Budaya sekarang lebih mengedepankan segala sesuatu yang kekinian (trendy) dan terkenal (populer). Apa yang sedang disukai banyak orang, itu yang dianggap penting. Yang penting adalah jumlah orang yang menyukai. Antusiasme dijadikan patokan keberhasilan.
Sayangnya, hal yang sama terjadi dalam kekristenan. Apa yang bisa menyedot orang banyak untuk datang, itu yang banyak diupayakan oleh gereja. Tidak peduli apakah yang ditawarkan benar dan esensial atau sekadar mengikuti tren. Tidak heran, gereja hanya menghasilkan banyak penggemar dan pengikut Yesus, namun hanya sangat sedikit yang benar-benar mau menjadi murid. Di luar terlihat begitu berhasrat, tetapi tanpa konsep dan motivasi yang tepat. Gereja meluas, namun tidak mengakar.
Situasi seperti ini sangat bertabrakan dengan ajaran dan pelayanan Yesus Kristus. Dia tidak tergiur dengan jumlah penggemar atau hasrat para pengikut-Nya yang membara. Dia lebih mencari ketulusan hati. Hati seorang murid. Hati yang sungguh-sungguh percaya dan mempercayakan diri kepada-Nya. Apa adanya. Seutuhnya.
Kesuksesan pelayanan (ayat 23)?
Jika dinilai berdasarkan kriteria populer tentang keberhasilan sebuah pelayanan, situasi di ayat ini dapat dikategorikan sebagai kebangunan rohani yang luar biasa. Waktunya sempurna, yaitu pada saat perayaan Paskah. Salah satu hari raya relijius yang sangat penting (atau terpenting) bagi bangsa Yahudi. Ribuan orang Yahudi dari segala tempat sedang berkumpul di Yerusalem untuk merayakan Paskah. Ada banyak orang. Ada banyak mujizat. Ada banyak orang yang percaya. Ini layak disebut lawatan Allah. Festival kuasa Allah. Hujan akhir zaman. Penuaian besar.
Mereka yang kurang teliti membaca Injil Yohanes juga bisa menangkap kesan yang sama. Tujuan kitab ini ditulis adalah supaya orang-orang percaya kepada Yesus Kristus (20:30-31). Bisa ditebak, dalam kitab ini kata kerja “percaya” (pisteuō) muncul 98 kali, lebih dari kitab-kitab yang lain. Nah, salah satu sarana untuk bisa percaya adalah melalui mujizat (dalam kitab ini digunakan istilah “tanda”). Jika ada begitu banyak orang yang percaya kepada Kristus sesudah melihat tanda-tanda yang Dia lakukan, bukankah itu bukti keberhasilan yang tidak terbantahkan? Jika semua orang percaya dalam nama Yesus Kristus akan diberi kuasa (lit. “otoritas”) untuk menjadi anak-anak Allah (1:12-13), bukankah orang-orang di 2:23 pantas disebut sebagai anak-anak Allah?
Lagipula, respons yang penuh hasrat yang ditunjuk orang banyak di ayat ini tampak jauh lebih baik daripada penolakan atau, paling tidak, keengganan para pemimpin Yahudi untuk mempercayai Yesus. Mereka hanya meminta tanda (mujizat), tetapi tidak ada petunjuk sama sekali bahwa mereka akhirnya menghargai tanda tersebut dan mempercayakan diri kepada Yesus (2:18, 20). Bahkan tatkala sebuah tanda benar-benar diadakan di depan mereka, mereka tetap tidak mau percaya (misalnya 9:15-16).
Apakah iman yang ditunjukkan oleh orang banyak di 2:23 ini tidak memadai hanya gara-gara dilandaskan pada tanda-tanda? Tidak juga! Para murid juga percaya kepada Yesus sesudah melihat tanda (2:11). Bukankah tanda memang dimaksudkan untuk menuntun orang kepada iman di dalam Kristus (bdk. 3:2; 20:30-31)?
Jadi, benarkah iman seperti ini yang diharapkan oleh Yesus? Apakah antusiasme selalu menyenangkan Dia? Apakah jumlah penggemar dan pengikut menjadi ukuran keberhasilan dalam pelayanan-Nya?
Pengiringan yang palsu (ayat 24-25)
Tidak sukar untuk menemukan sebuah ironi di bagian ini. Begitu banyak orang percaya kepada Yesus (2:23, episteusan), tetapi Yesus tidak mempercayakan diri kepada mereka (2:24a, ouk episteuen). Untuk memberi penekanan pada ironi ini, penulis Injil Yohanes sengaja menambahkan kata “sendiri” (autos): Yesus sendiri tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka. Banyak yang percaya, tetapi tidak ada satu pun yang dipercayai.
Alasan di balik respons negatif yang ditunjukkan oleh Yesus dijelaskan sebagai berikut: “karena Ia mengenal mereka semua” (2:24b) dan “karena tidak perlu seorangpun memberi kesaksian kepada-Nya tentang manusia” (2:25a). Dua frasa ini sebenarnya mengungkapkan hal yang yang sama, tetapi sengaja diungkapkan dua kali dalam cara yang berlainan untuk memberikan penekanan. Yesus benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Yesus tidak tergiur dengan jumlah maupun antusiasme. Keramaian di luar kadangkala memang bisa memberi kesan dan pesan yang menyesatkan. Yesus tidak mau tertipu dengan kebisingan aktivitas, sebaliknya Dia melihat sampai kepada kedalaman dan keheningan hati. Ayat 25b berkata: “Ia tahu (lit. “Ia sendiri tahu”) apa yang ada di dalam hati manusia”.
Banyak contoh tentang kemahatahuan Yesus yang dicatat dalam Injil Yohanes (misalnya 4:16-19). Salah satu contoh adalah pengenalan-Nya terhadap Nikodemus. Dari luar Nikodemus terlihat begitu baik dan saleh. Dibandingkan dengan respons semua Farisi yang lain kepada Yesus, respons Nikodemus tampak begitu positif. Walaupun dia seorang rabbi dan pemimpin, dia dengan rendah hati rela mengunjungi Yesus dan mengakui Dia sebagai rabbi pula (3:1). Dengan jeli Nikodemus melihat bahwa tanda-tanda ajaib dalam pelayanan Yesus menunjukkan bahwa Yesus bukan sembarang rabbi. Dia adalah rabbi dari Allah (3:2). Menariknya, Yesus tidak terbius oleh semua respons eksternal seperti ini. Dia mengenal jatidiri Nikodemus. Nikodemus perlu dilahirbarukan oleh Roh (3:3, 5). Sama seperti Yesus tidak mau mempercayakan diri kepada orang banyak di 2:23-25, demikian pula Dia mengambil sikap yang sama terhadap Nikodemus (3:1-10).
Namun, apa sebenarnya yang ada dalam hati orang banyak dan Nikodemus sehingga Yesus harus memberikan respons seperti itu? Sulit menjawab pertanyaan ini kalau hanya didasarkan pada petunjuk yang ada di pasal 2-3. Dengan strategi sastra yang jitu, penulis Injil Yohanes memang sengaja menahan keterangan yang lebih banyak. Dalam ilmu sastra, hal ini disebut “suspensi”. Pembaca didorong untuk bertanya dan terus menerus untuk menemukan jawaban terhadap pertanyaan itu. Dengan kata lain, rasa ingin tahu pembaca tetap dipertahankan sampai titik tertentu.
Jika kita memperhatikan konteks dan penjelasan di bagian-bagian selanjutnya, kita bisa menebak kira-kira apa yang ada dalam hati banyak orang di 2:23 yang membuat Yesus memberikan respons negatif terhadap iman dan antusiasme mereka. Menurut Injil Yohanes, tantangan terbesar dalam mengiring Yesus adalah dikucilkan dari rumah ibadat Yahudi (9:22; 12:42; 16:2). Pengucilan ini bukan sekadar secara relijius. Tempat ibadah Yahudi (synagogē) merupakan pusat kehidupan masyarakat Yahudi di suatu tempat. Banyak hal dilakukan di sana: dari ibadah sampai pengambilan keputusan-keputusan legal. Dikucilkan dari synagogē dapat disamakan dengan dibuang dari masyarakat (tidak dianggap sebagai bagian dari mereka).
Dengan resiko sedemikian besar, sebagian orang memilih untuk menempuh jalan yang aman (7:13). Mereka terpaksa menyamarkan iman mereka. Mereka menutupinya dengan hal-hal lain. Dalam kasus para pengunjung Paskah di 2:23, mereka menutupi ketakutan mereka dengan keramaian. Jikalau begitu banyak orang mengikuti Yesus, tidak mungkin ancaman pengucilan dapat dilakukan. Para pemimpin Yahudi tidak akan berani mengeksekusi hal itu. Kerusuhan bisa saja muncul. Lagipula, sebagian orang yang percaya kepada Yesus di 2:23 bukan penduduk asli Yerusalem. Mereka hanya peziarah dari daerah-daerah lain. Mengungkapkan iman kepada Yesus di Yerusalem tidak akan membawa resiko yang besar. Belum tentu mereka akan berani menunjukkan sikap yang sama di domisili mereka sendiri.
Nikodemus menunjukkan sikap yang sama, walaupun wujudnya berbeda. Dia memilih untuk mendatangi Yesus pada malam hari supaya tidak diketahui oleh para pemimpin Yahudi yang lain. Di bagian lain dia menunjukkan simpati terhadap Yesus dan sempat membela Dia di depan rekan-rekannya (7:50-51), Nikodemus tidak bisa berkutik apa-apa dengan teguran keras mereka (7:52-53). Dia layak dimasukkan ke dalam kategori orang di 12:42 “Namun banyak juga di antara pemimpin yang percaya kepada-Nya, tetapi oleh karena orang-orang Farisi mereka tidak mengakuinya berterus terang, supaya mereka jangan dikucilkan”. Walaupun pada akhirnya Nikodemus berhasil menunjukkan imannya yang sejati di depan publik (19:39-40), di 3:1-10, 7:50-53, dan 12:42 dia masih tergolong orang yang hatinya belum diberikan kepada Yesus. Dia lebih menyayangi keamanan, kenyamanan, dan kehidupan di dunia daripada membayar harga bagi pengiringannya kepada Yesus Kristus.
Sebagai kesimpulan, respons Yesus yang negatif terhadap pengiringan orang banyak di 2:23 bukan disebabkan oleh landasan iman tersebut (yaitu melihat tanda-tanda). Tanda memang dimaksudkan sebagai jembatan iman. Persoalan sebenarnya terletak pada hati manusia. Mereka tidak sungguh-sungguh memberikan hidup mereka seutuhnya kepada Yesus. Mereka hanya percaya, tetapi tidak mempercayakan diri. Itulah sebabnya Yesus Kristus pun tidak mau mempercayakan diri-Nya kepada mereka.
Bagaimana dengan Saudara? Yesus Kristus tidak pernah tertipu dengan durasi pengiringan seseorang. Mungkin Saudara sudah lama mengikuti ibadah di gereja. Itu bukan ukuran. Bahkan Yesus Kristus juga tidak tergiur dengan semangat dan aktivitas seseorang. Mungkin Saudara aktif dalam pelayanan. Itu juga bukan ukuran yang menentukan. Pertanyaan untuk direnungkan ada dua: “Apakah Saudara memberikan seluruh hatimu kepada Dia?” dan “Apakah Saudara mau membayar harga bagi pengiringanmu kepada-Nya?” Soli Deo Gloria.