
Artikel ini masih berhubungan dengan pertanyaan ke-1 dalam buku Mustahil Kristen Bisa Menjawab karangan Ihsan Mokoginta. Dalam edisi sebelumnya saya sudah mengutip kalimat Mokoginta yang menunjukkan pendapatnya bahwa agama Kristen dibentuk oleh Paulus dan Barnabas. Sayangnya, ia tidak memberi dukungan apa pun bagi pendapat tersebut.
Walaupun demikian, saya bisa memahami dia. Banyak orang Muslim memang mengadopsi konsep tersebut dan menggunakannya dalam diskusi dengan orang-orang Kristen. Muhammad Ata Ur-Raheem dalam buku klasiknya, Jesus: Prophet of Islam (edisi 1992), berkata: “Paulus menciptakan sebuah agama yang mencakup elemen-elemen berbeda yang kontradiktif. Ia mengambil keyakinan Yahudi tentang keesaan Allah dan menambahkan filsafat kafir ke dalamnya” (hlm. 71). Sesudah menunjukkan ‘kontrakdiksi’ antara pandangan Yesus dan Paulus seputar Hukum Taurat, Roshen Enam meyakini bahwa Paulus telah memberi bentuk baru pada agama Yesus demi menarik banyak orang menjadi pengikut agama Kristen versi Paulus (Follow Jesus or Follow Paul, hlm. 69). Pandangan yang sama dikemukakan oleh Ahmed Deedat. Ia menulis: “Tidak ada orang Kristen yang terpelajar yang akan membantah kenyataan bahwa pendiri asli agama Kristen adalah Paulus” (The Choice: Islam and Christianity Volume I, hlm. 108).
Benarkah Paulus adalah pendiri agama Kristen? Benarkah ia telah mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Yesus? Benarkah semua orang Kristen yang terpelajar menganggap Paulus sebagai pendiri kekristenan?
Saya pertama-tama akan meresponi persoalan ini dengan sebuah pengamatan yang menurut saya sangat menarik: pandangan orang-orang Muslim tentang Paulus sebagai pendiri agama Kristen sebenarnya bersumber dari tulisan para pemikir Kristen sendiri, yaitu dari para ahli teologi Kristen yang liberal. Hal ini terlihat setidaknya dari dua hal. Pertama, sejauh pembacaan yang saya lakukan, tidak ada pemikir Islam dari abad ke-7 sampai ke-18 yang pernah mengungkit topik ini dalam diskusi mereka dengan orang-orang Kristen (maafkan jika saya keliru). Kedua, para pemikir Islam modern yang disebutkan di atas (Ur-Raheem, Enam, dan Deedat) beberapa kali mengutip tulisan para teolog Kristen liberal. Opini populer inilah yang selanjutnya dikembangkan oleh para pemikir Muslim dengan cara mengutip dan menafsirkan ayat-ayat tertentu dari Alkitab.
Walaupun tidak orisinal, menggunakan pendapat dari para teolog Kristen untuk meruntuhkan kekristenan jelas merupakan suatu strategi yang tepat. Persoalannya, apakah pendapat para teolog Kristen itu memang tepat? Di bawah ini saya akan menerangkan mengapa sebagian teolog Kristen (dan juga para pemikir Muslim) menganggap Paulus sebagai pendiri kekristenan. Selanjutnya saya akan menunjukkan beberapa kelemahan fatal dari pandangan ini.
Paulus: pendiri kekristenan
Isu tentang Yesus versus Paulus dapat ditelusuri sampai pada seorang teolog liberal yang bernama F. C. Baur di tahun 1831 (lihat Furnish, “The Jesus-Paul Debate” dalam Paul and Jesus, hlm. 15-50) atau seorang filsuf ateis yang bernama F. Nietzsche di tahun 1896 (lihat Fraser, Jesus and Paul, 11-32). Sejak saat itu, abad ke-19 dan ke-20 telah dibanjiri dengan berbagai buku dengan nada yang hampir sama sehingga menimbulkan sebuah kesan yang kuat bahwa kontradiksi antara Yesus dan Paul merupakan sebuah kebenaran umum. Sebagian orang bahkan menjadikan pandangan umum ini sebagai landasan pemikiran mereka tanpa meninjau ulang apakah pandangan tersebut benar. Bagaimanapun, semua orang yang berpikir kritis pasti akan setuju bahwa pandangan mayoritas belum tentu benar dan bahwa sebuah pendapat yang terus-menerus diulang tidak membuat pendapat itu menjadi lebih benar. Maksudnya, kita perlu menguji kembali ‘konsensus’ para teolog tentang hal ini, apalagi ‘konsensus’ lama itu dewasa ini telah mengalami pergeseran yang cukup penting. Semakin banyak teolog yang mengapresiasi kedekatan ajaran Paulus dan Yesus. Sekali lagi, jumlah memang tidak menentukan, namun perubahan tren di kalangan teolog ini tetap bisa menjadi sebuah pengingat bahwa apa yang dipercayai oleh banyak orang di suatu zaman belum tentu terbukti benar di periode yang lain.
Nah, mengapa para teolog di abad ke-19 akhir dan di masa sesudahnya sampai memiliki keyakinan bahwa Paulus adalah pendiri kekristenan? Tanpa bermaksud menyederhanakan isu yang cukup pelik ini, saya akan membagi penjelasan saya menjadi beberapa poin. Pertama, Paulus tidak pernah berjumpa dengan Yesus. Ia hanya mengaku bertemu dengan Yesus melalui sebuah penglihatan yang membuat dia berhenti menganiaya para pengikut Yesus (Kisah Para Rasul 9). Ia bahkan tidak segan-segan menyatakan bahwa ajarannya bukan berasal dari manusia, melainkan dari wahyu Tuhan Yesus dan hasil menyendiri selama 3 tahun yang ia lakukan (Galatia 1:11-18). Jika ia memang tidak sempat berjumpa dengan Yesus, lalu bagaimana ia bisa tahu dan mengingat ajaran-ajaran Yesus?
Kedua, Paulus (dan Barnabas) berselisih tajam dengan rasul-rasul lain. Orang-orang Kristen dari latar belakang Yahudi mendesak agar semua orang Kristen menjalankan sunat dan memelihara Hukum Taurat. Kisah Para Rasul 15 mencatat perbedaan doktrin yang cukup tajam ini. Paulus sendiri dalam salah satu suratnya menceritakan teguran publik yang ia berikan kepada Petrus (Galatia 2:11-14).
Ketiga, Paulus sangat jarang mengutip kehidupan atau ajaran Yesus, kecuali kematian dan kebangkitan-Nya. Banyak orang hanya melihat dua ayat Alkitab sebagai petunjuk bahwa Paulus mengenal ajaran Yesus.
1 Korintus 7:10 “Kepada orang-orang yang telah kawin aku tidak, bukan aku, tetapi Tuhan perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya”
1 Korintus 9:14 “Demikian pula Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu”
Persoalannya, Paulus sendiri terlihat tidak mengikuti ajaran itu. Misalnya, ia tidak mau menerima tunjangan hidup dari jemaat, walaupun Yesus mengajarkan bahwa seorang pekerja berhak mendapat upahnya (1 Korintus 9:14; 1 Timotius 5:18).
Keempat, beberapa pandangan Paulus bertentangan dengan ajaran Yesus. Yang paling sering disorot adalah peniadaan Hukum Taurat sebagai syarat keselamatan. Paulus mengajarkan keselamatan melalui iman kepada Yesus yang tersalib dan bangkit dari kematian, bukan melalui ketaatan kepada Hukum Taurat (Galatia 3:9-11). Orang Kristen tidak lagi berada di bawah Hukum Taurat, melainkan di bawah kasih karunia (Roma 6:14). Hal ini dipandang bertabrakan dengan permanensi Hukum Taurat yang diajarkan oleh Yesus. Misalnya, Yesus berkata: “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Matius 5:17-20).
Terakhir, tulisan Paulus mendominasi Perjanjian Baru yang diyakini sebagai firman Allah oleh orang-orang Kristen. Dari 27 kitab/surat yang ada, 13 di antaranya berasal dari Paulus. Ini berarti hampir separuh dari Perjanjian Baru. Sebagai tambahan, surat-surat Paulus ditulis lebih dahulu daripada kitab-kitab injil. Mungkinkah Paulus memang sedemikian berpengaruh dalam kekristenan sehingga kekristenan yang ia ciptakan sangat berbeda dengan ajaran yang dibawa oleh Yesus?
Demikian pula dengan Paulus. Ia mengakui bahwa Taurat itu kudus, benar, dan baik (Roma 7:12). Ia bahkan secara eksplisit menulis: “Jika demikian, adakah kami membatalkan hukum Taurat karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya” (Roma 3:31). Hukum Taurat itu baik jika tepat digunakan (1 Timotius 1:8). Yang ditentang Paulus adalah pandangan orang-orang Yahudi yang menjadikan ketaatan Hukum Taurat sebagai syarat keselamatan.
Mereka yang bisa menaati Taurat secara sempurna memang bisa diselamatkan (Roma 2:13). Persoalannya, dosa dalam diri manusia membuat ketaatan semacam itu mustahil untuk dicapai (Galatia 3:10). Karena itu, orang-orang Kristen yang beriman kepada Yesus Kristus tidak lagi di bawah Hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia (Roma 6:14-15). Maksudnya, keselamatan orang Kristen diperoleh melalui iman pada ketaatan Kristus terhadap Taurat dan kematian-Nya di kayu salib untuk menggantikan kutuk Taurat (Roma 8:3-4; Galatia 3:13). Pendeknya, dinamika pandangan Paulus tentang Hukum Taurat bisa diungkapkan dalam satu ayat: “Tetapi sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan, seperti yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab para nabi” (Roma 3:21).
Sebagai penutup, saya akan memberikan salah satu contoh bagaimana ajaran Yesus dan Paulus jauh lebih mirip daripada yang selama ini dipikirkan oleh banyak orang (untuk contoh-contoh lain, silahkan membaca David Wenham, Paul: Follower of Jesus or Founder of Christianity?, halaman 37-372). Dalam hal ini saya mengambil contoh ajaran Paulus tentang makan dan makanan (Wenham, Paul, hlm. 92-7). Sama seperti Yesus (Matius 15:11, 17-20; Markus 7:19), Paulus tidak membedakan makanan haram dan halal. Pada saat menyinggung tentang persoalan makanan halam dan haram di jemaat Roma, Paulus berkata: “Aku tahu dan yakin dalam Tuhan Yesus, bahwa tidak ada sesuatu yang najis dari dirinya sendiri” (Roma 14:14). Di Kolose 2:21-22 ia menegaskan bahwa peraturan tentang ritual makan hanyalah perintah dan ajaran manusia. Ajaran yang sama diberikan oleh Yesus pada saat Ia mengritisi tradisi Farisi dan ahli Taurat tentang makanan (Mat 15:3, 6, 9). Menariknya lagi, baik Yesus maupun Paulus tampaknya sama-sama sedang memikirkan Nabi Yesaya yang mengritik ibadah orang-orang Yahudi sebagai perintah manusia belaka (Yesaya 29:13; bdk. Matius 15:7-9).
Sebagai seorang mantan Farisi yang sangat keras (Filipi 3:5) Paulus tidak mungkin sejak awal memiliki pandangan semacam ini. Perubahan konsep ini lebih masuk akal ditelusu-ri sampai pada ajaran Yesus. Keyakinan Paulus tercermin dalam tindakannya. Ia secara keras menentang Petrus dan Barnabas di Anthiokia tatkala mereka berdua bersikap plin-plan ter-hadap konsep makan/makanan (Galatia 2:11-14). Petrus dan Barnabas justru masih sungkan dan sulit melepaskan diri dari tradisi Yahudi sep-utar makanan. Dalam hal ini, tindakan Paulus jauh lebih sesuai dengan ajaran Yesus daripada tindakan Petrus maupun Barnabas. Tidak beralasan apabila Paulus dianggap sebagai pendiri kekristenan yang ajarannya berten-tangan dengan ajaran Yesus.
Penjelasan di atas tidak berarti mengabaikan atau mengecilkan peranan Paulus bagi kekristenan. Dia tetap salah satu figur yang penting. Ia mengutip, menafsirkan ulang, dan menerapkan ajaran-ajaran Yesus ke dalam situasi yang baru pada zamannya. Persentuhannya yang lebih banyak dengan orang-orang non-Yahudi mendorong Paulus untuk menyampaikan ajaran Yesus dengan cara dan pendekatan yang berbeda. Isi di dalamnya tidak berubah. Hanya pendekatannya yang berlainan. Ia sendiri mengungkapkan strategi pengajarannya sebagai berikut: “Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat” (1 Korintus 9:20-21).