Natal tidak selalu dihiasi dengan kisah-kisah yang menggembirakan. Ada tragedi di dalamnya. Yang paling terkenal tentu saja pembunuhan bayi-bayi di kota Betelehem oleh Raja Herodes (Mat. 2:16-18). Jika peristiwa ini benar-benar terjadi, kita berharap akan menjadi pembicaraan hangat di seluruh kekaisaran Romawi. Bagaimana tidak? Semua bayi laki-laki di bawah usia dua tahun dalam satu kota dibantai dengan sadis oleh Herodes! Anehnya, tidak ada satu penulis sejarah kuno pun yang pernah menyinggung tentang hal ini.
Apakah ketidakadaan catatan kuno ini membuktikan bahwa pembantaian itu bukan sebuah peristiwa historis? Tidak juga. Dugaan semacam itu hanya muncul dari orang-orang yang sudah memiliki praduga teologis negatif terhadap keabsahan Alkitab.
Hal pertama yang perlu dipahami adalah bobot argumentasi dari ketidakadaan (argument from silence). Ketidakadaan konfirmasi dari data di luar Alkitab tentu saja tidak bisa serta-merta ditafsirkan sebagai bukti bahwa sebuah peristiwa di Alkitab tidak benar-benar terjadi. Ketidakadaan bukti bukan bukti bagi ketidakadaan. Kasusnya akan berbeda jika ada bukti di luar Alkitab yang berkontradiksi dengan data Alkitab. Dalam kasus semacam ini, kita perlu menimbang dengan adil dan teliti bukti mana yang lebih masuk akal.
Argumentasi dari ketidakadaan merupakan upaya logika historis yang tidak solid. Kita perlu mengingat bahwa tidak setiap penulis sejarah kuno mengisahkan segala sesuatu yang mereka ketahui. Ini adalah norma yang berlaku dari dulu sampai sekarang. Tulisan historis memiliki tujuan khusus, sehingga mengharuskan penulisnya untuk melakukan seleksi data. Di samping itu, kita juga tidak boleh melupakan bahwa Alkitab adalah salah satu bukti arkeologis tua yang berasal dari abad ke-1 Masehi. Ketika bukti ini berdiri sendiri, mengapa sebagian orang meragukannya?
Yang kedua, kita mungkin perlu memikirkan ulang praduga kita terhadap kisah pembantaian tersebut. Sebagian orang membayangkan jumlah bayi yang dibunuh pasti ratusan, bahkan mungkin ribuan. Jika dugaan ini benar tentu saja peristiwa ini sangat heboh. Kenyataannya, jumlah bayi yang dibunuh jauh di bawah itu.
Betlehem pada waktu itu bukanlah kota besar. Para ahli memperkirakan jumlah penduduknya hanya sekitar 1500 orang. Mempertimbangkan jumlah kematian bayi dan anak-anak yang cukup tinggi pada zaman kuno, para ahli menduga bahwa jumlah bayi di Betlehem tidak lebih dari 25 orang. Yang dibunuh juga hanya bayi laki-laki. Itupun yang di bawah usia dua tahun. Dengan semua penjelasan ini, kemungkinan besar jumlah bayi yang dibantai oleh Herodes tidak lebih dari 20 anak.
Hal ketiga yang perlu dipertimbangkan adalah kekejaman Herodes secara umum. Dia membunuh ratusan prajurit dan pengawalnya. Sebagian anggota keluarganya juga dibunuh: dari paman, isteri, sampai anak-anaknya. Kaisar Agustus bahkan pernah mengatakan bahwa lebih baik menjadi babi Herodes daripada menjadi anak-anaknya. Kekejaman Herodes sangat terkenal.
Tanpa bermaksud meremehkan kepedihan yang muncul dari kematian seorang bayi, jumlah bayi yang dibunuh di Betlehem pada saat itu memang tidak sebanding dengan semua korban kekejaman Herodes. Dengan situasi seperti ini, tidak semua penulis kuno mungkin merasa perlu untuk menyinggung tentang pembantaian belasan bayi di Betlehem. Yang keempat, kita juga perlu memahami bahwa Betlehem bukan hanya sebuah kota kecil, tetapi juga tidak penting bagi orang-orang Romawi. Bangsa Israel mungkin masih menghargai kota kecil ini karena dari situlah lahir Raja Daud yang tersohor. Namun, bagi para penulis maupun pejabat Romawi, kota ini sama sekali tidak penting. Apa yang terjadi di sana belum tentu menarik perhatian mereka. Selama sebuah peristiwa tidak menimbulkan huru-hara yang mengancam stabilitas dan keamanan sosial, pejabat Romawi tidak akan mempedulikannya.
Terakhir, sebenarnya ada catatan kuno di luar Alkitab yang menyinggung tentang kisah pembantaian di Betlehem ini. Informasi ini berasal dari Ambrosius Makrobius pada abad ke-5 Masehi. Walaupun demikian, catatan ini kurang solid jika dijadikan alat peneguhan bagi kisah Alkitab. Mengapa demikan? Karena jarak waktu peristiwa dan penulisan sangat panjang (sekitar 4 abad). Poin 1-4 di atas sudah cukup sebagai penjelasan rasional mengapa kisah tragis di Betlehem tidak dicatat oleh penulis kuno lain di luar Alkitab. Soli Deo Gloria.