Kekristenan itu bukan tentang deretan aturan. Bukan pula sekadar kumpulan nasihat kehidupan. Kekristenan berbicara tentang relasi. Tentang bagaimana Allah mencari dan menyelamatkan orang yang hilang supaya mereka menikmati persekutuan dengan Dia.
Sayangnya, sebagian orang Kristen tidak benar-benar memahami bagaimana relasi itu bisa dipulihkan. Apakah kita memiliki peranan di dalamnya (sekecil apapun itu)? Mereka juga kurang memahami bagaimana mengisi relasi tersebut. Sikap seperti apa yang diharapkan oleh Allah dari kita? Tanggung-jawab apa yang Allah minta dari kita?
Dalam khotbah kali ini kita akan belajar bersama-sama tentang keselamatan kita. Tentang bagaimana kita diselamatkan. Tentang bagaimana kita seharusnya menyikapi keselamatan tersebut.
Keselamatan adalah murni anugerah Allah (ayat 8-9a)
Hampir semua orang Kristen akan langsung mengaminkan bahwa keselamatan adalah anugerah. Keselamatan dan kasih karunia terlihat tidak mungkin terpisahkan. Slogan Sola Gratia (Hanya Anugerah) sudah sedemikian terkenal.
Walaupun demikian, tidak semua orang memahami slogan di atas secara seragam. Seberapa jauh keselamatan merupakan anugerah? Apakah ada andil atau peranan kita di dalamnya?
Cukup banyak orang yang meyakini bahwa manusia tetap berperan di dalam keselamatan. Allah hanya memberikan tawaran. Keputusan ada di tangan setiap orang. Mereka bisa mengabaikan tawaran. Mereka juga bisa menyikapi dengan iman. Jadi, peranan manusia adalah “beriman”. Ini adalah “tindakan” manusia.
Marilah kita menguji konsep yang populer di atas dari terang teks kita hari ini. Di sini Paulus mengatakan: “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman” (ayat 8a). Lalu dia menambahkan: “itu bukan hasil usahamu” (ayat 8b) dan “itu bukan hasil pekerjaanmu” (ayat 9a).
Yang menjadi kunci untuk memahami bagian ini adalah kata ganti penujuk “itu” (touto). Apakah touto merujuk pada “kasih karunia” saja atau seluruh proses atau ide di ayat 8a? Jika opsi pertama benar, maka “iman” tidak termasuk pemberian Allah. Jika opsi kedua benar, maka semua yang berperan dalam keselamatan kita adalah pemberian Allah.
Analisa tata bahasa berpihak pada opsi yang terakhir. Dalam Bahasa Yunani, sebuah kata gnti penunjuk harus memiliki kesesuaian jenis kelamin dan jumlah dengan kata benda yang ditunjuk. Nah, dalam teks ini kit amendapati bahwa kata ganti penunjuk touto berjenis kelamin neuter dan berjumlah tunggal. Poin gramatikal ini memberitahu kita bahwa touto tidak mungkin merujuk pada kata “iman” (pistis), karena “iman” berjenis kelamin feminin. Touto juga tidak mungkin merujuk pada “kasih karunia” (charis) dengan alasan yang sama. Charis dan pistis sama-sama feminin.
Apakah touto merujuk pada “kasih karunia” dan “iman” sebagai sebuah kesatuan? Kemungkinan tidak juga. Jika merujuk pada dua kata tersebut Paulus mungkin akan menggunakan kata ganti penunjuk feminin jamak. Yang kita temukan di adalah neuter tunggal.
Sesuai dengan kaidah Bahasa Yunani, kata ganti neuter tunggal seringkali digunakan untuk merujuk pada sebuah proses atau ide. Jadi, bukan pada kata benda tertentu di dalam sebuah kalimat. Kaidah ini tampaknya sangat sesuai dengan ayat 8-9a. Yang dimaksud dengan “itu” (touto) adalah keseluruhan ide atau proses di ayat 8a: dari Allah yang memberikan kasih karunia sampai kita yang beriman. Keseluruhan proses merupakan pemberian Allah.
Manusia tidak mungkin beriman tanpa intervensi Allah dalam dirinya. Setiap orang yang berada di luar Kristus adalah mati dalam dosa (2:1). Mereka menaati roh-roh jahat yang menguasai manusia di dalam dosa (2:2). Natur mereka cemar oleh dosa (2:3). Dalam keadaan seperti ini mustahil manusia mampu percaya atau memilih Allah. Mereka pasti akan memusuhi Allah yang benar.
Dalam anugerah-Nya (2:4) Allah telah menghidupkan kita kembali bersama-sama dengan Kristus (2:5). Kebangkitan Kristus menjadi bagian dan jaminan kita (2:6-7). Jadi, sebelum kita lahir – apalagi mengambil keputusan untuk percaya – Allah telah mempersatukan kita dengan Kristus. Semua Lebih dari 2000 tahun yang lalu Kristus sudah membayar lunas dan menggenapkan keselamatan kita. Semua ini terjadi karena kasih, rahmat, kasih karunia dan kebaikan Allah (2:4-7).
Respons terhadap keselamatan yang beranugerah (ayat 9b-10)
Keselamatan berarti pemulihan relasi. Kita yang dahulu jauh sekarang dekat, yang dahulu musuh sekarang anak-anak Allah. Relasi yang sudah dipulihkan ini perlu disikapi dengan benar.
Bagaimana kita menyikapi keselamatan yang beranugerah? Paulus memberikan dua poin: yang satu negatif (larangan), yang satu positif (perintah).
Pertama, tidak menjadi sombong. Salah satu godaan terbesar adalah kesombongan. Manusia ingin merasa dihargai, entah karena apa yang kita miliki atau capai. Kita ingin memiliki andil dalam hal-hal yang besar.
Kecenderungan ini sebenarnya tidak terlalu mengagetkan. Sejak dahulu persoalan ini sudah mencuat ke permukaan. Adam dan Hawa tidak puas hanya sebagai gambar Allah (Kej. 1:26-27). Mereka ingin menjadi seperti Allah (Kej. 3:5-6). Bagian-bagian Alkitab selanjutnya memaparkan begitu banyak orang yang sombong.
Ironisnya, manusia juga ingin memegahkan diri atas keselamatan. Mereka akan merasa lebih dihargai apabila mereka dilibatkan dalam keselamatan. Menerima pemberian Allah apa adanya tanpa kita berjasa apa-apa bertentangan dengan natur manusia yang berdosa. Kita ingin memiliki peranan yang dapat dibanggakan.
Tidak heran, sebagian orang mencoba melihat “iman” sebagai peranan. Manusia yang memutuskan apakah mereka akan atau tidak akan beriman. Iman adalah keputusan manusia. Jadi, manusia berperan di sana.
Konsep di atas jelas salah kaprah. Iman bukan tindakan. Paulus berkali-kali di beberapa suratnya mengontraskan iman dengan perbuatan (misalnya Rm. 3:27; 4:2-3).
Sampai di sini mungkin ada yang bertanya-tanya: “Bukankah beriman adalah perbuatan saya?” Tepat sekali! Tetapi kita tidak boleh melupakan bahwa kemampuan untuk beriman sendiri merupakan pemberian Allah. Tuhan membuka hati kita (Kis. 16:14) dan melahirkan kita kembali dengan firman kebenaran (Yak. 1:18) sehingga kita bisa beriman. Selaput yang menutupi mata dan pikiran rohani kita (2Kor. 4:4) diangkat oleh Allah sehingga kita bisa melihat cahaya kemuliaan Kristus (2Kor. 4:6). Injil menjadi begitu transparan dengan semua keindahannya, sehingga kita menginginkannya sedemikian rupa. Itulah konsep iman yang benar. Allah bukan sekadar menyediakan tawaran. Dia membuat tawarannya terlihat begitu indah sehingga kita pasti akan mengingininya dengan sepenuh hati kita. Iman menjadi tidak terelakkan ketika kita dimampukan untuk memandang keindahan dan keutamaan Tuhan.
Kedua, berbuat baik (ayat 10). Agama-agama mengajarkan perbuatan baik sebagai syarat bagi keselamatan. Manusia berbuat baik supaya selamat. Hanya di dalam Alkitab kita mendapati kebalikannya. Keselamatan bukan syarat, tetapi buah keselamatan. Kita berbuat baik karena sudah diselamatkan.
Kita adalah buatan (poiēma) Allah. Karya seni buatan tangan Allah sendiri. Kita adalah mahakarya Allah di dalam Kristus. Ibarat kesenian, kita adalah karya seni terindah dan termahal yang dibuat dari bahan-bahan terburuk dan termurah. Kita yang dahulu mati dalam dosa telah diciptakan kembali di dalam Kristus.
Tujuannya bukan sekadar menjadi pajangan. Karya yang indah ini bukan sekadar penghias ruangan. Ada peranan yang harus dimainkan. Peranan ini bukan ide yang muncul belakangan. Justru dari awal sang maestro memikirkan peranan itu, lalu dia mengubah sebuah benda yang tidak berguna supaya bisa memainkan peranan tadi. Begitulah yang ada di pikiran Allah.
Peranan kita adalah mengerjakan kebaikan. Peranan ini “sudah dipersiapkan Allah sebelumnya” (ayat 10). Untuk keperluan itu Allah perlu menciptakan kita kembali. Jadi, kita diselamatkan bukan sekadar dari (dosa dan hukuman), tetapi diselamatkan untuk (perbuatan baik).
Tidaklah berlebihan apabila Allah menginginkan kita untuk melakukan kebaikan. Keselamatan kita berasal dari kebaikan Allah. Diawali dari kebaikan Allah, dimaksudkan untuk melakukan kebaikan demi Allah. Ketidaktaatan digantikan dengan ketaatan. Pemuasan nafsu untuk mendapatkan kebahagiaan digantikan dengan kepuasan di dalam Tuhan. Soli Deo Gloria.