Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Begitulan LAI menerjemahkan Kej. 1:2 ketika pertama kali menggambarkan salah satu kondisi langit dan bumi ketika diciptakan oleh Allah. Sebagian versi Alkitab berbahasa Inggris mencoba memahami rûah di ayat ini sebagai “angin” (NRSV “a wind from God”, NJB “a divine wind”). Beberapa penafsir mengambil kata ’ělōhîm sebagai kata sifat, sehingga frase rûah ’ělōhîm diterjemahkan “angin yang kuat”. Salah satu alasan yang diajukan adalah kesejajaran dengan bagian Alkitab lain yang menceritakan bahwa Allah menggunakan angin untuk menggenapi rencananya, misalnya Ia memakai angin untuk menurunkan banjir dari muka bumi (8:1), mengirim belalang ke perkemahan Mesir (Kel 10:19), membelah Laut Teberau (Kel 14:21; 15:10) maupun mengirimkan burung puyuh sebagai makanan bangsa Israel (Bil 11:31).
Penyelidikan yang lebih seksama memberikan dukungan pada pandangan mayoritas dan tradisional yang memahami rûah sebagai “Roh”.
- Kata “melayang-layang” (rāhap) tidak cocok untuk tindakan yang dilakukan oleh angin. Penggunan lain dari kata kerja rāhap di tempat lain memiliki arti “melayang-layang” (Ul 32:11) atau “bergetar” (Yer 23:9). Dua arti ini tidak mungkin dilakukan oleh angin.
- Kata rāhap muncul di Ulangan 32:11 sebagai gambaran dari tindakan Allah yang melindungi umat-Nya (Ul 32:12). Dalam hal ini keterkaitan antara Kejadian 1:2 dan Uangan 32:11 juga diperkuat dengan pemunculan kata tōhû di Kejadian 1:2 dan Ulangan 32:10.
- Dalam Keluaran 31:3 Bezaleek dipenuhi oleh rûah ’ělōhîm untuk menyelesaikan pekerjaan kemah suci. Frase ini jelas tidak mungkin diterjemahkan “angin dari Allah” atau “angin yang keras”.
- Penafsiran kata ’ělōhîm sebagai kata sifat tidak sesuai dengan konteks Kejadian 1-2. Semua pemunculan kata ’ělōhîm di bagian ini merujuk pada Allah sebagai kata benda.
- Seandainya ’ělōhîm memang harus dipahami sebagai Allah, sedangkan rûah ditafsirkan sebagai “angin” (NJB/NRSV), sulit dimengerti mengapa hanya angin saja yang diberi tambahan “dari Allah” atau “ilahi”. Apa fungsi dari penambahan ini? Bukankah segala sesuatu (“langit dan bumi”) secara jelas diciptakan oleh Allah?
- Mazmur 104:30 menyiratkan partisipasi Allah yang bersifat pribadi dalam penciptaan alam semesta.
- Pemunculan frase rûah ’ělōhîm dalam PL tidak ada yang memiliki arti “angin yang keras”. Frase ini secara umum merujuk pada Roh Allah.
- Sehubungan dengan penggunaan “angin” (rûah) sebagai penggenap rencana Allah, kita perlu menegaskan bahwa tidak ada satu teks pun dalam kisah-kisah tersebut yang memakai frase rûah ’ělōhîm.
Terlepas dari apakah rûah harus dipahami sebagai “angin” atau “Roh”, inti yang ingin disampaikan dalam Kejadian 1:2 tetaplah sama. Gambaran yang ada di Kejadian 1:2 mengingatkan kita pada kekuasaan TUHAN atas samudera raya. Sama seperti Allah berkuasa mengatur air yang begitu banyak (Kej 1:6-10), demikian juga Ia berkuasa menggunakan air tersebut untuk menghukum (Kej 6:5-8:19) atau menyelamatkan umat-Nya (Kel 14:21; 15:10). Ia pun berkuasa mengatur air agar tidak lagi memusnahkan bumi (8:1-2; 9:11).
Sebagaimana Allah berkuasa atas keadaan bumi yang belum siap didiami, demikian pula Ia berkuasa untuk menjaga bangsa Israel yang masih berada di padang gurun, suatu tempat yang tidak dapat didiami pula. Sebagaimana Ia selanjutnya mampu mengubah bumi yang tōhû menjadi tempat yang baik untuk didiami, demikian pula Ia pasti akan memberikan tanah Kanaan yang baik kepada bangsa Israel.
Dari perspektif kosmologi kuno Kejadian 1:2 memaparkan figur Allah yang unik. Tidak seperti dewa-dewa kuno yang saling bertempur untuk merusak atau memelihara bumi, TUHAN tidak memiliki lawan apapun. Bumi dan air adalah ciptaan-Nya (1:1), sehingga Dia pun berkuasa atas semuanya itu (1:2). Laut yang pada zaman dahulu sering ditakuti banyak orang ternyata tidak lebih dari sekadar ciptaan yang berada di bawah kekuasaan Allah (Mzm 89:10; Yes 27:1; 51:9-10).
NK_P