Istilah “persekutuan” sudah tidak asing di telinga orang-orang Kristen. Banyak “persekutuan doa” diadakan di mana-mana. Sayangnya, aspek persekutuan yang ada hanya terbatas pada kesamaan aktivitas ritual (berdoa) dan tenpat. Doa-doa yang dipanjatkan pun tidak selalu sama. Masing-masing berdoa untuk kebutuhannya sendiri-sendiri. Interaksi yang bermakna antar orang percaya tidak tercipta.
Persekutuan Kristen yang sejati lebih dari itu. Persekutuan antara orang percaya dibangun di atas dasar persekutuan dengan Allah (1:3, 7). Relasi vertikal dengan Allah menentukan relasi horizontal antar orang percaya. Tatkala dua sisi relasi ini terbangun dengan baik, persekutuan komunitas Kristiani akan diwarnai dengan sukacita yang penuh (1:4).
Ironisnya, relasi horizontal antar orang Kristen seringkali diwarnai dengan iri hati, kekecewaan, perseteruan, dan fitnah. Tidak ada ketenangan, kedamaian, dan sukacita. Hal ini terjadi karena kualitas relasi vertikal dengan Allah yang buruk, entah sebagian orang memang belum bertobat dan memiliki relasi dengan Allah atau mereka memiliki konsep tentang Allah yang kurang tepat. Itulah yang diuraikan Rasul Yohanes di 1:5-7.
Allah adalah terang (ayat 5)
Pengenalan tentang Allah memainkan peranan penting dalam kehidupan orang Kristen. Pengenalan ini ibarat sebuah lensa untuk melihat segala sesuatu. Ini berbicara tentang perspektif hidup. Bagaimana kita memandang Allah akan menentukan bagaimana kita memandang diri sendiri, orang lain, dan segala sesuatu dalam kehidupan kita.
Dalam ayat ini Yohanes mengajarkan bahwa Allah adalah terang. Ungkapan ini jelas bermakna simbolis. Terang melambangkan segala sesuatu yang baik. Secara khusus dalam konteks 1 Yohanes 1:1-9, terang berkaitan dengan segala sesuatu yang terlihat dengan jelas. Tidak ada kepalsuan. Apa adanya. Tidak ada sesuatu yang buruk yang disembunyikan. Semua baik dan transparan.
Yohanes tampaknya bukan hanya menyatakan kebenaran ini, tetapi ia juga memberi penekanan tertentu. Ada dua cara penegasan yang digunakan dalam ayat ini. Yang pertama, Yohanes memulai dengan ungkapan “Dan inilah berita yang kami dengar dari Dia” (ayat 5a). Penekanan ini senada dengan ayat 1-3. Apa yang disampaikan oleh Yohanes bukan hasil kreativitas pemikirannya belaka. Ia menerimanya langsung dari Tuhan Yesus.
Yang kedua, Yohanes memberi tambahan “di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan” (ayat 5b). Tanpa tambahan ini pun kita sudah tahu bahwa terang dalam diri Allah pasti sempurna; tidak mungkin ada kegalapan dalam diri Allah. Bagaimanapun, Yohanes tetap menambahkan ini untuk penekanan. Ia ingin menegaskan bahwa terang dan gelap bersifat eksklusif (bdk. Yoh 3:19-21). Terang meniadakan kegelapan. Ia bukan sedang membicarakan sebuah situasi yang remang-remang. Ia bukan sedang memikirkan sebuah situasi yang disorot oleh lampu sementara bagian lain di sekitarnya tetap gelap. Situasi ini bukan perpaduan antara sedikit gelap dan banyak terang. Tidak ada percampuran semacam itu. Hanya dua pilihan: terang atau gelap. Setiap orang terletak di salah satu sisi saja, entah terang atau gelap. Tidak ada yang berdiri di antaranya.
Implikasi dari konsep “Allah adalah terang” (ayat 6-7)
Pengetahuan tentang Allah tidak hanya bersifat teoritis. Apa yang kita tahu tentang Dia seyogyanya mempengaruhi kehidupan kita. Tindakan kita menunjukkan kualitas pengenalan kita terhadap Dia. Orang yang mengenal Allah dengan benar – baik dari sisi intelektual maupun personal - pasti hidup dengan benar.
Pada saat pengenalan tentang Allah dijadikan ukuran kehidupan, tidak semua orang berhasil menunjukkan kualitas jati diri mereka yang baik. Tatkala Yohanes menjadikan konsep “Allah adalah terang” sebagai ukuran kehidupan, ada dua macam kategori orang yang muncul.
Mereka yang hidup dalam kegelapan (ayat 6)
Mayoritas penafsir Alkitab meyakini bahwa Yohanes sedang menyinggung tentang sebuah ajaran sesat (bidat) yang sedang mengancam penerima suratnya, walaupun mereka belum sepakat tentang identitas dari bidat tersebut. Para pengajar dan penganut bidat ini mengklaim bahwa mereka tidak berdosa (bdk. 1:8, 10). Mereka mengaku bahwa mereka memiliki persekutuan yang khusus dengan Allah (1:6).
Dari sedikit petunjuk ini kita mungkin bisa memikirkan semacam cikal-bakal filsafat Gnostisisme yang nantinya baru berkembang pesat di abad ke-2. Dalam konsep mereka yang sangat dualistik, hal-hal yang jasmani sangat direndahkan dan dipisahkan dari hal-hal yang rohani. Tubuh dianggap jahat, sementara akal budi dipandang baik.
Dalam kaitan dengan Allah, mereka lebih mengedepankan pengetahuan (gnōsis), itupun pengetahuan yang bersifat mistis. Mereka membanggakan persekutuan ilahi yang sangat spesial. Pengabaian terhadap jasmani mungkin telah mendorong mereka berpikiran bahwa apapun yang dilakukan oleh tubuh tidak masalah (tidak berdosa). Tubuh adalah rendah. Apapun yang berkaitan dengan tubuh tidaklah penting. Hanya pengetahuan mistis dan persekutuan khusus dengan Allah yang penting.
Di mata Yohanes, pemikiran di atas sangat keliru. Ada kaitan antara pengetahuan dan tindakan. Mengetahui bahwa Allah adalah terang, misalnya, harus dibarengi dengan kehidupan di dalam terang. Sekadar mengakui suatu kebenaran tidak menjadikan seseorang benar. Dengan kata lain, kesalehan bersifat teoritis dan praktis.
Mereka yang hanya bisa mengaku tetapi tidak melakukan pengakuan mereka pada dasarnya telah melakukan dua kesalahan sekaligus: menipu dan tidak melakukan kebenaran (ayat 6b). Di ayat ini tidak jelas siapa yang menjadi obyek penipuan. Berdasarkan ayat 8 kita sebaiknya memikirkan diri sendiri sebagai obyek utama dari penipuan ini. Artinya, mereka memberi rasa aman yang palsu bagi diri sendiri tatkala mengklaim ketidakberdosaan mereka. Merasa tidak berdosa padahal mereka penuh dengan dosa.
Bukan hanya menipu diri sendiri, mereka juga tidak melakukan kebenaran. Dari sini terlihat bahwa ada beberapa bagian konsep bidat tersebut yang benar. Mereka mungkin mengakui bahwa Allah adalah terang. Itu memang tepat. Mereka mungkin mengajarkan pentingnya memiliki persekutuan yang khusus dengan Allah. Itu juga tidak salah.
Persoalannya, konsep itu tidak sepenuhnya benar. Persekutuan khusus dengan Allah tidak didasarkan pada pengetahuan mistis, tetapi korban Kristus yang menyucikan dan melayakkan orang berdosa (1:3, 7). Ini bukan hasil usaha manusia. Ini bukan hanya disediakan bagi orang-orang tertentu, namun bagi semua yang percaya pada karya penebusan Kristus.
Selain konsep yang diyakini tidak sepenuhnya benar, para bidat juga tidak melakukan apa yang mereka ketahui. Konsep tentang “Allah adalah terang” bukan sekadar pemikiran filosofis yang abstrak. Kebenaran ini seharusnya terlihat secara riil dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka yang hidup di dalam terang (ayat 7)
Ayat 7a menjelaskan logika sederhana yang digunakan oleh Yohanes. Mereka yang mengaku memiliki persekutuan dengan Allah yang adalah terang pasti berjalan di dalam terang. Jika Allah di pihak terang dan orang-orang tertentu di pihak kegelapan, bagaimana mungkin mereka mengklaim memiliki persekutuan dengan Allah? Bukankah untuk bersekutu mereka perlu berada di tempat yang sama? Jika terang dan kegelapan bersifat eksklusif satu sama lain (seperti di ayat 5), bagaimana mungkin mereka yang hidup di dalam kegelapan bisa memiliki persekutuan dengan Allah yang adalah terang?
Logika di atas sangat mudah untuk dipahami. Yang sulit adalah mengetahui keterkaitan antara ayat 7a dan 7b.
Penggunaan kata sambung “maka” di ayat ini sekilas dapat menimbulkan kebingungan. Terjemahan LAI:TB bisa memberi kesan bahwa ayat 7a (kehidupan di dalam terang) merupakan syarat bagi ayat 7b (memiliki persekutuan dengan sesama dan penyucian dosa oleh darah Kristus). Kesan ini ternyata salah. Dalam teks Yunani tidak ada kata sambung yang mengaitkan ayat 7a dan 7b. Hampir semua versi Inggris mengikuti teks Yunani dengan cermat.
Kita sebaiknya memahami ayat 7a sebagai bukti bagi ayat 7b. Maksudnya, orang-orang yang memiliki persekutuan dengan sesama orang percaya dan menerima penyucian dosa oleh darah Kristus seyogyanya menunjukkan hal itu melalui kehidupan di dalam terang. Kehidupan di dalam kegelapan membuktikan situasi sebaliknya.
Orang-orang yang percaya kepada Kristus sudah mengenal terang dan berjalan di dalamnya (bdk. Yoh 8:12). Semua yang berada di dalam terang pasti memiliki persekutuan satu dengan lainnya. Persekutuan tidak akan tercipta apabila sebagian ada di terang dan sebagian lagi di kegelapan.
Apakah ini berarti bahwa orang-orang percaya akan selalu berada dalam terang? Apakah itu berarti bahwa kita tidak mungkin berdosa? Tentu saja tidak! Kita kadangkala masih jatuh ke dalam dosa (1:9). Namun, kita tidak hidup di dalam kegelapan. Kegagalan kita adalah kegagalan di dalam terang. Kita juga sadar bahwa yang kita lakukan adalah dosa. Tidak seperti mereka yang hidup di dalam kegelapan dan mengaku tidak memiliki dosa, kita benar-benar paham dan sadar dengan posisi dan dosa kita.
Ilustrasi yang tepat adalah sebuah rumah yang sangat terang di tengah pekarangan yang gelap. Kita tinggal di dalam rumah itu. Sama seperti mereka yang tinggal di pekarangan, kita sama-sama bisa jatuh. Bedanya, kita tetap di dalam rumah. Kita juga tahu apa yang menyebabkan kita jatuh dan belajar dari kejatuhan itu. Mereka yang di pekarangan akan terus jatuh dan tidak bisa belajar apapun, karena mereka tidak melihat apa-apa.
Apakah persekutuan kita dengan Allah dan sesama sudah diwarnai oleh sukacita? Apakah kita sudah memiliki konsep dan relasi yang benar dengan Allah? Sudahkah kita berjalan di dalam terang? Soli Deo Gloria.