Kita hidup di dunia yang semakin individualistis. Semangat ini membuat manusia semakin cuek pada sesama, apalagi kepada mereka yang miskin dan asing. Tekanan ekonomi membuat kita mencari untung belaka. Kebanyakan orang berpikir bahwa tidak ada untungnya kita mengurusi orang lain, apalagi, kalau dia itu tidak menguntungkan kita? Apa gunanya kita mengusahakan kelegaan bagi orang miskin atau orang asing? Bukankah lebih baik jika kita mengeksploitasi mereka saja supaya menguntungkan kita? Namun, ini bukanlah gaya hidup umat Tuhan. Tuhan menghendaki umat-Nya memiliki gaya hidup yang berbeda. Gaya hidup seperti apakah yang Tuhan inginkan dimiliki umat-Nya?
Jangan menindas orang asing
Sejarah hidup bersama Tuhan adalah pelajaran berharga yang harus diingat dan dijadikan acuan hidup. Mereka diingatkan bahwa mereka pernah menjadi orang asing, karena itu jangan menekan orang asing. Tuhan mengijinkan mereka menjadi orang asing agar mereka paham rasanya menjadi orang asing dan kelak tahu apa yang harus dilakukan bagi seorang asing.
Kata “orang asing” menunjukkan bahwa orang itu bukan berasal dari Israel dan tidak memiliki hak yang biasanya dimiliki oleh penduduk setempat. Orang seperti itu bergantung pada niat baik orang-orang di sekitarnya. Mereka tidak punya tanah warisan nenek moyang, mereka hanya mencari makan dengan bekerja untuk orang Israel asli. Bagaimana kehidupannya, bergantung pada cara tuannya memperlakukannya.
LAI menerjemahkan ayat 9 demikian: “Orang asing janganlah kamu tekan, karena kamu sendiri ….” Kata tekan/menindas berasal dari Bahasa Ibrani “lachats” bisa berarti secara fisik mendorong seseorang, meremas, menghancurkan dan memiliki arti menekan atau menyiksa. Kata ini digunakan untuk keledai Bileam dalam Bilangan 22:25 "Ketika keledai itu melihat Malaikat TUHAN, ditekankannyalah dirinya kepada tembok, sehingga kaki Bileam terhimpit kepada tembok." S. R. Driver menafsirkan kata “tekan/penindasan/oppress dalam konteks ini dengan penilaian yang tidak adil di pengadilan. Ulangan 10:19 memberi kita "sisi lain" dari perintah ini "Tunjukkan kasihmu kepada orang asing, karena kamu adalah orang asing di tanah Mesir." Bukan hanya jangan menindas mereka, orang Israel diperintahkan agar harus menunjukkan kasih kepada mereka. Inilah gaya hidup yang Tuhan inginkan dimiliki oleh anak-anak-Nya.
Alasan untuk perintah di atas adalah karena mereka sendiri tahu rasanya hidup sebagai orang asing. “… You know what it's like to be a foreigner, for you yourselves were once foreigners in the land of Egypt (NLT). Bahasa Ibrani yang dipakai di sini adalah nepes, yang dapat diterjemahkan “kehidupan”. Mereka diperintahkan untuk jangan menindas orang asing sebab mereka pernah merasakan hidup sebagai orang asing. Orang asing biasanya memiliki perasaan “terasing/sendirian” karena dia tidak memiliki hubungan darah atau etnis dengan orang yang ada di sekitarnya. Dalam kondisi seperti itu, tentu siapapun butuh seseorang sebagai teman, yang saling mendukung dalam kesulitan. Tekanan ataupun penindasan akan semakin memperparah perasaan keterasingan seorang asing.
Mereka diingatkan bahwa mereka juga pernah ada dalam posisi yang sama di tanah Mesir. Tuhan mengingatkan mereka terhadap memori kesengsaraan dan penderitaan sebagai orang asing di Mesir sebagai antisipasi agar mereka tidak mempraktekkan dosa yang sama! Orang Israel pernah mengalami penganiayaan sebagai orang asing, itu sebabnya mereka harus berbeda dalam memperlakukan orang asing. Ini bukan sekadar sebuah idealisme seorang humanis tetapi perasaan senasib yang mendalam yang berakar pada pengalaman kita sendiri akan anugerah Tuhan. Kita harus memperlakukan orang lain sebagaimana Tuhan telah memperlakukan kita.
Kasihilah orang miskin dan orang asing
Perintah pertama sifatnya pasif “jangan menindas orang asing”. Perintah berikutnya sifatnya lebih aktif untuk berbagi dengan orang asing dan orang miskin. Caranya adalah Mereka harus menerapkan tahun sabat. Mereka boleh menabur dan mengumpulkan hasil berkebun selama 6 tahun, tetapi tahun ke-7 kebunnya harus dibiarkan. Tujuannya adalah supaya orang miskin di antara bangsamu dapat makan, dan apa yang ditinggalkan mereka haruslah dibiarkan dimakan binatang hutan.
Pada tahun ketujuh, kebun, ladang, dan kebun anggur dibiarkan tumbuh sendiri "tidak dipangkas, tidak dijaga, dan tidak dipanen." Apa pun yang tumbuh secara spontan menjadi milik semua yang orang miskin, budak, pekerja harian, orang asing, juga binatang yang berkeliaran di ladang. Menurut tradisi, Orang di Israel memenuhi perintah ini dengan mengolah hanya enam per tujuh dari tanah mereka pada satu waktu menanam, dan mempraktikkan metode rotasi tanaman. Currid mengatakan bahwa "Tidak mungkin seluruh Israel merayakan Sabat tanah pada tahun yang sama. Mungkin digilir sehingga beberapa bagian tanah dibiarkan kosong setiap tahun, tetapi banyak juga yang dibudidayakan. Dengan demikian, orang miskin akan dapat mengumpulkan makanan setiap tahun, tidak harus menunggu tujuh tahun."
Salah satu alasan Tuhan memerintahkan tahun Sabat adalah untuk memberi orang miskin sesuatu untuk dimakan, karena mereka diizinkan untuk memanen dan mengolah apa yang tidak ditanam dari tanah kosong . Ini adalah cara untuk membantu orang miskin yang menuntut pemilik tanah menahan diri dari keuntungan maksimum, dan orang miskin bekerja untuk membantu diri mereka sendiri.
Bukan hanya itu saja, mereka juga diijinkan untuk bekerja 6 hari lamanya, tetapi pada hari ke-7 mereka haruslah berhenti. Tujuannya supaya supaya lembu dan keledaimu tidak bekerja dan supaya anak budakmu perempuan dan orang asing melepaskan lelah. Prinsip Sabat dimaksudkan untuk semua orang, dan bahkan untuk hewan.
Sabat mingguan di sini tidak dimaksud karena Allah menciptakan dunia dalam enam hari dan beristirahat pada hari ketujuh, juga bukan sebagai peringatan penebusan Israel semata, tetapi juga untuk tujuan memelihara ciptaan-Nya. Tuhan Yesus mengingatkan kita bahwa Tuhan memelihara burung pipit kecil dan memberi makan burung gagak. Sabat mingguan harus dipraktekan bukan sekedar untuk tujuan keagamaan pribadi, tetapi juga sebagai tujuan kepedulian kepada ciptaan Allah lainnya.
Bangsa di sekitar bangsa Israel tentunya memiliki gaya hidup yang berbeda. Umat Allah tidak diijinkan meniru mereka. Mereka adalah bangsa penindas yang lemah untuk mencari untung yang sebesar-besarnya. Kehadiran Allah di tengah umat-Nya harus menghasilkan hidup yang berbeda. Alan Cole menulis, "kasih untuk orang asing tidak didasarkan pada kemanusiaan belaka, tetapi pada perasaan kepada sesama yang berasal dari pengalaman pribadi yang mendalam akan kasih karunia Tuhan yang menyelamatkan."
Sayangnya Israel tidak mematuhi hukum ini dan pada kenyataannya kegagalannya untuk memelihara Tahun Sabat adalah salah satu alasan pengasingan Yehuda, yang akan berlangsung selama 70 tahun untuk menebus tahun-tahun Sabat yang terlewatkan. Ini berarti bahwa selama 490 tahun Israel gagal memelihara Sabat setiap tahun ketujuh (Im 26:32-36; 1 Tawarikh 36:21).
Sabat mingguan dan tahun sabat adalah ekspresi iman kepada Tuhan yang berjanji untuk memenuhi kebutuhan kita. Iman kita kepada Tuhan sebagai Allah Sang Pemelihara dunia yang hidup dan mengontrol seluruh alam semesta. Mari wujudkan iman kita melalui ketaatan terhadap kehendak-Nya. Soli deo Gloria!
Photo by cottonbro from Pexels