Semua gereja Kristen baik Protestan dan Katolik percaya bahwa kita diselamatkan oleh anugerah Allah melalui iman. Namun perbedaan antara Protestan dan Katolik adalah kata “hanya.” Protestan percaya kita dibenarkan hanya oleh anugerah Allah (sola gratia) melalui iman kepada Kristus (sola fide). Lalu, di mana posisi perbuatan baik? Hampir semua Protestan percaya bahwa perbuatan baik adalah buah dari iman. Namun benarkah mereka benar-benar percaya perbuatan baik adalah buah dari iman? Mari kita menyelidiki slogan “sola gratia” yang dipercaya oleh beberapa Protestan dan kita akan menganalisisnya dari perspektif yang berpusat pada Injil. Di bagian pertama artikel ini, kita akan menyelidiki slogan “sola” gratia palsu dan membandingkannya dengan “sola gratia” yang berpusat pada Injil. Di bagian kedua, kita akan menganalisis konsep “sola” gratia yang tidak berpusat pada Injil.
“Sola” Gratia + Perbuatan Baik
Beberapa Protestan mengaku “sola gratia” secara pengakuan iman atau doktrinnya. Misalnya, Society of Evangelical Arminians di dalam pengakuan imannya mengajarkan, “… Hanya melalui kasih karunia Allah orang-orang berdosa dapat percaya dan dengan demikian dilahirkan kembali oleh Roh Kudus menuju keselamatan dan kehidupan spiritual. Anugerah Allah juga yang memampukan orang-orang percaya untuk terus beriman serta baik dalam pemikiran, kemauan, dan perbuatan, sehingga semua perbuatan baik atau gerakan yang dapat dibayangkan harus dianggap sebagai anugerah Allah” (http://evangelicalarminians.org/statement-of-faith/). Pdt. Dr. Erastus Sabdono juga mengajarkan, “Kasih karunia dari Tuhan Yesus yang berisi keselamatan adalah hadiah di mana orang percaya tidak perlu harus berbuat baik dulu atau melakukan suatu kebajikan barulah memperolehnya (Ef. 2:8-9)” (Erastus Sabdono, Apakah Keselamatan Bisa Hilang?, 22).
Namun mereka yang mengajarkan keselamatan hanya karena kasih karunia Allah ternyata tidak sungguh-sungguh konsisten mengajarkannya. Ini terlihat dari dua jenis, yaitu mereka mengajarkan anugerah + perbuatan baik secara teologis. Society of Evangelical Arminians yang percaya keselamatan hanya oleh anugerah Allah juga mengajarkan, “Kami percaya bahwa anugerah penyelamatan Allah dapat ditolak, bahwa pemilihan menuju keselamatan tergantung pada iman kepada Kristus, dan bahwa ketekunan dalam iman diperlukan untuk keselamatan akhir” (http://evangelicalarminians.org/statement-of-faith/).
Selain itu, Pdt. Erastus Sabdono yang tadi mengajarkan kasih karunia juga mengajarkan, “Tetapi bukan berarti hadiah tersebut secara otomatis dapat membuat orang percaya memiliki dan mengalami keselamatan” (Sabdono, Apakah Keselamatan Bisa Hilang?, 22). Hal ini didasarkan pada definisi keselamatan menurut Pdt. Erastus yaitu “dikembalikan ke rancangan semula.” Nah dari sini, Pdt. Erastus berpendapat, “Untuk dapat mengalami keadaan dikembalikan ke rancangan semula dibutuhkan respon dari manusia agar keselamatan tersebut terealisir atau terwujud.” (Ibid., 23) Kesimpulannya, “keselamatan adalah kasih karunia semata-mata, tetapi cara menerima kasih karunia tidak mudah” (Ibid., 26). Namun Pdt. Erastus berulang kali berkata bahwa respons manusia ini bukanlah jasa atau perbuatan baik (Ibid., 13, 25, 28, 29). Kita bukan hanya menerima anugerah Allah tersebut, tetapi juga menyambut dan mengerjakan keselamatan. Dengan mengutip Filipi 2:12-13, Pdt. Erastus menyimpulkan, “Jika orang percaya mengerjakan keselamatan dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan membantu mengerjakan dalam arti kooperatif atau membantu.” Alasannya kata “kerjakanlah” di ayat 12 berarti “menyelesaikan,” sedangkan “mengerjakan” di ayat 13 berarti memberi daya atau membantu (Ibid., 34-35).
Keselamatan yang Berpusat Pada Injil
Di dalam Efesus 2:8, Paulus mengajarkan, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman;” Kata “diselamatkan” dalam teks Yunaninya “sesōsmenoi” dari kata “sōzō” yang ditafsirkan John Stott merujuk pada “pelepasan dari kematian, perbudakan, dan murka yang disebutkan pada ay 1-3” (John Stott, Efesus, 79). Pelepasan ini mencakup “keseluruhan hidup baru dalam Kristus, dengan siapa kita dibangkitkan, dinaikkan dan didudukkan bersama-sama di sorga” (Ibid). Kemudian, Stott menjelaskan bahwa kata ini juga menunjukkan adanya dampak kekal karya Allah, sehingga Paulus berkata, “Kamu telah diselamatkan dan akan tinggal selamat untuk selama-lamanya” (Ibid., 76). Dengan kata lain, keselamatan berarti pelepasan dari kematian, perbudakan, dan murka Allah yang bersifat selama-lamanya. Kemudian, di Titus 3:4-5b, Paulus mengajar Titus bahwa pelepasan dari kematian, perbudakan, dan murka Allah itu dikerjakan oleh Allah Tritunggal. Dari sini, Alan Cairns menyimpulkan definisi “keselamatan” sebagai, “Pembebasan sempurna yang Allah berikan, melalui pribadi dan karya Kristus, dan oleh karya Roh Kudus kepada umat-Nya” (Alan Cairns, Dictionary of Theological Terms, 396).
Sola Gratia yang Berpusat Pada Injil
Karena keselamatan dikerjakan oleh Allah Tritunggal, maka kita dapat menyimpulkan bahwa keselamatan sepenuhnya (100%) berasal dari Allah. Apa buktinya? Mari kita kembali ke Efesus 2:8-9, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” Dari dua ayat ini, bukti keselamatan sepenuhnya berasal dari Allah adalah “kasih karunia,” “iman,” “pemberian Allah,” dan bukan karena jasa baik manusia. Kata “kasih karunia” dalam teks Yunaninya “charity” dari kata “charis” yang didefinisikan John Stott sebagai, “rahmat Allah yang bebas terhadap kita yang sebenarnya tidak layak menerimanya” (Stott, Efesus, 79). Ada dua kata yang akan kita soroti: “bebas” dan “tidak layak menerimanya.” “Bebas” berarti Allah tidak berkewajiban menyelamatkan kita. Kalau Dia menyelamatkan kita, itu karena Dia mau, bukan Dia harus. “Tidak layak menerimanya” berarti kita berdosa seharusnya mati sebagai upah dosa, namun Ia menyelamatkan kita.
Kedua, kata “iman” di sini ditafsirkan Stott sebagai, “kepercayaan rendah hati yang menerima pemberian-pemberian Allah untuk diri kita sendiri” (Ibid., 79). Kita diselamatkan oleh anugerah Allah melalui iman. Paulus menjelaskan keterkaitan dua hal ini (Rm. 3:22-25), namun anugerah dan iman memiliki perbedaan. Andrew T. Lincoln menyimpulkannya, “Tindakan kasih karunia Allah adalah dasar keselamatan dan iman adalah sarana yang melaluinya menjadi efektif dalam kehidupan seseorang” (Andrew T. Lincoln, Ephesians, 111). Menariknya, “iman” yang merupakan sarana/respons terhadap anugerah Allah dikontraskan dengan perbuatan baik atau melakukan hukum Taurat (Gal. 2:16; 3:2–5, 9, 10; Rm. 3:27, 28) (Ibid.). Karena iman dikontraskan dengan perbuatan baik, maka konsekuensi logisnya adalah iman adalah anugerah Allah dan iman bukan kerja sama manusia dengan anugerah Allah (Frank Thielman, Ephesians, 143).
Ketiga, “pemberian Allah.” Paulus menyimpulkan pengajarannya di atas dengan mengatakan bahwa keselamatan adalah pemberian Allah. Ini berarti dari awal hingga akhir keselamatan orang percaya diberikan oleh Allah, yaitu dari Allah Bapa memilih beberapa orang untuk diselamatkan di dalam Kristus, kemudian Bapa mengutus Kristus untuk mati bagi umat pilihan-Nya, Roh Kudus mengaplikasikan karya penebusan Kristus ke dalam hati mereka dengan melahirbarukan atau memberi mereka iman kepada Kristus, dan Roh Kudus memelihara keselamatan umat-Nya hingga akhir.
Keempat, bukan karena jasa baik manusia. Bukan hanya berasal dari Allah, keselamatan ditegaskan Paulus di Efesus ini sebanyak 2x, “itu bukan hasil usahamu” (ay. 8) yang ditafsirkan Stott, “bukanlah jasa kita” dan “itu bukan hasil pekerjaanmu” (ay. 9) yang ditafsirkan Stott: bukan “upah karena perbuatan baik dalam agama dan amal” (Stott, Efesus, 79). Kesimpulannya, “Anda tidak mendapatkan keselamatan; Allah memberikannya padamu” (Robert G. Bratcher dan Eugene A. Nida, A Handbook on Paul’s Letter to the Ephesians, 47).
Alasan Keharusan Sola Gratia
Mengapa semua karya keselamatan berpusat pada Allah, tidak ada andil jasa baik manusia secuil pun? Paulus menjelaskan di Efesus 2:1, “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu.” Hal ini dibuktikan di ayat 2, “Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka.” Dengan kata lain, manusia mati secara rohani dan diperbudak oleh “sistem nilai kemasyarakatan” (Stott, Efesus, 69). Bahasa teologisnya adalah rusak total (Total Depravity) yang berarti tidak ada satu aspek hidup manusia yang terluput dari dosa. Oleh karena itu, ketika manusia percaya kepada Kristus, itu bukan karena mereka mau percaya, tetapi karena mereka dimampukan-Nya untuk percaya.
Relevansi
Ketika kita percaya bahwa keselamatan kita murni berasal dari Allah tanpa jasa baik manusia secuil pun, maka kita menyadari dua hal, yaitu berhenti mengandalkan kemampuan kita sekaligus terus-menerus bergantung pada kemampuan Allah.
Pertama, berhenti mengandalkan kemampuan kita. Ketika keselamatan dikerjakan sepenuhnya oleh Allah, maka kita menyadari bahwa kita tidak mampu keluar dari perbudakan dosa, kematian, dan murka Allah atas dosa. Hal ini tidak berarti kita tidak bisa berbuat baik. Ketika Allah menciptakan kita, Ia mencipta kita dengan kemampuan untuk berbuat baik, tetapi dosa mengakibatkan kemampuan tersebut terpolusi oleh dosa, sehingga meskipun kita bisa berbuat baik, kita tidak mampu berbuat baik secara konsisten dan sempurna. Kita memahami ini ketika kita menjalani kehidupan praktis kita sehari-hari. Misalnya, di kantor, ketika kita mau bekerja jujur, kita pasti tergoda untuk menipu orang lain atau melakukan segala cara agar pekerjaan kita sukses di depan bos atau atasan kita, dan kita pasti berusaha keras untuk menolak godaan itu. Hasilnya terkadang kita sukses mengalahkan godaan itu, namun berulang kali kita gagal mengalahkannya. Ini membuktikan kita tidak konsisten berbuat baik. Selain itu, ketika kita sudah membantu orang yang kekurangan dengan memberikan sembako atau bantuan lainnya, beberapa dari kita meliput bantuan-bantuan yang kita berikan ditambah foto kita, lalu kita upload di media sosial untuk menunjukkan tindakan bakti sosial kita. Ini membuktikan kita tidak sempurna berbuat baik karena kita memang berbuat baik, tetapi motivasi kita tidak beres yaitu agar banyak orang memuji kita sebagai orang kaya sekaligus dermawan. Karena kita tidak mampu keluar dari perbudakan dosa, kematian, dan murka Allah, maka kita seharusnya berhenti mengandalkan kemampuan kita. Namun ironisnya, berapa banyak dari kita yang sudah mengerti kita rusak total, namun masih bergantung pada kemampuan kita untuk berbuat baik entah untuk menyenangkan Allah maupun agar orang lain menghargai perbuatan baik kita. Misalnya, kita rajin memberi persepuluhan dengan jumlah besar atau aktif beribadah baik secara online maupun onsite agar Allah memberkati kita yang rajin melakukan kewajiban agamawi. Atau kita berbuat baik bagi orang lain dengan maksud agar orang lain memuji dan menghargai perbuatan baik kita. Ketika orang yang kita tolong mengkritik atau tidak menyetujui pendapat kita, kita langsung marah dan mengungkit-ungkit perbuatan baik yang telah kita berikan kepada orang tersebut.
Kedua, terus-menerus bergantung pada kemampuan Allah. Di tengah ketidakmampuan manusia keluar dari perbudakan dosa, kematian, dan murka Allah, Allah mampu menyelamatkan kita. Karena hanya Allah yang mampu menyelamatkan kita, maka kehidupan kita sehari-hari pun seharusnya bergantung pada kemampuan Allah, bukan kemampuan kita. Ketika kita menghadapi kesulitan maupun godaan untuk hidup tidak benar di hadapan Allah, marilah kita bergantung pada kemampuan Allah dengan berdoa dan berkomitmen taat pada kehendak-Nya sebagai ucapan syukur kita yang telah diselamatkan-Nya sambil tetap menyadari bahwa ketaatan kita pun adalah anugerah-Nya. Paulus menyimpulkan hal ini di dalam 1 Korintus 15:10, “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku.”
“Di tengah ketidakmampuan kita berbuat baik untuk keluar dari perbudakan dosa, Allah mengasihi kita dengan melepaskan kita dari perbudakan dosa, sehingga kita yang sudah terlepas dimampukan-Nya untuk berjuang mengalahkan semua godaan dosa dengan hidup sesuai dengan firman-Nya sambil tetap menyadari bahwa itu semua adalah anugerah-Nya.” Amin. Soli Deo Gloria.