Teguran Adalah Tanda Sayang (Amsal 27:5-6)

Posted on 02/05/2021 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/05/Teguran-Adalah-Tanda-Sayang-Amsal-27-5-6.jpg Teguran Adalah Tanda Sayang (Amsal 27:5-6)

Dalam jaman yang semakin individualistis dan moralitas dipandang sebagai urusan personal, kata “teguran” sudah mengandung makna yang negatif. Orang yang menilai tindakan orang lain dianggap terlalu melanggar privasi orang. Teguran hampir selalu diidentikkan dengan suka menghakimi, berpikiran sempit atau arogan. Keterbukaan pemikiran disamakan dengan pembiaran.

Kasih dimengerti sebagai penerimaan atas apapun tindakan dan pendapat orang. Mengasihi orang lain berarti memberi kebebasan penuh. Dengan demikian, tidak menyetujui suatu tindakan bisa dinilai sebagai sikap yang kurang mengasihi. Perdebatan seputar LGBTQ adalah salah satu contohnya. Pihak yang tidak menyetujui homoseksualitas langsung dicap kurang mengasihi atau merampas kebebasan orang lain.

Bagaimana pandangan Alkitab tentang hal ini? Apakah wujud kasih adalah pembiaran, persetujuan dan penerimaan tanpa syarat? Benarkah teguran pada dirinya sendiri merupakan sebuah kesalahan dan kesombongan?

Teks hari ini mengajarkan sebaliknya. Teguran adalah salah satu wujud kasih sayang. Yang penting bukan “apa yang dirasakan” dalam sebuah teguran tetapi maksud di baliknya yang penuh ketulusan.

 

Teguran sebagai wujud kasih sayang (ayat 5)

Bagian ini merupakan sebuah paralelisme (kesejajaran) antitetikal. Maksudnya, apa yang dinyatakan di ayat 5a dikontraskan dengan ayat 5b. Kontras ini sekaligus menyediakan penjelasan antar bagian. Ayat 5a harus ditafsirkan dalam terang ayat 5b, begitu sebaliknya.

Ada beberapa poin penting seputar teguran yang perlu kita soroti di ayat ini. Teguran yang nyata tidak selalu berbentuk teguran di depan publik. Frasa “teguran yang nyata” dalam berbagai versi Inggris diterjemahkan “teguran yang terbuka” (KJV/RSV/NASB/NIV/ESV “open rebuke”). Jika tidak berhati-hati, beberapa orang mungkin akan mengaitkan teguran terbuka sebagai teguran publik. Pemahaman seperti ini kurang tepat. Kata “nyata” (ayat 5a)  merupakan kontras terhadap “tersembunyi” (ayat 5b). Jadi, ini bukan antara publik versus privat, tetapi dinyatakan versus disembunyikan.

Apakah berarti teguran di depan publik selalu keliru? Tidak juga. Alkitab memberikan beberapa contoh tentang pentingnya teguran di depan publik. Walaupun demikian, kita perlu mengerti bahwa teguran publik sebaiknya dilakukan jika kesalahan benar-benar fatal, terjadinya di depan publik dan menyebabkan banyak orang mengikuti kesalahan tersebut. Contoh yang paling baik adalah teguran Paulus kepada Petrus dan Barnabas (Gal. 2:11-14).

Poin lain yang menarik adalah teguran seharusnya didorong oleh kasih. Jika kita membaca ayat 5 dengan teliti kita akan mendapati bahwa penulis amsal ini menghubungkan teguran (“teguran yang nyata”) dengan kasih (“kasih yang tersembunyi”). Pemunculan kasih di ayat 5b cukup mengagetkan, karena penulis amsal bisa saja memilih untuk mengontraskan teguran yang nyata dengan teguran yang tersembunyi. Melalui kesejajaran antara “teguran” dan “kasih” si penulis ingin mengajarkan sebuah pesan penting: teguran seharusnya muncul dari hati yang mengasihi.

Pesan ini, sayangnya, sering diabaikan. Sebagian orang gagal menyeimbangkan antara “kebenaran” dan “kasih” (Ef. 4:15 ESV “speaking the truth in love”). Tanpa kepedulian dan kasih sayang, teguran seringkali didorong oleh kemarahan dan ketidaksenangan. Sebaliknya, tanpa kebenaran penerimaan seringkali sukar dibedakan dengan pembiaran.

Amsal 27:5 juga mengajarkan poin penting lain, yaitu kasih yang tersembunyi kadangkala merupakan bukti seseorang mementingkan diri sendiri. Mengapa seseorang tidak mau memberikan teguran walaupun dia mungkin mengasihi orang yang bersalah? Seringkali jawabannya berpusat pada kepentingan orang yang memiliki kasih tersembunyi itu. Dia tidak mau dipandang buruk oleh temannya (dianggap sok suci, mengurusi kehidupan orang lain, suka menghakimi, dsb). Dia juga mungkin tidak ingin kehilangan hal-hal yang menyenangkan dalam pertemanan. Dia tidak ingin kehilangan penerimaan dari teman-teman. Jika ini yang terjadi, “kasih yang tersembunyi” sebenarnya bukan kasih sama sekali. Kasih semacam ini adalah pemuasan kepentingan diri sendiri.

Cara penulis amsal menghubungkan teguran dengan kasih merupakan ajaran Alkitab yang konsisten. Teguran dan hukuman bukan musuh kasih sayang. Perintah untuk menegur seseorang secara terus-terang (Im. 19:17) langsung diikuti dengan perintah untuk mengasihi sesama (Im. 19:18). Penulis amsal mengajarkan bahwa orang tua yang mengasihi anaknya tidak akan segan-segan untuk menggunakan pukulan dan hajaran jika diperlukan dan kesalahan anak benar-benar berlebihan (13:24 “menggunakan tongkat…pada waktunya”). Bahkan TUHAN yang mengasihi umat-Nya juga memberikan disiplin dan peringatan. Semua ini Dia lakukan karena Dia mengasihi kita (3:11-12).

 

Ketulusan sebagai tanda persahabatan (ayat 6)

Ayat ini masih berkaitan dengan bagian sebelumnya. Ada beragam petunjuk dalam teks yang mendukung ke sana. Yang bisa membaca teks Ibrani pasti langsung mendapati keterkaitan erat antara “kasih” dan “kawan,” karena dua kata ini memiliki akar kata Ibrani yang sama (’hb). “Teguran” di ayat 5a juga mengandung arti yang tidak jauh dari “memukul” di ayat 6a, karena keduanya terkesan sama-sama tidak menyenangkan.

Walaupun ayat 5 dan 6 berhubungan erat, dua ayat ini sebaiknya dibedakan. Ayat 6 tidak hanya mengulang apa yang disampaikan di ayat 5, melainkan menambahkan penjelasan. Penjelasan ini memiliki penekanan yang sedikit berbeda dengan bagian sebelumnya. Ayat 5 tentang teguran yang dimotivasi kasih, ayat 6 tentang pukulan yang didorong oleh ketulusan.

Sesuai teks Ibrani, ayat 6 sebaiknya diterjemahkan sebagai berikut: “luka-luka dari seorang yang mengasihi dapat dipercaya, tetapi orang yang membenci memerbanyak ciuman” (NIV “Wounds from a friend can be trusted, but an enemy multiplies kisses”). Dari terjemahan yang lebih hurufiah ini kita dapat menangkap beberapa kontras yang ada secara lebih kentara: luka versus ciuman, kawan versus lawan, dapat dipercaya versus kemunafikan yang melimpah.

Luka-luka di sini merujuk pada teguran yang keras dan menyakitkan dari seorang sahabat (ayat 5). Tindakan yang biasanya dilakukan oleh seorang lawan (memukul orang lain hingga terluka) justru dihubungkan dengan persahabatan. Sebaliknya, tindakan yang biasanya dilakukan oleh seorang sahabat (mencium berkali-kali) justru dikaitkan dengan lawan. Poin yang ingin disorot di sini bukanlah jenis tindakan, melainkan motivasi di baliknya. Apa yang mendorong suatu tindakan turut menentukan apakah tindakan itu baik atau tidak baik. Ketulusan benar-benar menentukan (ayat 6a LAI:TB “dengan maksud baik”).

Yang menarik di ayat ini adalah bagaimana suatu tindakan dilakukan, entah memukul maupun mencium. Kata “luka” dan “ciuman” sama-sama berbentuk jamak, yang menyiratkan tindakan berulang-ulang. Intensitas di ayat 6a ditunjukkan melalui akibat yang ditimbulkan, yaitu luka-luka. Intensitas di ayat 6b terlihat melalui jumlah ciuman yang tidak wajar. Begitulah yang seringkali terjadi dalam sebuah pertemanan maupun permusuhan. Satu pihak melakukan suatu tindakan berulang-ulang kepada pihak lain, begitu pula sebaliknya. Masing-masing pihak memiliki “loyalitas tertentu” terhadap pertemanan maupun permusuhan.

Dalam kasus persahabatan, berbagai gesekan untuk kebaikan bersama seharusnya tidak menghalangi maupun menghentikan hubungan. Luka-luka menunjukkan betapa inginnya seseorang melihat sahabatnya bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Bahkan untuk mencapai tujuan tersebut dia seringkali juga harus terluka. Sama-sama terluka. Justru di situlah letak perbedaan antara pertemanan dan permusuhan: hati yang tulus untuk mengasihi dan kerelaan untuk disakiti. Yang paling penting adalah bagaimana menangani luka yang ada dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Luka tidak untuk dibiarkan menganga. Sahabat kadang harus melakukan sayatan yang menyakitkan, tetapi dia juga yang akan menyediakan perawatan dan pengobatan.

Dalam kasus permusuhan, orang akan melakukan segalanya juga, tetapi bukan untuk kebaikan orang lain. Orang tidak segan-segan mengurbankan integritas demi kepuasan emosional. Kebenaran dijual demi pemuasan kebencian. Akibat yang ditimbulkan sangat menyakitkan. Luka yang dalam. Luka yang dibiarkan begitu saja.

Rasa sakit yang ditimbulkan oleh pengkhianatan menoreh sangat dalam. Sukar untuk dilupakan. Puji Tuhan, kita tidak akan pernah merasa sakit sendirian. Kristus Yesus juga mengalami pengkhianatan. Salah satu murid-Nya, Yudas Iskariot, memberikan ciuman maut kepada-Nya (Mat. 26:49). Bukan ciuman tanda kasih sayang, tetapi ciuman yang menuntun pada kematian. Sebesar itulah Dia mengasihi kita. Dia rela menanggung rasa sakit yang terdalam bagi kita, para sahabatnya. Dia memberikan nyawa-Nya bagi sahabat-sahabat-Nya (Yoh. 15:13-14). Ketika teguran belaka tidak cukup untuk menyelamatkan kita, Dia langsung turun menanggung hukuman bagi kita. Soli Deo Gloria.

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community