Isu ini beberapa kali mencuat dalam diskusi saya dengan orang-orang Kristen yang terlihat sangat rasional. Dengan alasan yang terkesan ilmiah, mereka meragukan mujizat-mujizat dalam Alkitab. Kisah-kisah supranatural ini dianggap bertentangan dengan sains dan logika. Mereka sukar menerima semua ini sebagai sebuah fakta (atau kebenaran yang layak dipercayai).
Di sisi lain, pada saat yang sama mereka tetap ingin mempertahankan iman mereka. Mereka tidak ingin menyangkali keyakinan mereka terhadap Kristus sebagai Tuhan. Ke-Tuhanan Yesus dipandang sebagai harga mati yang tidak bisa dikompromikan.
Bagaimana kita menyikap situasi seperti ini? Apakah menolak mujizat dalam Alkitab dan mengakui Yesus sebagai Tuhan bisa dibedakan dan dipisahkan? Apakah dikotomi semacam ini bisa dibenarkan?
Jika kita menggumulkan pertanyaan ini lebih dalam sesuai dengan petunjuk yang ada di Alkitab, kita akan menemukan bahwa sikap di atas tidak selaras. Sikap tersebut menyiratkan ketidakkonsistenan yang fundamental.
Alkitab mengajarkan bahwa bukti utama bagi ke-Tuhanan Kristus adalah kebangkitan-Nya. Dalam Roma 1:4 Paulus berkata: “dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita.” Hal yang senada diucapkan oleh Petrus dalam khotbahnya. Setelah memberitakan kebangkitan Kristus dan kenaikan-Nya ke sorga (Kis. 2:32-35), Petrus menutup khotbahnya dengan kalimat: “dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita” (Kis. 2: 36). Pendeknya, ke-Tuhanan Yesus tidak mungkin dipisahkan dengan kematian dan kebangkitan-Nya (Rm. 10:9-10).
Jika bukti ke-Tuhanan Yesus adalah kebangkitan-Nya, bagaimana mungkin seorang Kristen meyakini Yesus sebagai Tuhan tetapi menolak mujizat dalam Alkitab? Bukankah kebangkitan Yesus merupakan mujizat juga? Jadi, penolakan terhadap historisitas mujizat tidak berjalan beriringan dengan keyakinan terhadap Yesus sebagai Tuhan yang dibuktikan melalui mujizat kebangkitan.
Penjelasan ini tentu saja tidak berarti bahwa iman Kristen kurang rasional. Penjelasan ini juga tidak berarti bahwa mujizat tidak sesuai dengan logika. Untuk memahami hal ini, kita perlu meluruskan beberapa hal terlebih dahulu.
Pertama, pembedaan antara rasionalitas dan rasionalisme. Kita diciptakan sebagai makhluk rasional. Akal budi juga memegang peranan penting dalam memahami kehendak Allah (Rm. 12:2). Walaupun demikian, rasionalitas berbeda dengan rasionalisme. Rasionalisme adalah sebuah paham atau ideologi (-isme) yang menjadikan rasio sebagai standar kebenaran tertinggi. Segala sesuatu yang dianggap tidak masuk akal langsung ditentang. Persoalannya, ukuran “masuk akal” yang ditetapkan adalah yang natural. Dengan demikian segala peristiwa supranatural dari awal disangkal. Orang Kristen harus rasional, tetapi tidak boleh terjebak ke dalam rasionalisme.
Kedua, rasionalitas berkaitan dengan konsistensi logis. Apa yang benar harus masuk akal, tetapi apa yang masuk akal belum tentu benar. Hal ini dimungkinkan karena “masuk akal” lebih mengarah pada konsistensi dalam kerangka pikir seseorang. Manusia memang cenderung berusaha untuk memasukkan segala sesuatu ke dalam sistem pemikirannya sehingga terlihat masuk akal.
Keyakinan terhadap mujizat dan ke-Tuhanan Yesus merupakan hal yang masuk akal. Jika Allah memang ada dan menciptakan segala sesuatu yang ada, sangat masuk akal untuk mempercayai bahwa Dia bisa campur tangan ke dalam ciptaan-Nya. Jika Allah sanggup menciptakan kehidupan, sangat masuk akal untuk meyakini bahwa Dia bisa mengembalikan kehidupan kepada seseorang (mujizat kebangkitan). Jika Allah mampu membangkitkan orang mati, sangat masuk akal untuk mempercayai mujizat kesembuhan. Jadi, isu yang sebenarnya lebih terletak pada keberadaan Allah. Apakah Dia sungguh-sungguh ada? Apakah Dia masih berintervensi dalam dunia ciptaan-Nya?
Ketiga, pembuktian mujizat harus secara historis. Tidak sedikit orang yang menguji mujizat dengan cara yang tidak adil. Pembuktian yang dituntut lebih secara empiris. Sebagai contoh, seseorang pernah meminta saya untuk mengadakan mujizat di depan matanya supaya dia percaya bahwa mujizat memang ada. Mujizat Alkitab (jika memang terjadi) masuk dalam kategori peristiwa historis. Pembuktian sebuah peristiwa historis tidak mungkin dilakukan dengan cara mengulanginya lagi. Ini tuntutan yang konyol. Hampir semua peristiwa historis tidak mungkin dilakukan lagi, misalnya penaklukan semua dunia kuno oleh Aleksander Agung.
Pembuktian empiris lain yang keliru adalah menuntut penjelasan ilmiah (sesuai ilmu alam). Secara sederhana kita bisa mendefinisikan mujizat sebagai sebuah peristiwa supranatural yang melampaui kewajaran dan hukum alam. Secara definisi, mujizat memang melampaui hukum alam. Jika sesuatu bisa dijelaskan seutuhnya ke dalam hukum alam, hal itu tidak tergolong mujizat lagi.
Pembuktian mujizat yang adil dan masuk akal adalah secara historis. Metode pembuktian ini melibatkan tulisan kuno, bukti arkheologi (jika masih bisa ditemukan), dan dampak yang dihasilkan dari peristiwa itu. Jika jalur pembuktian ini yang ditempuh, kita memiliki alasan yang cukup untuk meyakini historisitas mujizat-mujizat dalam Alkitab. Beberapa penulis kuno yang non-Kristen (beberapa bahkan ofensif terhadap kekristenan) memberikan kesaksian bahwa Yesus Kristus memang melakukan hal-hal yang ajaib. Walaupun mereka mencoba menerangkan hal itu secara berbeda (misalnya fenomena alam yang luar biasa, kuasa ilmu hitam, dsb), tetapi mereka tidak meragukan historisitas dari peristiwanya.
Alasan yang lebih kuat adalah dampak kebangkitan Yesus bagi jemaat mula-mula. Murid-murid Yesus dan para pengikut mula-mula yang sebelumnya sedih dan kehilangan harapan tiba-tiba menjadi bersukacita. Mereka berapi-api menyaksikan kebangkitan Yesus. Banyak di antara mereka bahkan bersedia dianiaya dan dibunuh demi kesaksian tentang kebangkitan Yesus. Kisah ini juga dengan cepat menyebar dan diyakini sampai ke kota Roma hanya dalam 1-2 dekade saja. Sebuah legenda atau mitos tidak mungkin merebak begitu pesat, terutama jika kisah itu dianggap batu sandungan dan kebodohan bagi masyarakat luas (1Kor. 1:22-23). Perkembangan kekristenan yang luar biasa – tanpa peperangan atau bujukan duniawi – terlihat menjadi sangat masuk akal jika dikaitkan dengan kuasa kebangkitan.
Sebagai penutup, kita perlu berhati-hati dengan dikotomi antara iman dan akal budi, Alkitab dan sains, yang sering dipropagandakan oleh banyak orang. Alkitab dan alam sama-sama berasal dari Tuhan. Jika diteliti dengan benar, keduanya akan memunculkan kebenaran yang tidak saling bertentangan.
Yang bertentangan adalah Alkitab dan naturalisme, saintisme, atau rasionalisme. Naturalisme menolak segala sesuatu yang supranatural. Saintisme menganggap segala jenis kebenaran harus dibuktikan secara ilmu alam (empiris). Rasionalisme meletakkan rasio manusia sebagai standar kebenaran tertinggi dan satu-satunya. Bagi kita sebagai orang-orang percaya, standar kebenaran tertinggi adalah kitab suci. Alkitab adalah firman Allah (2Tim. 3:16) yang merupakan kebenaran yang menguduskan (Yoh. 17:17). Soli Deo Gloria.
Photo by Nadine Shaabana on Unsplash