(Lanjutan tgl 8 Maret 2020)
Ketelanjangan yang mereka sadari di 3:7 telah dipahami oleh sebagian orang sebagai petunjuk bahwa kemampuan berhubungan secara seksual baru muncul setelah kejatuhan ke dalam dosa. Pandangan seperti ini sangat spekulatif. Di 2:25 “Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu; mereka “tidak merasa malu”, bukan “tidak tahu”. Sebelumnya mereka sangat mungkin sudah tahu kalau mereka telanjang, tetapi mereka tidak merasa malu. Di samping itu, memiliki anak merupakan berkat Allah dan hal ini sudah dijanjikan sebelum kejatuhan ke dalam dosa (1:28). Hawa pun diberikan kepada Adam sebagai penolong dalam hal memenuhi bumi dengan keturunan mereka serta menguasainya.
Kita harus menyadari bahwa ketelanjangan di 3:7 berbeda dengan yang di 2:25. Hal ini disiratkan dari perbedaan kata yang dipakai. Ketelanjangan di 2:25 memakai ‘arûmîm, sedangkan di 3:7 yang digunakan adalah ‘êrummim. Walaupun arti dasar dari dua kata ini sama (“telanjang”), namun makna di baliknya berbeda. Kata dasar ‘êrÅm di 3:7, 10, dan 11 menunjukkan lebih daripada sekadar kesadaran seksual. Kata ini juga menyiratkan kesadaran tentang keterbukaan kesalahan mereka di hadapan Allah. Baik dalam tulisan Musa maupun para nabi kata ini seringkali digunakan dalam konteks kehinaan yang dialami bangsa Israel sebagai hukuman Allah (Ul 28:48; Yeh 16:7, 22, 29; Yeh 23:29).
Sebagai respon terhadap kesadaran bahwa mereka sekarang berada dalam hukuman Allah, Adam dan Hawa langsung menyemat daun pohon ara (3:7b). Mengapa mereka perlu menutupi ketelanjangan mereka? Kepada siapakah mereka malu: Allah atau pasangan mereka? Sebagian penafsir membatasi rasa malu ini dalam kaitan dengan Allah atau pasangan, sementara penafsir yang lain memilih keduanya. Jika ketelanjangan dalam kisah ini lebih berhubungan dengan keadaan hina sebagai akibat hukuman Allah, kita sebaiknya mengaitkan rasa malu ini terutama kepada Allah. Tindakan mereka menyembunyikan diri dari Allah (3:8) tampaknya mendukung pandangan ini. Selain itu, tidak ada alasan yang jelas mengapa sepasang suami-isteri perlu merasa malu ketika keduanya telanjang. Kita pun sulit memahami mengapa rasa malu dengan pasangan termasuk hukuman dari Allah.