Yang suka membaca kisah-kisah dongeng pasti menyadari bahwa salah satu alur cerita favorit dalam berbagai dongeng adalah pembalikan keadaan melalui sebuah kebaikan yang sepele. Misalnya, seorang pemuda menolong seekor katak yang terluka dan terkurung dalam sebuah lubang kecil. Ternyata katak tersebut adalah seorang puteri raja. Si pemuda akhirnya diangkat menjadi menantu raja. Kira-kira seperti itu jalan ceritanya. Sebuah perbuatan baik yang sepele bisa mengubahkan kehidupan seseorang.
Apa yang kita anggap sepele mungkin tidak sepele bagi orang lain. Dalam pengaturan Allah yang berdaulat, sebuah kebaikan kecil bisa berdampak besar. Pembalikan kehidupan mungkin saja terjadi dari sebuah tindakan yang kecil.
Teks kita hari ini memang bukan sebuah dongeng, tetapi sama-sama mengajarkan pentingnya perbuatan baik, sekecil apapun itu. Apa yang diajarkan memang bukan pembalikan keadaan, tetapi tetap ada unsur kejutan. Apa yang terlihat remeh di mata kita ternyata tidak selalu demikian di mata Tuhan. Kebaikan kepada orang yang kecil menunjukkan kebesaran hati dari yang melakukannya.
Penghakiman terakhir (ayat 31-33)
Ayat 31-46 merupakan penutup dari rangkaian pengajaran Yesus tentang akhir zaman (24:1-25:46). Kedatangan Kristus kembali di akhir zaman akan didahului dengan berbagai macam tanda (24:1-36). Walaupun ada tanda-tandanya, waktu kedatangan yang pasti tetap menjadi sebuah misteri, karena itu setiap orang harus terus-menerus dalam keadaan siap menantikan kedatangan itu (24:37-51). Bagaimana seseorang menyiapkan diri diuraikan lebih lanjut oleh Yesus melalui dua perumpamaan: sepuluh gadis (25:1-13) dan tiga hamba dengan talenta mereka (25:14-30). Akhirnya, kesiapan ini juga dijelaskan di 25:31-46 (teks hari ini).
Keterkaitan teks hari ini dengan akhir zaman sudah terlihat jelas dari awal. Yesus sedang membicarakan tentang penghakiman terakhir oleh Anak Manusia. Orang-orang Yahudi yang akrab dengan pengharapan mesianis pasti langsung tahu bahwa latar belakang gambaran di ayat 31 adalah nubuat Daniel tentang Anak Manusia (Dan. 7:13-14). Anak Manusia adalah Raja atas segala suku bangsa dan bahasa. Dia akan datang dengan segala kemuliaan-Nya.
Ide tentang kemuliaan ini tampaknya memang sangat ditekankan. Secara eksplisit Yesus menjelaskan bahwa kedatangan-Nya adalah “dalam kemuliaan-Nya” (ayat 31a). Kemuliaan Anak Manusia ditandai dengan kedatangan-Nya yang diiringi oleh para malaikat dari sorga (ayat 31b “semua malaikat bersama-sama dengan Dia”). Dia juga akan “bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya” (ayat 31c).
Penekanan pada kemuliaan bukan tanpa tujuan. Inti dari ayat 31-46 adalah tentang perbuatan baik pada orang-orang yang hina. Walaupun mereka tampak hina di mata dunia, tetapi siapa saja yang melayani mereka ternyata telah melayani Tuhan yang mulia.
Pada penghakiman terakhir Anak Manusia akan mengumpulkan semua orang dan mengelompokkan mereka ke dalam dua bagian: domba dan kambing. Yang domba diletakkan di sebelah kanan, yang kambing di sebelah kiri. Dalam budaya pada waktu itu kanan dipahami sebagai posisi yang baik (bdk. Mzm. 110:1).
Pemisahan antara domba dan kambing bukanlah hal yang asing bagi para gembala di zaman Alkitab. Domba dan kambing seringkali digembalakan bersama-sama. Pada malam hari, terutama pada saat musim dingin, tempat bermalam mereka dibedakan, karena kambing kurang bisa bertahan dengan hawa dingin dibandingkan dengan domba. Pemisahan juga diperlukan karena dua binatang ini sekilas mirip, baik dari sisi ukuran, bentuk maupun warna. Dari sisi harga, domba lebih dihargai daripada kambing.
Penghakiman terhadap para domba (ayat 34-40)
Mereka yang berada di sebelah kanan mendapatkan sambutan dan pahala yang luar biasa dari Sang Raja (ayat 34). Respons positif ini berhubungan dengan perbuatan baik yang mereka lakukan terhadap Sang Raja. Secara lebih khusus, perbuatan baik ini dijelaskan sebagai berikut: “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (ayat 40).
Siapa yang dimaksud dengan saudara yang paling hina dalam konteks ini? Sebagian penafsir memahami ungkapan ini sebagai rujukan pada semua orang yang membutuhkan pertolongan, sedangkan sebagian lain mengaitkan ini dengan para pengikut Yesus Kristus. Di antara dua opsi ini, yang terakhir tampaknya lebih tepat. Di bagian sebelumnya Matius sudah mencatat bahwa siapa saja yang melakukan kehendak Bapa adalah saudara-saudara Yesus (12:48-50). Tidak heran Yesus menyebut murid-murid-Nya sebagai “saudara-saudara-Ku” (28:10). Yesus juga mengajarkan bahwa barangsiapa menerima murid-murid-Nya dan memberikan secangkir air kepada mereka sudah menyambut diri-Nya sendiri (10:40-42).
Jenis perbuatan baik yang disebutkan di sini menyiratkan bahwa orang yang menerima pertolongan merupakan orang-orang yang dianggap hina oleh dunia (ayat 40 “yang paling hina ini”). Tidak memiliki makanan, minuman dan pakaian (ayat 35-36) menunjukkan kemiskinan yang parah. Menjadi orang miskin sudah cukup menderita, tetapi menjadi orang asing memberi penderitaan tambahan. Tidak ada kerabat berarti tidak ada keamanan. Menjadi orang asing berarti tidak memiliki aset (minimal untuk masa-masa awal kedatangan). Orang-orang Kristen zaman dahulu tampaknya sudah terbiasa memberikan tumpangan pada orang asing (Kis. 10:23; Rm. 12:13; 16:23; 1Tim. 3:2; 5:10; Tit. 1:8; Ibr. 13:2). Pada saat orang miskin dan asing sakit biasanya tidak ada orang lain yang peduli. Di tengah situasi inilah orang-orang Kristen dipanggil untuk hadir dan memberikan perhatian (ayat 36 “ketika Aku sakit, kamu melawat aku”). Begitu pula dengan ketika orang miskin dan asing berada dalam penjara. Siapa yang mau dikaitkan dengan seorang narapidana? Keluarga sendiripun kadang enggan mengunjungi kerabat mereka yang sedang dipenjara. Bagi para pengikut Yesus, situasi ini bukan sumber aib, melainkan kesempatan berbuat baik.
Penjelasan di atas sekilas memberi kesan bahwa perbuatan baik seseorang menentukan kehidupan kekalnya. Keselamatan tampaknya ditentukan oleh perbuatan baik. Benarkah perbuatan baik kepada orang Kristen membuat seseorang layak memiliki kehidupan kekal? Sama sekali tidak!
Kata “sebab” di awal ayat 35 tampaknya lebih menyiratkan bukti daripada alasan. Pertama, kata “terimalah” (klēronomēsate) secara hurufiah berarti “warisilah” (mayoritas versi Inggris “inherit”; NIV “take your inheritance”). Warisan adalah sesuatu yang diterima dari orang tua, bukan sesuatu yang diusahakan sendiri. Jadi, kalimat di ayat 35 bukan tentang “masuk kerajaan sorga” (baca: keselamatan) tetapi “mewarisi kerajaan” (baca: pahala).
Kedua, kerajaan yang akan diwarisi sudah disediakan oleh Bapa sejak kekekalan. Bukan hanya kerjaan itu yang telah disiapkan, tetapi juga untuk siapa itu disediakan, yaitu “bagimu” (ayat 34). Sebelum kita lahir ke dunia, Allah sudah menyiapkan kerajaan itu bagi kita. Jadi, semua diawali oleh inisiatif Allah.
Ketiga, mereka yang menerima kerajaan ini justru bingung dan terkejut (ayat 37-39). Jika mereka dari awal sudah memaksudkan semua kebaikan itu sebagai sarana untuk mendapatkan keselamatan atau pahala, mereka mungkin tidak akan terkejut dengan hasilnya. Kebingungan dan keterkejutan mereka sangat mungkin menyiratkan bahwa perbuatan baik itu hanyalah gaya hidup mereka sehari-hari yang sudah diubah oleh Kristus. Mereka tidak pernah mengharapkan balasan dari setiap kebaikan yang mereka lakukan.
Keempat, sebutan sebagai “orang-orang benar” (ayat 37a, hoi dikaioi) berhubungan dengan karya penebusan Kristus. Pembaca Injil Matius yang teliti pasti tahu dari awal bahwa maksud kedatangan Kristus ke dalam dunia adalah untuk menggenapi seluruh kebenaran Allah (3:15, pasan dikaiosynē; kontra LAI:TB “seluruh kehendak Allah”). Tidak heran, kita bisa memiliki kebenaran yang lebih tinggi daripada orang-orang Farisi (5:20, hē dikaiosynē; kontra LAI:TB “hidup keagamaanmu”).
Penghakiman terhadap para kambing (ayat 41-46)
Dalam banyak hal bagian ini hanyalah kebalikan (kontras) dari ayat 34-40. Yang satu disambut (ayat 34 “Mari”), yang lain diusir (ayat 41 “enyahlah”). Yang satu diberkati (ayat 34), yang lain dikutuk (ayat 41). Yang satu menerima warisan kerajaan (ayat 34), yang satu menerima hukuman (ayat 41). Yang satu peduli pada orang lain yang hina (ayat 35-35-36), yang lain tidak peduli (ayat 42-43).
Yang perlu digarisbawahi di ayat 41-46 adalah jenis dosa yang dilakukan. Merek ayang tergolong pada kambing sebenarnya bukan orang-orang jahat. Mereka tidak menindas atau menyengsarakan kaum yang lemah. Mereka hanya tidak peduli. Dengan kata lain, dosa mereka bukan melakukan sesuatu, tetapi lebih ke arah tidak melakukan sesuatu. Dalam bahasa yang lebih sederhana, dosa mereka bersifat pasif. Mereka tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan.
Poin ini seharusnya menjadi peringatan yang keras bagi mereka yang merasa diri mampu diselamatkan atau dibenarkan karena berbuat baik. Jumlah kebaikan yang kita berhasil lakukan pasti lebih sedikit daripada yang kita gagal lakukan. Bahkan ketika kita menghabiskan 24 jam hidup kita hanya untuk melakukan kebaikan-kebaikan, kita tidak pernah tahu ada berapa ribuan kebaikan lain yang kita telah abaikan. Mereka yang jahat bukan hanya mereka yang melakukan kejahatan, tetapi yang gagal melakukan kebaikan.
Tidak melakukan sesuatu juga menjadi dosa yang serius karena hal itu seringkali menyiratkan kecondongan dan sikap hati seseorang. “Tidak ada waktu untuk melakukan sesuatu” seringkali berarti “tidak ada hati untuk melakukannya.” Ini bukan urusan waktu, tetapi prioritas hidup. Ini bukan tentang durasi, tetapi orientasi hati.
Mengapa ada orang-orang yang mengaku diri sebagai orang Kristen tetapi tidak peduli dengan orang lain yang hina dan menderita? Mungkin karena mereka belum memahami arti Injil yang sebenarnya. Hati mereka belum ditransformasi oleh belas kasihan Kristus. Hati mereka mungkin telah terikat pada segala hal yang diagungkan oleh dunia ini: kekayaan, kebanggaan, popularitas, dsb. Mereka yang telah mengalami Kristus seharusnya melihat orang lain dari kacamata Kristus. Yang hatinya telah diubahkan oleh Kristus seharusnya ingin mengadakan perubahan dengan kekuatan Kristus. Soli Deo Gloria.