keluarga kita. Kita merasa cara kita sudah cukup. Kita merasa bentuk kasih kita kepada keluarga tidak beda jauh dari standar-nya Tuhan. Tetapi kita dapat menipu diri kita sendiri. Yang kelihatan baik di mata kita belum tentu baik di mata Tuhan dan berguna bagi keluarga kita.

Pada akhirnya, kita perlu membina hati kita. Semua perkataan dan tindakan kita berasal dari hati. Jika Tuhan penting bagi kita, maka kita pasti dapat menemukan jalan untuk mengasihi keluarga kita. Namun jika Tuhan tidak penting, kita akan dapat selalu menemukan beribu macam alasan untuk mengabaikan keluarga kita.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community