Berpikir secara terbuka merupakan kebajikan. Praktek ini perlu ditumbuhkan dalam segala hal, terutama dalam upaya untuk menelusuri pengetahuan. Tanpa keterbukaan pemikiran (open-mindedness), seseorang tidak akan memeroleh pengetahuan yang luas dan mendalam.
Sayangnya, sebagian orang tidak memahami definisi keterbukaan pemikiran. Apa saja wujud konkritnya? Apakah ketidaksetujuan merupakan kebalikan dari keterbukaan? Kerancuan yang sama terjadi dalam dunia teologi. Sejauh mana seseorang (misalnya, seorang Reformed) perlu terbuka terhadap ajaran-ajaran lain?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini ditentukan oleh pengertian tentang keterbukaan pemikiran yang dipegang oleh seseorang. Secara umum berbagai kamus memberikan pemahaman yang mirip. Keterbukaan pemikiran berarti kemauan untuk mendengarkan dan memertimbangkan opini atau ide yang baru atau berbeda dengan pandangan seseorang (Cambridge/Collins). Sikap mendengarkan dan memertimbangkan dalam konteks ini tentu saja dilakukan tanpa prasangka buruk.
Yang perlu ditelaah lebih lanjut di sini adalah jangkauan keterbukaan pemikiran. Berpikir terbuka secara mutlak (tanpa batas) dan menerima apapun pandangan baru yang diperoleh jelas hanyalah sebuah impian. Orang tidak akan mau menerima suatu pandangan yang bertabrakan dengan kerangka pemikirannya. Dia perlu meninggalkan kerangka yang lama supaya dapat merengkuh informasi yang baru. Jika ini tidak dilakukan, orang tersebut akan terjebak pada pemikiran yang tidak tersistem atau tidak konsisten. Jadi, keterbukaan pemikiran tidak mungkin mencakup penerimaan segala pandangan tanpa verifikasi dan seleksi apapun.
Lawan dari keterbukaan pemikiran bukanlah penolakan pandangan lain. Musuh keterbukaan pemikiran adalah pemikiran yang sempit, yaitu ketidakmauan untuk mendengarkan dan memertimbangkan pandangan yang baru atau berbeda dengan yang dipegang. Ada prasangka buruk bahwa pandangan orang lain pasti keliru. Ada keengganan untuk belajar dari orang lain karena dianggap tidak membawa manfaat. Dalam konteks belajar teologi, orang yang berpikiran sempit hanya akan membaca literatur-literatur dalam tradisinya. Ketika dia membaca sebuah tulisan dari tradisi lain, dia akan bersikap curiga dan mengevaluasi tulisan itu dari perspektif tradisinya. Dia memiliki prasangka bahwa semua yang ditulis dalam tradisi lain adalah keliru. Kalaupun ada yang benar mungkin tidak akan banyak berfaedah. Berpikir sempit adalah sikap yang negatif, bukan saja bagi teologi/tradisi Reformed tetapi bagi ilmu pengetahuan secara umum.
Walaupun demikian, sekali lagi, keterbukaan pemikiran tidak harus mencakup persetujuan. Selama ketidaksetujuan sudah didasarkan pada pengenalan dan pertimbangan yang matang, hal itu tidak boleh dikategorikan sebagai pemikiran yang sempit. Pengenalan berarti seseorang sudah berusaha secara memadai untuk memelajari dan memahami pandangan orang lain. Pertimbangan berarti dia sudah melihat dari berbagai sudut dan memikirkan semua faktor. Jika semua sudah dilakukan dan hasilnya adalah ketidaksetujuan ya hal itu sah-sah saja. Orang itu tidak boleh diberi label: berpikiran sempit. Tidak sepaham tidak masalah, yang penting sudah paham. Soli Deo Gloria.