Relasi dengan Keluarga Allah (Efesus 4:1-6)

Posted on 07/06/2020 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/relasi-dengan-keluarga-allah-efesus-4-1-6.jpg Relasi dengan Keluarga Allah (Efesus 4:1-6)

Salah satu kata yang sangat lekat dengan kekristenan adalah “kasih.” Tuhan Yesus bahkan menjadikan kasih antar sesama orang percaya sebagai bukti tak terbantahkan bahwa kita adalah murid-murid-Nya (Yoh. 13:35). Ini adalah karakteristik orang-orang Kristen.

Sayangnya, tidak semua orang Kristen menghidupi kebenaran ini. Gereja justru seringkali menjadi medan pertempuran dan sumber perselisihan. Orang-orang Kristen bahkan menjadi penebar benih kebencian. Ketika dilukai, mereka sukar untuk mengampuni.

Kegagalan di atas jelas menjadi pukulan telak. Kegagalan ini seumpama sebuah restoran cepat saji yang membutuhkan waktu sangat lama dalam menyiapkan dan menghidangkan makanan mereka. Kita lemah pada tempat yang seharusnya kita paling kuat.

Bagaimana memelihara kesatuan di antara orang percaya? Bagaimana bentuk kesatuan yang diharapkan?

 

Nasihat untuk bersatu (ayat 1)

Ada banyak alasan mengapa beberapa orang dapat bersatu. Namun, tidak semua alasan tersebut adalah benar. Sebagian orang bersatu karena memiliki musuh yang sama. Contohnya adalah golongan Farisi dan Saduki yang terlihat begitu kompak mencobai Yesus, padahal mereka merupakan saingan dan musuh bebuyutan. Sebagian orang bersatu karena memiliki tujuan yang sama. Beberapa partai politik, misalnya, tidak segan-segan berkoalisi dengan partai lain yang sebenarnya berseberangan hanya sekadar untuk mendapatkan perolahan suara yang dominan. Masih banyak lagi contoh tentang kesatuan yang dilandasi oleh alasan yang tidak benar.

Lalu alasan kesatuan seperti apa yang dikehendaki oleh Tuhan? Di ayat 1 ini Paulus menyampaikan nasihatnya dengan cara yang brilian. Dia mengabungkan sentuhan personal dan doktrinal dalam nasihatnya. Sebuah kombinasi yang seringkali dilupakan banyak orang. Pendekatan personal yang tidak dibarengi dengan doktrin yang benar seringkali hanya mengedepankan perasaan dan terbawa oleh keadaan. Pendekatan doktrinal yang tidak disertai dengan sentuhan personal seringkali hanya menciptakan zombi-zombi teologis yang mematikan.

Aspek doktrinal terungkap dari ide tentang panggilan ilahi. Ide ini bahkan diulang dua kali: “sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu” (juga di 4:6). Kata “panggilan” (klÄ“sis) dalam surat ini berkaitan dengan kemuliaan (1:18) dan pengharapan (4:4). Keduanya mengarah pada masa depan (akhir zaman). Orang-orang percaya akan dimuliakan. Inilah pengharapan kita.

Mengapa Paulus perlu menghubungkan kesatuan dengan kemuliaan dan pengharapan? Poin yang ingin dia sampaikan adalah ini: apa yang akan terjadi pada kita kelak seharusnya mempengaruhi bagaimana kita sekarang bertindak. Dia menasihatkan jemaat Efesus untuk hidup sesuai dengan panggilan itu. Salah satunya adalah hidup dalam kesatuan (4:2-6).

Kata “sesuai dengan” (axiōs) secara hurufiah berarti “layak bagi” (mayoritas versi Inggris). Yang ingin ditekankan bukan hanya kesesuaian, tetapi kesesuaian dengan standar yang tinggi; kesesuaian dengan sesuatu yang mulia. Pengharapan tentang kemuliaan kekal tidak pantas dihidupi secara asal. 

Aspek doktrinal di atas diberi sentuhan personal. Paulus menambahkan: “aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan” (ayat 1a). Apakah Paulus di sini sekadar menginformasikan keadaannya yang terkini pada saat menuliskan surat ini? Tentu saja tidak! Di pasal sebelumnya dia sudah memberitahukan hal ini (3:1 “Itulah sebabnya aku ini, Paulus, orang yang dipenjarakan karena Kristus Yesus untuk kamu orang-orang yang tidak mengenal Allah”). Ini bukan laporan kabar terkini. Paulus ingin memberikan sentuhan personal.

Langkah ini merupakan sebuah strategi pastoral. Paulus sedang memberikan teladan konkrit. Dia ingin menegaskan bahwa pnggilan ilahi benar-benar layak dipertahankan. Penjara bukanlah apa-apa. Kehinaan di dalam penjara tidak sebanding dengan kemuliaan di sorga. Dengan segala kemuliaan yang menyertai pengharapan mulia, kita rela membayar berapapun harganya. Tidak ada harga yang terlalu mahal untuk sesuatu yang benar-benar berharga. Itulah sebabnya Paulus malah menghibur jemaat Efesus dengan kalimat: “Sebab itu aku minta kepadamu, supaya kamu jangan tawar hati melihat kesesakanku karena kamu, karena kesesakanku itu adalah kemuliaanmu” (3:13).

Paulus juga mungkin sedang menebalkan keintimannya dengan jemaat Efesus. Mereka tahu betapa dia telah berjuang begitu keras dan rela merengkuh segala derita ketika dia berada di tengah-tengah mereka (bdk. Kis. 20:31-35). Paulus jelas bukan sedang menyombongkan pengurbanan yang dia telah berikan. Dia hanya mengingatkan jemaat tentang betapa besar kasihnya kepada mereka. Dia rela membayar harga bagi mereka. Di 3:1 dia berkata: “Itulah sebabnya aku ini, Paulus, orang yang dipenjarakan karena Kristus Yesus untuk kamu orang-orang yang tidak mengenal Allah.”

 

Bentuk kesatuan (ayat 2-6)

Bentuk kesatuan yang diajarkan di sini mencakup tiga hal: sifat (ayat 2a), tindakan (ayat 2b-3, dan realitas spiritual (ayat 4-6). Kesatuan tidak mungkin tercapai tanpa sifat-sifat tertentu yang ada dalam diri anggota komunitas. Paulus menyiratkan hal ini melalui penggunaan beberapa frasa kata depan: “dengan kerendahhatian dan kelemah-lembutan, dengan kesabaran” (terjemahan hurufiah). Penerjemah LAI:TB mengambil frasa ini sebagai kalimat perintah: “hendaklah kamu selalu…”

Tidak ada kesatuan tanpa kerendahhatian. Kesombongan selalu menjadi musuh persatuan dan sahabat perpecahan. Nah, bagaimana kita bisa memiliki sikap rendah hati? Kerendahhatian dimulai dari pikiran (tapeinophrosynē, secara hurufiah mengandung makna pikiran yang rendah). Pikiran yang tertuju pada panggilan ilahi yang begitu mulia. Jika kita membandingkan diri kita sekarang dengan kemuliaan panggilan itu kita mungkin akan menganggap diri cukup baik.

Panggilan ilahi juga menciptakan kelemahlembutan. Allah yang mulia telah berkenan menyediakan panggilan yang mulia bagi manusia yang hina. Allah yang tidak membutuhkan apa-apa di alam semesta telah begitu menginginkan hati kita yang hina. Ini adalah kelemahlembutan yang sempurna. Ada kekuatan di sana, tetapi juga ada kesediaan untuk merengkuh kelemahan orang lain. Begitu pula dengan sikap hati kita.

Sifat yang berikutnya adalah kesabaran (makrothymia). Kata yang dipakai di sini bisa berarti kesabaran dalam kaitan dengan kesalahan orang (mayoritas versi “patience”) atau penderitaan (KJV “longsuffering”). Arti mana yang lebih dominan lebih berpihak suara mayoritas. Konteks yang lebih dominan adalah keharmonisan dalam jemaat, bukan penganiayaan atau penderitaan. Namun, arti kedua tidak sepenuhnya terpisah. Bersabar pada orang yang menjengkelkan sama sekali tidak gampang. Ini adalah penderitaan yang besar.

Kesatuan tidak hanya berbentuk sifat-sifat yang kondusif dalam relasi (rendah hati, lemah lembut, dan sabar), tetapi juga tindakan-tindakan tertentu. Jika kita menjadikan tindakan-tindakan ini sebagai kebiasaan, atmosfir kesatuan tetapbisa dipertahankan. Di ayat 2b-3 Paulus menyinggung tentang dua tindakan yang penting.

Kita perlu membiasakan “saling menanggung satu sama lain dalam kasih” (lit. mayoritas versi). Poin ini sayangnya tidak tersampaikan dalam terjemahan LAI:TB: “tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu”. Kata Yunani yang digunakan di sini adalah anechomai, yang berarti menaham atau menahan sesuatu. Yang ditanggung bisa penderitaan (2Tes. 1:4) atau kesalahan orang lain (Kol. 3:13).

Kekuatan untuk menanggung ini bersumber dari kasih (en agapÄ“). Poin ini memang sederhana tetapi seringkali diabaikan. Kita seringkali ingin merasa lelah saat menanggung terus-menerus. Kita merasa dikorbankan dan diperlukan secara tidak adil. Karena itu Paulus merasa perlu untuk menambahkan “di dalam kasih.”

Tindakan lain adalah berusaha untuk memelihara kesatuan Roh dalam ikatan orang damai sejahtera (ayat 3). Kata kerja “berusaha” (spoudazō) di sini sebenarnya kurang sebegitu tegas. Kata Hampir semua versi mengambil terjemahan: berusaha sebisa mungkin (NIV), bersemangat (RSV/ESV), atau “rajin melakukannya” (NASB).

Walaupun kita perlu melakukan dengan sekuat tenaga, tetapi kita tidak lupa bahwa tugas kita hanya memelihara (tēreō). Kita tidak perlu menciptakan kesatuan itu. Roh Allah yang menyediakan semuanya itu bagi kita. Kita hanya memelihara saja.

Bentuk kesatuan selain sifat-sifat dan tindakan-tindakan tertentu adalah kesatuan dalam realitas spiritual: satu Roh, tubuh, pengharapan, Tuhan, baptisan, iman, Bapa (ayat 4-6). Kesatuan ini bersifat deskriptif (apa yang ada), bukan preskriptif (apa yang seharusnya dilakukan). Semua di ayat 4-6 merupakan karya Allah Tritunggal. Kesatuan ini tidak dapat dipengaruhi atau dibatalkan oleh manusia. Bahkan kegagalan orang Kristen dalam memelihara kesatuan tidak mungkin meniadakan kesatuan dalam realitas spiritualitas. Hanya saja, perselisihan bisa mengaburkan kesatuan spiritual.

Apakah Anda sedang berada dalam perselisihan? Apakah Anda sudah lelah harus mengalah? Ingatlah, kita selalu memiliki alasan melimpah untuk tetap mengalah. Allah sudah melakukan segalanya untuk menerima kita apa adanya dalam semua kelemahan dan kehinaan kita. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community