Dalam beberapa edisi yang lalu kita sudah memberikan bantahan terhadap opini tertentu yang mengatakan bahwa Kristus menikah dan memiliki keturunan (Benarkah Yesus menikah dengan Maria Magdalena?). Kita juga pernah menyinggung tentang selibasi Kristus dalam perspektif teologis dan kultural (Apakah selibasi sesuatu yang positif atau negatif?). Kali ini kita masih membicarakan tentang selibasi Yesus. Hanya saja, fokus pembahasan sedikit berubah.
Dalam salah satu seminar yang saya pimpin, ada seorang peserta bertanya seperti ini: “Seandainya Yesus benar-benar menjadi manusia sejati, mengapa Dia tidak menikah? Bukankah manusia normal akan menikah? Bukankah kalau Dia menikah maka Dia bisa menjadi panutan dalam pernikahan?”
Bagaimana kita menjawab pertanyaan ini?
Pertama-tama, kita perlu menunjukkan beberapa asumsi yang keliru dalam pertanyaan ini. Sebagai contoh, kesejatian manusia diukur berdasarkan status pernikahannya. Ini adalah asumsi yang tidak tepat. Sebelum Allah menyediakan Hawa, Adam sudah menjadi manusia sejati dan sempurna. Dia tidak membutuhkan Hawa untuk menjadi manusia yang utuh.
Begitu pula dengan Yesus. Dia memang manusia sejati. Dia mengambil seluruh karakteristik natur manusia. Hanya saja, natur manusiawi ini tidak mencakup pernikahan. Mereka yang memasukkan pernikahan sebagai bagian dari natur manusiawi telah bertindak tidak adil terhadap orang-orang lain yang dipanggil untuk selibat (1Kor. 7:7) atau yang tidak mungkin menikah (Mat. 19:12).
Asumsi lain yang keliru adalah pengalaman sebagai persyaratan keabsahan suatu ajaran. Apakah Yesus harus menikah supaya bisa menjadi teladan di dalam pernikahan? Tentu saja tidak. Manusia bisa belajar dari apapun, tidak harus melalui pengalaman. Kalaupun melalui pengalaman, tidak harus melalui pengalamannya sendiri. Lagipula, semua elemen keteladan dalam pernikahan (pengurbanan, kesabaran, perhatian, belas kasihan, dan kasih yang tanpa syarat) sudah ditunjukkan dalam kehidupan Yesus.
Hal kedua yang perlu dilakukan adalah menjelaskan tujuan hidup Yesus. Dia datang untuk menggenapi seluruh rencana Allah (Yoh. 17:4). Makanan-Nya adalah melakukan kehendak Bapa (Yoh. 4:34). Segala sesuatu yang bisa menghalangi realisasi rencana tersebut harus diabaikan.
Seandainya Yesus menikah, bukankah akan ada banyak halangan praktis dan emosional yang akan muncul dalam pelayanan-Nya? Dia tidak bebas untuk memberitakan Injil ke berbagai tempat. Keluarga-Nya belum tentu merelakan kematian-Nya di atas kayu salib?
Prinsip yang sama berlaku dalam kehidupan kita. Apapun yang kita lakukan seharusnya berada di bawah rencana Allah. Segala sesuatu yang menghalangi realisasi rencana itu harus dilepaskan. Segala sesuatu yang memberi kontribusi harus direngkuh. Nilai hidup bukan diukur berdasarkan apa yang kita miliki atau capai, tetapi seberapa jauh kita sudah mewujudkan rencana Allah dalam kehidupan kita. Soli Deo Gloria.