Dalam tradisi kekristenan, teks ini (terutama 3:15) seringkali disebut sebagai “protevangelium,” yang berarti “kabar baik pertama”. Maksudnya, ayat ini dipahami sebagai rujukan pertama tentang mesias. Penggenapan sempurna dari ucapan ilahi di bagian ini dilakukan oleh Tuhan Yesus pada saat Ia meremukkan kepala ular tua, yaitu Iblis. Dari sejak zaman bapa gereja Irenaeus (abad ke-2) sampai sekarang, pandangan ini begitu dominan di kalangan orang Kristen, terutama mereka yang termasuk golongan injili.
Walaupun penafsiran mesianis semacam ini sudah sedemikian populer, tidak semua penafsir mengamini ada muatan mesianis di teks tersebut. Claus Westermann, salah seorang pemikir Perjanjian Lama yang terkenal, misalnya, memahami teks ini sebagai sebuah mitos etiologis yang menerangkan mengapa manusia dan ular saling bermusuhan (Westermann, Genesis 1-11, 259-61). Robert Alter, seorang ahli sastra Yahudi modern, menduga ada muatan mitos Kanaan tentang monster ular laut (Alter, Genesis, 13).
Khotbah hari ini tidak dimaksudkan sebagai jawaban yang terlalu akademis terhadap isu di atas. Dengan cara yang jauh lebih sederhana – namun tanpa bermaksud terlalu menyederhanakan masalah – khotbah ini akan menjelaskan alasan-alasan yang mendorong munculnya perbedaan penafsiran (mesianis versus non-mesianis), memberikan jawaban terhadap perbedaan itu, dan menarik implikasi dari jawaban itu bagi gereja sekarang.
Alasan-alasan di balik perbedaan penafsiran
Inti persoalan sedikitnya terletak pada dua hal. Yang paling dominan adalah arti kata “keturunan” (zera’). Jika kata zera’ merujuk pada seorang anak secara individual, kata ini biasanya identik dengan anak kandung, bukan pada keturunan yang jauh di generasi-generasi mendatang. Misalnya, Set adalah zera’ lain yang dilahirkan oleh Hawa (4:25), anak-anak Lot ingin memberikan zera’ kepada ayahnya (19:32, 34), atau Ismael sebagai zera’ Abraham (21:13). Jika zera’ merujuk pada sebuah generasi yang masih jauh, kata ini biasanya bersifat kolektif, bukan individual. Bentuk tunggal yang digunakan dalam teks Ibrani secara jelas menyiratkan kolektivitas tersebut (9:9; 12:7; 13:16; 15:5, 13, 18; 16:10; 17:7-10, 12; 21:12; 22:17-18). Berdasarkan data semacam ini, mungkinkah keturunan perempuan di 3:16 menunjuk pada Mesias yang baru akan datang ribuan tahun sesudah kalimat ini diucapkan oleh Allah?
Inti yang kedua berhubungan dengan bentuk sastra yang dipakai di ayat ini. Kejadian 3:14-15 merupakan sebuah hukuman atau kutukan, sedangkan panafsiran protevangelium memandang bagian tersebut sebagai janji. Apakah masuk akal untuk menemukan sebuah janji di tengah hukuman atau kalimat kutukan?
Respon terhadap perbedaan
Sanggahan yang dikemukakan melawan penafsiran mesianis di 3:14-15 sebenarnya tidak terlalu meyakinkan. Penelitian konteks secara seksama menunjukkan bahwa ada alasan-alasan yang memadai untuk menemukan muatan mesianis di teks ini.
Petunjuk penting yang tidak boleh diabaikan adalah bagian terakhir dari ayat 15 (“keturunannya akan meremukkan kepalamu dan engkau akan meremukkan tumitnya”) Walaupun perseteruan terjadi antara perempuan melawan ular dan antara keturunan perempuan dan keturunan ular (ayat 15a) tetapi pertempuran puncak adalah antara keturunan perempuan dan ular (ayat 15b). Petunjuk ini mengandung dua poin penting. Pertama, permusuhan akan terjadi antar generasi. Ular (sebagai perwakilan dari generasi pertama) dan keturunan perempuan (sebagai perwakilan di generasi-generasi berikutnya dari pihak perempuan) akan terus-menerus terlibat peperangan. Kedua, ular di Taman Eden ini tidak boleh dipandang hanya sebagai seekor ular biasa. Apa yang akan terjadi pada keturunan ular di kemudian hari diidentikkan dengan apa yang terjadi dengan ular itu sendiri, demikian pula sebaliknya. Dari sini terlihat jelas bahwa ular mewakili sesuatu (atau seorang pribadi) dan ia sendiri diwakili oleh keturunan-keturunannya.
Petunjuk lain yang tidak kalah pentingnya adalah alur cerita secara keseluruhan di Kitab Kejadian (juga seluruh tulisan Musa dari Kejadian sampai Ulangan). Topik tentang “keturunan” (zera’) begitu mendominasi hampir setiap bagian. Di Kitab Kejadian sendiri kita dapat melihat perseteruan yang konsisten antara dua jenis keturunan. Kain membunuh Habel (4:1-16), tetapi TUHAN memberikan Set sebagai zera’ yang lain untuk Hawa (4:25-26). Baik dalam proses kelahiran Kain maupun Set, yang dominan adalah Hawa (4:1, 25), bukan Adam. Ia yang memberi nama bagi dua anaknya itu. Pembaca yang teliti pasti mengaitkan hal ini dengan frasa “keturunan perempuan” di 3:15. Pemaparan silsilah Kain dan Set secara berdampingan di 4:17-24 dan 5:1-32 turut mempertegas perseteruan antara dua keturunan tersebut.
Topik tentang keturunan masih mendominasi pada zaman para patriakh. Keturunan merupakan salah satu janji utama dari TUHAN kepada para patriakh (misalnya 12:1-3). Tiap kali ada bahaya yang bisa mengancam realisasi janji ini, TUHAN langsung turun tangan. Ia menjaga Sara dari Firaun (12:10-20) maupun Abimelekh (20:1-18). Perlindungan yang sama diberikan kepada Ribka dari tangan Abimelekh yang lain (26:1-11). TUHAN memberikan Ishak kepada Abraham dan Sara walaupun mereka sudah terlalu tua dan mustahil bisa memiliki keturunan (17:17; 18:13-14; 21:1-7). Ia pun membuka kandungan Ribka yang mandul (25:21). Apakah kebetulan apabila tiap kali janji tentang “keturunan perempuan” di 3:15 nyaris berantakan karena kemandulan para istri patriakh pada akhirnya diselesaikan oleh TUHAN? Apakah kebetulan kalau TUHAN begitu melindungi para istri patriakh? Fokus yang begitu jelas dan konsisten pada janji tentang keturunan jelas bertabrakan dengan usulan bahwa 3:14-15 merupakan sebuah mitos etiologis.
Petunjuk lain untuk menemukan muatan mesianis di 3:14-15 didasarkan pada konsep progresivitas wahyu. Penafsiran mesianis terhadap teks ini tampaknya justru dimulai dari kalangan orang Yahudi, sebagaimana tersirat dalam terjemahan Septuaginta (LXX). Dalam teks Ibrani, kata “ia” pada frasa “ia akan meremukkan” adalah hû’, yang bisa ditafsirkan sebagai kata ganti maskulin (“dia”) atau neuter (“ini”). Di antara dua pilihan ini, penerjemah LXX memilih bentuk maskulin (autos), walaupun kata Yunani untuk “keturunan” di LXX berbentuk neuter (spermatos). Pilihan ini menyiratkan dua hal: keturunan perempuan yang akan meremukkan kepala ular berbentuk tunggal dan merujuk pada seorang laki-laki (Walter C. Kaiser, Toward An Old Testament Theology, 36-7).
Para penulis Perjanjian Baru juga sangat mungkin memahami Kejadian 3:14-15 secara mesianis. Kitab Wahyu mencatat tentang ular tua yang diidentikkan dengan Setan atau Iblis (Why 12:9; 20:2). Dalam perdebatan dengan orang-orang Yahudi yang menentang-Nya, Tuhan Yesus menyebut mereka sebagai keturunan Iblis, yaitu bapa segala dusta dan pembunuh manusia sejak semula (Yoh 8:44). Bukankah ular di Kejadian 3 juga melakukan dusta dan menyebabkan manusia mengalami kematian?
Sehubungan dengan sanggahan Westermann bahwa tidak mungkin ada janji di tengah hukuman atau kutukan, kita dapat menunjukkan bahwa Kita Kejadian memberi petunjuk yang melimpah bahwa di tengah hukuman selalu ada anugerah. Hawa tetap diberi berkat keturunan (bdk. 1:28), walaupun kali ini disertai dengan rasa sakit (3:16). Ia bahkan tetap layak disebut sebagai “ibu dari segala yang hidup” (3:20). Adam tetap bisa menikmati hasil dari bumi, sekalipun harus disertai dengan kerja keras (3:17-19). Keduanya pun diberi pakaian dari kulit binatang oleh TUHAN (3:21). Hal yang sama berlaku atas Kain. Pengusiran dari hadirat TUHAN bukan berarti keterpisahan total dari anugerah-Nya. TUHAN tetap memberi perlindungan bagi Kain (4:13-16).
Implikasi bagi gereja
Jika penafsiran mesianis seperti diuraikan di atas diterima, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kemenangan sudah dijanjikan sejak awal. Ular - yang memang berjalan dengan perutnya – akan makan debu tanah, sebagai simbol kekalahan dan kehinaan (Mik 7:17; Mzm 72:9). Ungkapan lain untuk hal ini adalah peletakan musuh di bawah kaki Sang Mesias (Mzm 110:1; bdk. 2 Sam 22:39).
Secara aktual, perseteruan global telah dimenangkan oleh Tuhan Yesus. Ia datang ke dalam dunia untuk membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis (1 Yoh 3:8). Iblis bukan hanya gagal menjatuhkan Dia (Mat 4//Luk 4), namun sebaliknya ia telah jatuh seperti kilat dari langit (Luk 10:18) dan kuasanya sangat dibatasi (Mat 12:26-29; bdk. Why 20:2) melalui pelayanan Tuhan Yesus. Kematian Yesus Kristus berarti kekalahan telak Iblis dan maut (Ibr 2:14). Iblis sebagai penguasa dunia telah dilemparkan (Yoh 12:31) dan dihukum (Yoh 16:11).
Walaupun peperangan sudah dimenangkan, pertempuran-pertempuran masih terus berlangsung. Berbagai serangan masih dilancarkan oleh Iblis, baik berupa ketidakpercayaan (2 Kor 4:4; 2 Tim 2:25-26), penyesatan (Why 12:9), dosa (1 Kor 7:5; Ef 4:27; 1 Yoh 3:8), maupun penganiayaan (Why 2:10). Iblis baru akan dihukum secara final dan total di akhir zaman (Why 20:10). Saat itulah Iblis akan diletakkan sepenuhnya di bawah kaki Kristus (1 Kor 15:25) dan kaki kita (Rom 16:20).
Gereja tidak boleh terlena dengan kemenangan Kristus di kayu salib dan melupakan pertempuran yang masih berlangsung. Kita harus aktif berperang dengan mengenakan seluruh senjata rohani kita: kesalehan hidup, semangat penginjilan, iman, firman Allah, dan doa (Ef 6:10-18). Dengan penuh semangat kita melibatkan diri dalam pertempuran supaya banyak orang dibuka mata rohani mereka dan berbalik dari kegelapan kepada terang, dari kuasa Iblis kepada Allah (Kis 26:18). Sudahkah kita menjadi tentara Kristus yang tangguh dan aktif dalam peperangan rohani ini? Soli Deo Gloria.