Sejak beberapa dekade yang lalu di dunia Barat muncul gerakan SBNR (spiritual but not religious). Nama lain yang sering dijadikan sinonim adalah SBNA (spiritual but not affiliated). Berbagai ungkapan digunakan untuk menggambarkan pandangan ini. Yang paling populer adalah “Saya percaya Tuhan, tetapi tidak beragama.” Di Indonesia sendiri isu ini sempat santer melalui media sosial seorang selebritis yang bernama Angela Gilsha. Bertumbuh dalam keluarga Kristen, Gilsha memutuskan untuk tidak beragama tetapi tetap memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan.
Walaupun ada keragaman dalam gerakan ini, ada elemen esensial yang menyatukan semua penganutnya: spiritualitas bersifat personal, bukan institusional atau formal. Masing-masing orang merasa berhak untuk membangun relasi dengan Allah sesuai dengan pemikiran dan caranya sendiri-sendiri. Yang penting adalah kedekatan dengan Sang Pencipta.
Bagaimana orang Kristen sebaiknya menyikapi hal ini?
Beribadah adalah hak asasi setiap orang. Siapa saja berhak untuk melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya, sejauh hal itu tidak mengganggu orang lain. Jadi penganut SBNR atau SBNA sah-sah saja meyakini pandangan mereka dan melakukan ibadah versi mereka. Kita tidak memiliki hak untuk melarang mereka.
Apa yang dicari dalam SBNR/SBNA semakin membuktikan bahwa dalam diri manusia terdapat benih keilahian. Manusia akan berusaha untuk memenuhi kekosongan hakiki mereka dengan sebuah keberadaan yang adikodrati. Keberadaan orang-orang spiritual maupun religius sekaligus membuktikan bahwa nubuat Fredrick Nietszche tentang kematian Allah sama sekali tidak terjadi. Semakin banyak orang yang religius, walaupun tidak semua beragama.
Namun, hal ini bukan berarti bahwa kita menyetujui pandangan SBNR/SBNA. Alkitab tidak hanya mengajarkan tentang kerohanian atau kedekatan dengan keberadaan yang adikodrati. Alkitab mengajarkan tentang relasi yang benar dengan Allah Tritunggal melalui Yesus Kristus. “Benar” lebih penting daripada “spiritual.” Apa yang tampak sebagai sebuah spiritualitas ternyata dipandang keliru oleh Alkitab.
Ada banyak contoh di dalam Alkitab. Nikodemus, seorang pemuka agama Yahudi yang saleh, tidak mungkin melihat kerajaan surga tanpa melalui kelahiran kembali (Yoh. 3:5-8). Guru-guru palsu di Kolose mengajarkan praktek-praktek tertentu yang terlihat rohani atau saleh, tetapi justru bertabrakan dengan karya Kristus (Kol. 2:18-23). Bangsa Yahudi sangat beribadah dan giat untuk Allah tetapi tanpa pengetahuan yang benar (Rm. 10:2). Intinya, Alkitab menegaskan bahwa kesalehan saja tidak memadai. Kesalehan perlu dibarengi dengan pengetahuan yang benar.
Pandangan Alkitab ini dalam banyak hal terlihat sangat rasional. Siapa saja yang mengaku memercayai Tuhan, dia pasti memiliki konsep tertentu tentang Tuhan yang dia percayai. Sulit membayangkan bahwa seseorang bisa membangun relasi dengan suatu keberadaan yang dia sendiri sama sekali tidak mengenalinya. Minimal dia mengetahui hakikat atau sifat-sifat-Nya. Pada saat penganut SBNR/SBNA menjelaskan apa yang dia ketahui tentang Allah dari sana akan terlihat teologi seperti apa yang dia anut.
Riset yang dilakukan oleh Grup Barna di Amerika mengungkapkan bahwa sebagian besar penganut SBNR/SBNA sebenarnya mengikuti spiritualitas panteistik Timur. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka menjalankan praktek spiritual mereka. Tidak sedikit dari mereka yang membangun kerohanian melalui perenungan di udara terbuka, meditasi, dan yoga. Bukankah kedekatan dan penyatuan diri dengan alam merupakan ciri khas panteisme? Bukankah meditasi dan (terutama yoga) sangat lekat dengan panteisme juga? Jadi, terlepas dari upaya penganut SBNR/SBNA menolak agama tertentu, pada akhirnya mereka tidak bisa melarikan diri sepenuhnya.
Riset oleh Barna juga menunjukkan keragaman konsep tentang Allah di antara penganut SBNR/SBNA. Hasil ini tidak mengherankan. Setiap orang ingin memahami Allah dengan caranya sendiri-sendiri. Mereka memang lebih peduli dengan manfaat daripada pandangan yang tepat. Jika teologi mereka sedemikian personal dan beragam, bagaimana mungkin kita bisa mengatakan bahwa semua pandangan sama-sama benar? Hanya mereka yang menolak logika atau kebenaran mutlak yang akan bersimpati dengan SBNR/SBNA. Bagi kita, Allah yang benar telah menyatakan diri-Nya secara faktual, rasional, dan relasional di dalam diri Yesus Kristus. Soli Deo Gloria.
Photo by Thomas Kinto on Unsplash