Suka atau tidak suka, disadari atau tidak disadari, kita sedang hidup di tengah krisis kebenaran. Siapa saja berhak untuk membuat klaim tanpa merasa perlu untuk menyediakan pembenaran atau pembuktian atas klaim tersebut. Mencoba untuk menguji keabsahan klaim orang lain bahkan dipandang sebagai tindakan yang tidak bijaksana: terlalu picik, menghakimi orang lain, mengurusi privasi orang lain, dsb.
Tidak demikian dengan kekristenan. Alkitab mendorong kita untuk menguji setiap klaim kebenaran. Tidak setiap klaim adalah benar. Dibutuhkan pembuktian atau pembenaran untuk menolak maupun menerima suatu klaim.
Salah satunya adalah klaim sebagai anak-anak Allah. Sekadar membuat klaim seperti ini jelas mudah. Pertanyaannya, apakah klaim ini bisa dibuktikan? Bagaimana cara menguji keabsahannya? Tidak peduli seberapa yakin seseorang terhadap klaim yang dia buat, jika klaim itu tidak rasional atau tidak sesuai dengan kenyataan, tetap saja itu merupakan sebuah klaim yang tidak benar.
Jadi, bisakah klaim seseorang bahwa dirinya adalah anak-anak Allah diuji? Bagaimana cara untuk membuktikannya? Teks kita hari ini adalah jawabannya.
Surat 1 Yohanes sangat memerhatikan masalah pembuktian klaim. Frasa “inilah/itulah tandanya” muncul berkali-kali dalam surat ini. Orang yang mengenal Allah ada tandanya (2:3). Demikian pula dengan orang yang mengasihi anak-anak Allah (5:2). Ada tanda yang membedakan antara Roh kebenaran dan roh kesesatan (4:6). Akhir zaman juga memiliki tandanya tersendiri (2:18).
Pembuktian ini menjadi kebutuhan yang penting dan genting bagi penerima surat karena ada bahaya serius berupa ajaran sesat (2:26; 3:7). Para pengajar sesat ini dulu berasal dari komunitas Kristen yang akhirnya meninggalkan kebenaran (2:19). Mereka adalah para antikristus (2:19) dan nabi-nabi palsu (4:1-4).
Klaim yang dibuat oleh mereka berhubungan dengan hal-hal yang fundamental. Mereka menolak inkarnasi Kristus (4:2-3, 14). Status Yesus sebagai Anak Allah juga ditentang (4:15). Mereka suka mengeluarkan pernyataan tertentu yang tidak sesuai dengan perilaku mereka: memiliki persekutuan dengan Allah tetapi hidup dalam kegelapan (1:6), mengenal Allah tetapi tidak menuruti perintah-perintah-Nya (2:4), hidup dalam terang tetapi membenci saudaranya (2:9), mengasihi Allah tetapi membenci saudaranya (4:20), dst.
Jika klaim yang dibuat oleh seseorang hanya menyentuh hal-hal yang sepele atau tidak relevan, kita mungkin bisa mengabaikan. Dalam beberapa kasus kita malah perlu menjauhi perdebatan seputar area itu. Masih banyak hal penting lain untuk dipikirkan. Namun, jika klaim itu berkaitan dengan hal-hal yang fundamental, kita tidak memiliki pilihan selain menguji klaim tersebut.
Jika kita membaca surat 1 Yohanes dengan teliti, kita akan menemukan tiga macam ujian terhadap sebuah klaim: kebenaran, moralitas dan kasih. Kebenaran berhubungan dengan doktrin-doktrin dasar kekristenan (inkarnasi Yesus, status sebagai Anak Allah, dsb). Moralitas berkaitan dengan kesesuaian hidup dengan firman Tuhan. Kasih bersentuhan dengan kualitas relasi.
Ayat 10 dimulai dengan kalimat: “Inilah tandanya anak-anak Allah dan anak-anak Iblis” (LAI:TB). Kata “tanda” (phaneros) merujuk pada sesuatu yang nyata (KJV), terlihat (RSV) atau jelas (NASB). Orang-orang bisa langsung melihatnya dan menangkap perbedaan yang jelas (NIV “how we know”; NLT “we can tell”).
Ungkapan populer “kita tidak bisa tahu isi hati orang” tidak sepenuhnya benar. Apa yang ada di dalam bisa dilihat dari luar. Ada bukti bahwa seseorang tergolong anak-anak Allah atau anak-anak Iblis. Ungkapan populer “klaim religius hanya dapat diimani, bukan dimengerti” juga patut dipertanyakan. Dalam teks hari ini ungkapan “kita tahu” atau “kamu tahu” muncul sebanyak dua kali (3:14-15). Kekristenan bersahabat karib dengan pemikiran maupun pembuktian. Kebenaran harus bisa dibuktikan atau – paling tidak – dipertanggungjawabkan.
Ada dua tanda yang disebutkan di ayat 10b: moralitas dan kasih kepada saudara seiman (“setiap orang yang tidak berbuat kebenaran, tidak berasal dari Allah, demikian juga barangsiapa yang tidak mengasihi saudaranya”). Kebenaran dan kasih memang seharusnya tidak diceraikan. Kebenaran tanpa kasih hanya akan menghasilkan pecinta teologi sekaligus perusak relasi. Kasih tanpa kebenaran berujung pada penerimaan secara superfisial; tidak ada keberanian untuk merengkuh perbedaan.
Dalam khotbah ini kita hanya akan menyoroti tanda yang kedua, yaitu kasih. Jika ada orang yang tidak mengasihi saudaranya, dia tidak berasal dari Allah (dia adalah anak-anak Iblis). Mengapa bisa demikian? Ayat 11-15 menyediakan jawabannya. Ada dua alasan.
Kasih tidak terpisahkan dari Injil (ayat 11-13)
Ajaran untuk saling mengasihi antar saudara seiman sudah diketahui oleh penerima surat sejak lama. Mereka sudah mendengar “dari mulanya” (ap’ archēs). Yang dimaksud dengan frasa ini adalah momen ketika mereka mendengar Injil dan memercayakan diri kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat. Dari semula Injil memang tidak terceraikan dari perintah untuk saling mengasihi. Setelah memberikan perintah kepada murid-murid-Nya untuk saling mengasihi (Yoh. 15:12), Yesus lantas menjelaskan bahwa kasih-Nya kepada murid-murid adalah seperti seseorang yang mengurbankan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya (Yoh. 15:13). Jadi, antara demonstrasi kasih Kristus di kayu salib dan perintah untuk saling mengasihi terdapat ikatan yang sangat erat. Yang pertama menjadi landasan bagi yang kedua.
Begitulah sepatutnya yang terjadi dalam komunitas orang percaya. Seseorang yang sudah mengalami kuasa ilahi yang berlimpah seharusnya tidak akan mengalami kesulitan untuk membagikan kasih itu kepada orang lain. Sangat ironis jika seseorang mengaku telah menerima kasih yang begitu berlimpah dari Kristus tetapi dia masih kekurangan kasih untuk menerima orang lain apa adanya. Meminjam salah satu perumpamaan Yesus, bagi seseorang yang dihapuskan hutangnya sebesar 10 ribu talenta seharusnya tidak sukar untuk menghapuskan hutang orang lain kepadanya yang hanya 300 dinar (Mat. 18:23-35). Uang 300 dinar menjadi tidak ada artinya bagi orang itu.
Sebagai kontras terhadap orang yang saling mengasihi adalah Kain (3:12). Kain membunuh adiknya yang bernama Habel (Kej. 4). Alasan yang mendorong pembunuhan ini ternyata bukan hanya iri hati. Yang bermasalah bukan hanya cara Kain menyikapi persembahan Habel yang diterima oleh Allah. Persoalannya adalah gaya hidup Kain; seluruh hidupnya. Ini ditunjukkan dengan bentuk jamak “segala perbuatannya jahat” (ta erga autou). Jadi, iri hati dan pembunuhan hanyalah bukti dari kefasikan hidup Kain.
Kefasikan ini pula yang menerangkan mengapa persembahan Kain ditolak. Allah peduli dengan persembahan dan pemberi persembahan sekaligus. Secara lebih tepat, Allah lebih menghendaki ketaatan daripada persembahan (1Sam. 15:22). Penolakan terhadap persembahan Kain bukan karena kurbannya tidak mengandung darah atau memberi bau yang harum. Inti penolakan terletak pada seluruh kehidupan Kain. Kefasikannya membuktikan bahwa dia tidak sungguh-sungguh beriman kepada Allah (bdk. Ibr. 11:4).
Gaya hidup Kain yang fasik sekaligus menjadi bukti bahwa dia berasal dari si jahat (3:12). Dia adalah keturunan Iblis. Untuk memahami ini kita perlu mengingat perkataan Allah kepada ular (Iblis) bahwa akan ada permusuhan antara keturunannya dan keturunan perempuan (Kej. 3:15). Kisah kejatuhan ke dalam dosa ini langsung diikuti oleh Kejadian 4 yang memaparkan kontras antara dua saudara (Kain dan Habel) dan dua silsilah (dari Kain dan Set). Posisi teks semacam ini menyiratkan bahwa Kain mewakili keturunan ular dan Habel/Set mewakili keturunan perempuan.
Kasih merupakan tanda utama keselamatan (ayat 14-15)
Jika kita tidak berhati-hati dalam membaca bagian ini kita mungkin akan menangkap kesan bahwa kasih kita kepada sesama merupakan syarat perpindahan dari kematian kepada kehidupan (baca: keselamatan). Kesan ini jelas keliru. Yohanes tidak sedang mengajarkan bagaimana seseorang bisa berpindah dari kematian kepada kehidupan. Yang dia soroti adalah bagaimana kita tahu bahwa perpindahan itu sudah terjadi (ayat 14 “kita tahu bahwa…”). Bagaimana kita membuktikan bahwa seseorang sudah diselamatkan? Jawabannya adalah kasih orang itu kepada sesama.
Mereka yang sudah mengalami kuasa transformatif Injil dari kegelapan kepada terang atau dari kematian kepada kehidupan pasti dimampukan untuk menunjukkan perubahan tersebut. Transformasi ini merupakan peristiwa yang luar biasa. Kuasa yang mengubahkan tidak mungkin gagal membawa perubahan. Kalau Injil mampu memindahkan kita dari kematian kepada kehidupan, Injil yang sama akan memampukan kita untuk mengasihi orang lain.
Mereka yang tidak mengasihi bukan hanya berada di dalam maut, tetapi juga menjadi pembunuh. Kebenaran ini sangat mungkin berasal dari ucapan Yesus Kristus. Dalam Matius 5:20-21 Dia menyamakan orang yang membunuh dengan orang yang mengucapkan hal-hal jahat kepada sesamanya.
Identifikasi ini tidak berlebihan. Jika Allah melihat hati pembunuh dan orang yang membenci sesamanya, Allah akan mendapati jenis hati yang sama. Hati yang mengharapkan yang jahat untuk sesamanya. Hati yang berharap agar sesamanya tidak ada di muka bumi lagi. Perbedaannya hanya pada tindakan praktis yang dilakukan. Seorang pembenci tidak sampai mengambil nyawa sesamanya.
Teks lain yang melandasi adalah Yohanes 8:44. Di sana Tuhan Yesus mengatakan bahwa Iblis adalah pembunuh manusia dari sejak mulanya. Penggunaan teks ini menyiratkan bahwa si pembenci sesama – yang juga disamakan dengan pembunuh – adalah anak-anak Iblis. Pembenci dan pembunuh melakukan apa yang dilakukan oleh bapa mereka: Iblis.
Biarlah melalui khotbah hari ini kita bisa menguji diri dengan jujur. Keselamatan bukan hanya masalah keyakinan dalam diri, tetapi suatu kondisi yang bisa dibuktikan. Sarana pembuktiannya adalah kasih. Kita membagikan kasih yang kita terima dari Allah. Soli Deo Gloria.