Penatalayan, Bukan Pemilik (Matius 25:14-30)

Posted on 12/07/2015 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/penatalayanan_bukan_pemilik.jpg Penatalayan, Bukan Pemilik (Matius 25:14-30)

Perumpamaan ini adalah yang paling panjang dalam Injil Matius. Hal ini memperlihatkan nilai penting perumpamaan tentang talenta bagi Matius. Di samping itu, perumpamaan ini juga termasuk salah satu yang paling terkenal. Siapa yang tidak pernah mendengarkan nasihat untuk menggunakan talenta kita bagi kemuliaan Allah?

Analisa konteks

Sama seperti dalam menafsirkan teks-teks lain, salah satu prosedur penting dalam menafsirkan sebuah perumpamaan adalah memperhatikan konteksnya. Kepada siapa perumpamaan ini ditujukan? Dalam situasi seperti apa perumpamaan tersebut disampaikan?

Matius 24:1-3 memberi petunjuk eksplisit bahwa semua pengajaran Tuhan Yesus di pasal 24 dan 25 ditujukan kepada murid-murid Tuhan Yesus. Secara khusus, semua itu diajarkan dalam kaitan dengan akhir zaman. Murid-murid diperintahkan untuk mewaspadai tanda-tanda akhir zaman (24:4-44) dan mempersiapkan diri dalam segala waktu (24:45-25:13). Tuhan Yesus dapat datang setiap saat seperti pencuri. Karena itu, murid-murid harus waspada dan menunggu, supaya tidak tertinggal seperti lima gadis bodoh (25:1-13).

Apakah menantikan kedatangan Tuhan Yesus berarti hanya berdiam diri saja? Tentu saja tidak! Kata sambung “sebab” di 25:14 menyiratkan hubungan yang erat antara 25:1-13 dan 25:14-30. Maksudnya, “berjaga-jaga” di ayat 13 menuntut lebih daripada sekadar kewaspadaan dan penantian. Dengan kata lain, menunggu di sini bukan menunggu secara pasif. Poin inilah yang ingin ditegaskan dalam perumpamaan tentang talenta.

Relasi antara tuan dan penatalayan

Istilah “penatalayan” (steward) menunjuk pada seseorang yang dipercayai oleh tuannya untuk mengurus sesuatu, entah itu anggota keluarga, segala urusan dalam keluarga tersebut atau istana. Walaupun tugas spesifik yang diemban seorang penatalayan sangat variatif, tetapi relasi dengan tuannya tetap sama: penatalayan bukanlah pemilik. Dia tidak bebas menggunakan apa yang dipercayakan kepadanya. Seorang penatalayan wajib memberikan pertanggungjawaban kepada tuannya.

Walaupun sebutan “hamba-hamba” (25:14, dari kata dasar doulos) bisa merujuk pada “budak”, perumpamaan tentang talenta di 25:14-30 tampaknya lebih menceritakan tentang relasi seorang penatalayan dan tuannya daripada seorang budak dan tuannya (kontra NRSV/NASB “slaves”). Jumlah yang dipercayakan terlalu besar untuk ukuran seorang budak. Selain itu, kepercayaan untuk berdagang biasanya tidak diberikan pada seorang budak. Sebagai tambahan, dalam perumpamaan sebelumnya Tuhan Yesus juga sudah membahas tentang seorang penatalayan (24:45-51).

Bagaimana relasi antara tuan dan hamba dalam perumpamaan ini? Pertama, tuan berarti pemilik. Tambahan kata sifat tous idious pada kata benda doulous di ayat 14 memberi penekanan bahwa sang tuan adalah pemilik hamba-hamba itu (KJV/ASV “his own servants”“ NASB “his own slaves”). Penegasan ini sayangnya tidak muncul dalam terjemahan LAI:TB. Jadi, yang dimiliki tuan bukan hanya modal kerja, tetapi juga para hamba sekaligus. Walaupun sang tuan berada di tempat yang jauh (25:14) dan dalam waktu yang lama (25:19), dia tetap sebagai pemilik dari hamba-hamba itu.

Kedua, tuan mengenal hamba-hambanya. Tuan yang tidak mengenal hambanya tidak mungkin berani mempercayakan uang yang sebegitu besar kepada hamba tersebut. Bahkan jumlah kepercayaan yang paling kecil dalam kisah ini (satu talenta) sejajar dengan upah buruh selama 6000 hari (sekitar 20 tahun bekerja)! Selain itu, teks juga secara gamblang mencatat bahwa jumlah yang berbeda untuk tiap hamba (lima, dua, dan satu talenta) didasarkan pada kemampuan masing-masing hamba (25:15). Di sinilah keadilan sang tuan terlihat jelas. Jadi, adil belum tentu sama rata. Adil berarti memberikan apa yang menjadi hak orang lain atau apa yang seturut dengan kemampuan setiap orang.

Ketiga, tuan meminta pertanggungjawaban dari hamba-hambanya. Bagian awal dari perumpamaan ini tidak menyebutkan instruksi khusus dari tuan kepada hamba-hambanya berkaitan dengan cara penggunaan uang. Setiap hamba bebas memutar uang tersebut untuk kepentingan tuannya. Bahkan kisah selanjutnya tetap tidak memberi petunjuk apapun tentang cara hamba ke-1 dan ke-2 menggunakan talenta mereka. Yang jelas, setiap hamba harus bersiap-siap memberi pertanggungjawaban pada saat tuan itu kembali dari bepergian jauh (25:19b).

Yang diharapkan tuan dari para penatalayan

Pemberian talenta dimulai dengan sebuah kepercayaan. Bagaimanapun, kepercayaan tidak boleh hanya diterima dan dinikmati. Kepercayaan harus diresponi dengan etos kerja yang tepat. Apa saja yang diinginkan tuan dari hamba-hambanya?

Pertama, kesegeraan. Kata eutheōs (LAI:TB “segera”) di ayat 15 secara tata bahasa bisa menerangkan tindakan sang tuan (KJV “and straightway took his journey”) atau hamba yang pertama (mayoritas versi). Dari sisi pertimbangan konteks, pilihan terakhir terlihat lebih tepat. Tidak ada situasi gawat darurat yang mengharuskan tuan itu untuk pergi secara terburu-buru. Lebih jauh, kesegeraan dari hamba pertama dapat memberi kontras yang kuat dengan durasi kepergiaan tuannya (25:19a “lama sesudah itu”). Dengan kata lain, hamba pertama langsung bergegas menunaikan tugasnya, walaupun kedatangan tuannya mungkin masih lama sekali.

Kata keterangan “demikian juga” (hōsautōs) di ayat 17 mengindikasikan bahwa hamba kedua juga memiliki kesegeraan. Penempatan kata ini di awal kalimat (ASV/NASB/NRSV) turut mempertegas hal tersebut. Jadi, walaupun jumlah yang dihasilkan berbeda, tetapi etos kerja yang ditunjukkan tetap sama.

Kedua, kebaikan. Hamba ke-1 dan ke-2 mendapatkan pujian dari tuannya. Mereka disebut “hamba yang baik” (doule agathe, 25:21, 23). Sebagai kontras, hamba ke-3 disebut “hamba yang jahat” (ponēre doule, 25:26). Dua kata ini memang seringkali digunakan dalam kaitan dengan karakter seseorang. Dua hamba yang pertama bersedia bekerja keras untuk memberikan keuntungan kepada tuannya walaupun tuan tersebut hanya memberikan modal saja, sedangkan hamba terakhir menolak melakukan itu dan justru mengata-ngatai yang jahat terhadap tuannya (bdk. 25:24).

Ketiga, kesetiaan. Selain disebut sebagai “hamba yang baik, hamba ke-1 dan ke-2 juga disebut “hamba yang setia” (doule piste, 25:21, 23). Pujian ini tampaknya mendapat penekanan lebih dibandingkan pujian sebelumnya. Kesetiaan dikaitkan dengan waktu yang lama (25:19). Kesetiaan juga diulang kembali di ayat 21 dan 23 (“engkau telah setia”).

Konsep tentang kesetiaan dalam kisah ini bukan hanya tentang waktu. Kesetiaan hamba ke-1 dan ke-2 dikontraskan dengan kemalasan hamba ke-3 (25:26). Jika yang ditekankan adalah waktu, maka hamba ke-3 juga tergolong setia. Ia tidak meninggalkan tuannya. Ia tidak menggunakan uangnya untuk hal-hal yang sembrono (bdk. 24:45-51). Dengan menguburkan uangnya di dalam tanah, hamba ke-3 bahkan ingin memastikan bahwa uang tuannya berada pada tempat yang aman selama masa peperangan. Walaupun demikian, kesetiaan – sekali lagi – bukan hanya masalah waktu. Kerja keras dan efisiensi adalah ukuran kesetiaan yang sejati. Bukankah ada orang-orang tertentu yang tetap melayani di suatu bidang dalam jangka waktu yang lama tetapi mereka tidak pernah memberikan yang terbaik dalam bidang itu?

Keempat, ketundukan. Sikap hamba ke-3 ternyata didorong oleh kekerasan hatinya yang tidak mau tunduk pada kedaulatan tuannya. Walaupun ia tahu apa yang ia harus perbuat, ia tetap tidak melakukannya. Ia bahkan menuduh tuannya sebagai pribadi yang keras (LAI:TB “kejam”) dan seenaknya mengambil untung dari apa yang tidak ia kerjakan (25:24). Menariknya, sang tuan tampaknya “mengamini” bagian terakhir dari tuduhan ini (25:26), walaupun bagian yang awal jelas tidak mengenai sasaran (25:21, 23, 28). Maksudnya, sang tuan memang berhak atas keuntungan yang diperoleh oleh hamba-hambanya. Ia berdaulat atas segala sesuatu. Karena itu, sudah syogyanya apabila hamba-hambanya tunduk kepadanya.

Hadiah untuk penatalayan yang setia

Setiap pekerja berhak mendapatkan upahnya. Demikian pula dengan hamba-hamba yang setia. Tuhan tidak menutup mata terhadap kesegeraan, kebaikan, kesetiaan, dan ketundukan hamba-hamba-Nya. Persoalannya, hadiah yang Ia siapkan bagi kita seringkali tidak seperti yang kita harapkan (25:21, 23). Apa saja hadiah dari Dia?

Tuhan akan memberikan pujian. Bagi sebagian orang yang terjebak pada materialisme, hadiah ini terlihat kurang menyenangkan. Tidak demikian halnya dengan masyarakat kuno yang sangat mengagungkan budaya “aib dan kehormatan” (shame and honor culture). Sebuah pujian lebih bermakna daripada hal-hal lain. Pernahkah kita membayangkan bagaimana perasaan kita kelak pada saat dipuji oleh Tuhan?

Tuhan akan mempercayakan pekerjaan yang lebih besar. Walaupun lima dan dua talenta sudah termasuk sangat besar jumlahnya, tetapi hal itu tetap disebut “perkara kecil”. Ada hal-hal lain yang lebih besar yang Tuhan dapat berikan kepada kita (25:28-29). Sekali lagi, kepercayaan ini bukan kepemilikan, tetapi penatalayanan. Dipercayakan tugas yang lebih besar merupakan hadiah yang lebih besar bagi setiap hamba Tuhan. Mengapa sebagian orang justru mengeluh pada saat dibebankan pekerjaan yang lebih besar oleh Tuhan?

Tuhan akan berbagi kebahagiaan. Mengingat perumpamaan ini tentang kedatangan Kerajaan Allah (25:14), hampir semua penafsir memahami “masuk ke dalam kegembiraan tuanmu” sebagai rujukan pada pesta perjamuan. Hal ini senada dengan pengharapan mesianis-eskhatologis orang-orang Yahudi pada waktu itu. Umat Allah akan berjamu dengan dan dijamu oleh Allah dan Mesias-Nya. Oh, betapa luar biasanya!

Apakah yang Tuhan sudah percayakan di genggaman tangan Saudara? Sudahkah Saudara memanfaatkan itu secara sungguh-sungguh, efisien, dan setia bagi kemuliaan-Nya? Seandainya Tuhan Yesus datang kembali nanti malam, sudahkah Saudara sendiri puas dengan jerih-payahmu bagi Dia? Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community