Sudah bukan sebuah rahasia lagi apabila sebagian orang Kristen bersikap negatif terhadap pengajaran doktrinal. Ada banyak alasan di balik sikap ini. Salah satunya adalah doktrin dianggap sebagai pemecah-belah gereja. Sejarah gereja menunjukkan berbagai catatan kelam tentang pertikaian antar gereja gara-gara perbedaan doktrin. Beberapa pertikaian itu bahkan terlihat begitu memprihatinkan. Masih perlukah kita mempersoalkan doktrin? Bukankah sebagai tubuh Kristus kita sebaiknya belajar menerima gereja lain apa adanya? Untuk apa mengorbankan kesatuan demi pengajaran?
Dalam taraf tertentu sikap negatif di atas memang bisa dimengerti. Sebagian orang Kristen telah menggunjingkan hal-hal yang tidak terlalu penting. Perbedaan yang superfisial dibesar-besarkan. Pertentangan yang muncul pun begitu buruk di mata dunia. Untuk orang-orang seperti itu dan dalam konteks perbedaan yang tidak penting, saya akan mengutip dua nasihat Paulus: “Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya” (Rm 14:1) dan “Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (Rm 15:7).
Walaupun demikian, perbedaan doktrin tetap perlu mendapat sorotan apabila menyentuh ajaran yang mendasar dan jelas-jelas keliru. Alkitab sendiri memberikan dukungan yang memadai bagi sikap seperti ini. Kesatuan orang Kristen bukan hanya bersifat praktis, melainkan theologis. Kesatuan juga mencakup pengajaran, sebagaimana diungkapkan oleh Paulus: “sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah” (Ef 4:13). Di tempat lain, Rasul Yohanes menegaskan bahwa mereka yang tidak mengakui doktrin-doktrin dasar tertentu bukanlah bagian dari gereja. Golongan ini termasuk mereka yang tidak mengakui bahwa Yesus adalah Mesias (1 Yoh 2:22; 5:1), inkarnasi Kristus (1 Yoh 4:2), maupun keilahian-Nya (1 Yoh 5:5, 10).
Mereka yang anti doktrin dan mengagungkan kesatuan gerejawi yang semu sebenarnya dalam taraf tertentu juga pasti memiliki batasan doktrinal bagi kesatuan yang mereka pegang. Tanpa batasan sama sekali, maka mereka juga harus menerima berbagai sekte dan bidat Kristen yang pernah ada. Apakah mereka akan menganggap Mormonisme dan Saksi Yehuwah sebagai bagian dari tubuh Kristus? Bagaimana pula dengan beragam sekte aneh yang mengajarkan seks bebas atau bunuh diri massal? Kesatuan tanpa batasan doktrinal adalah mustahil untuk diwujudkan. Jadi, yang layak dipersoalkan adalah batasannya. Sebagian orang memberi batasan yang terlalu longgar, sedangkan yang lain terlalu sempit. Saya sendiri memegang batasan doktrinal yang identik dengan Injil Yesus Kristus: “mempercayai kematian, kebangkitan, dan ketuhanan Yesus Kristus” (Rm 10:9-10). Kalimat yang pendek ini mengandung dan mengasumsikan beragam gagasan yang mendalam, misalnya inkarnasi Kristus dan otoritas kitab suci.
Selain ajaran yang mendasar, kita juga perlu menyoroti ajaran yang jelas-jelas menyimpang. Tentu saja batasan “jelas” akan berlainan bagi setiap orang, karena Alkitab memerlukan penafsiran. Bagaimanapun, dalam banyak hal kejelasan itu tidak perlu dipersoalkan karena sudah benar-benar jelas. Sebagai contoh, penggunaan bahasa roh di dalam ibadah. Dalam 1 Korintus 14:27-28 Paulus sudah menerangkan secara detil tentang aturan penggunaan bahasa roh: (1) maksimal tiga orang; (2) dilakukan secara bergantian; (3) harus ada penerjemahnya. Jika salah satu atau semua persyaratan ini tidak terpenuhi, orang yang memiliki bahasa roh sebaiknya hanya menggunakannya sebagai doa pribadi antara dia dengan Allah. Orang lain tidak perlu mendengar apa yang dia katakan.
Contoh lain adalah penggunaan minyak dalam kesembuhan. Denominasi tertentu mengajarkan bahwa minyak merupakan kebutuhan mutlak dalam kesembuhan. Teks yang dijadikan dukungan adalah Yakobus 5:14. Pandangan semacam ini sudah pasti keliru. Kata “minyak” hanya muncul sekali di Yakobus 5:13-20. Yang sering diulang-ulang adalah doa dan iman. Bahkan efektivitas doa diterangkan secara eksplisit tanpa melibatkan minyak di dalamnya: “Doa orang yang benar jika dengan yakin didoakan sangat besar kuasanya” (ayat 16b). Di luar teks ini, kita juga bisa menunjukkan bahwa Yesus Kristus maupun para rasul tidak pernah dikisahkan menyembuhkan seseorang dengan media minyak. Begitu banyak kisah mujizat dalam Alkitab yang terjadi tanpa melibatkan minyak. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengajarkan bahwa kesembuhan baru akan terjadi jika menggunakan minyak?
Poin terakhir yang saya ingin kritisi adalah dikotomi palsu yang populer di kalangan orang Kristen. Mereka menganggap bahwa mempersoalkan perbedaan doktrin identik dengan memecah-belah gereja. Ini cara pandang yang terlalu picik. Berbeda pendapat itu wajar. Ketidaksetujuan tidak selalu berarti perpecahan. Bukankah kesatuan justru akan semakin bermakna jika dilakukan di tengah perbedaan? Mereka yang takut dengan perbedaan dan perdebatan biasanya adalah mereka yang tidak memiliki kebenaran. Jika kita meyakini bahwa pandangan yang kita anut adalah benar, mengapa kita perlu takut untuk mengemukakan dan membicarakannya dengan orang lain? Soli Deo Gloria.