Kemah Orang Kedar
Nama ‘Kedar’ hanya muncul 12 kali di Alkitab. Kata ‘Kedar’ pertama kali muncul sebagai salah satu dari beberapa anak laki-laki Ismael, yaitu anak dari Abraham dan Hagar, gundik Sara (Kej. 25:13; 1 Taw. 1:29). Dengan kata lain, Kedar adalah cucu Abraham dari gundiknya, Hagar.
Orang-orang Kedar terkenal sebagai kaum yang tinggal di padang gurun. Mereka beternak kambing, domba dan unta (bdg. Yer. 49:28-29). Rumah mereka adalah tenda dan mereka tinggal di tenda-tenda yang terbuat dari rambut kambing hitam. Mereka menyebutnya dengan beit sha’ar, yang artinya rumah rambut. Bahan tenda mereka yang terbuat dari rambut kambing hitam memang merupakan bahan yang sangat kuat untuk membuat tenda yang akan melindungi mereka dari hawa dingin serta angin padang gurun dan panas teriknya matahari. Bahan rambut kambing ini akan menyerap panas dan pada saat yang berlainan akan tahan air di musim hujan.
Yang menarik adalah, kata Kedar berasal dari akar kata qadar yang jika diartikan adalah ‘hitam atau gelap’ (lihat : Mikha 3:6; Yoel 2:10, dll).
Tirai-tirai Orang Salma
Kemunculan kata yang beriringan antara ‘kemah dan tirai’ muncul membentuk paralelisme yang beberapa kali muncul di bagian lain Alkitab, seperti misalnya di Yer 4:20; 10:20; 49:29; Yes. 54:2; demikian pula dalam Kidung 1:5b. Frase ‘seperti kemah orang Kedar’ dan ‘seperti tirai orang Salma’ muncul beriringan membentuk simile dengan makna tertentu.
Yang menjadi masalah adalah penafsiran kata Ibrani ‘selomoh’. Penafsiran tradisioal kuno memahami kata itu sebagai bentuk proper name untuk merujuk pada Salomo sehingga terjemahan yang muncul adalah ‘seperti tirai-tirai Salomo’. Yang menarik adalah versi bahasa Indonesia sendiri (ITB) yang menerjemahkannya dengan ‘tirai-tirai orang Salma’. Terjemahan bahasa Indonesia lainnya (Bahasa Indonesia Sehari-hari) memakai kalimat ‘…tapi indah seperti tirai-tirai di istana Salomo’. Jadi terjemahan bahasa Indonesia kali ini membedakan antara ‘tirai-tirai Salomo’ dan ‘tirai-tirai orang Salma’.
Darimanakah asal usul kemunculan perbedaan antara pemakaian kata ‘Salomo’ dan ‘orang Salma’ ini dapat muncul? Setelah menelusuri (dalam rentang waktu yang singkat sehingga memang dibutuhkan penelitian lebih lanjut), adalah Julius Wellhausen (dan beberapa sarjana sejamannya) yang menawarkan ide tentang pergantian terjemahan dari ‘Salomo’ menjadi ‘orang Salma’. Salah satu alasan pemikirannya (dan dikembangkan oleh sarjana-sarjana lainnya) adalah kesamaan ide tentang suku bangsa, yaitu dengan orang Kedar yang merujuk pada suku tertentu sehingga kata selomoh lebih cocok untuk diterjemahkan juga dengan orang Salma (salah satu suku bangsa Nabatean yang muncul di tulisan Pliny dan juga tercatat di Neh. 7:46-60 sebagai salah satu asal muasal budak-budak di tempat ibadah). Namun memang yang harus dipertimbangkan bahwa walaupun penafsiran parael antara Kedar dan Salma terasa lebih cocok, namun versi-versi awal tidak ada yang menerjemahkannya dengan ‘tirai orang Salmo’, melainkan ‘tirai Salomo’.
Jadi, manakah yang lebih cocok dengan konteks ucapan dalam Kidung Agung 1:5? Salah satu hal yang paling menentukan rekontruksi bagian ayat 5 adalah memahami ayat selanjutnya (ay. 6): Janganlah kamu perhatikan bahwa aku hitam, karena terik matahari membakar aku. Putera-putera ibuku marah kepadaku, aku dijadikan mereka penjaga kebun-kebun anggur; kebun anggurku sendiri tak kujaga.
Memang ada yang menafsirkan bahwa si perempuan yang mengucapkan ‘Memang htam aku tetapi cantik’ adalah seorang wanita yang berkulit gelap, mungkin berasal dari garis keturunan Afrika. Namun ayat 6 di atas memberikan jawaban bahwa si perempuan itu berkulit gelap karena terkena banyak sinar matahari. Kenapa ia terkena banyak sinar matahari? Karena dia harus bekerja di kebun anggur (udara terbuka) karena saudara-sudara lelakinya memarahi dia sehingga dia dihukum bekerja di bawah matahari.
Jika sekarang di era modern ini, warna kulit bukan merupakan masalah besar. Di dunia timur dekat kuno dipahami jika seseorang, apalagi seorang wanita, hingga harus mengalami kulit yang gelap gara-gara terkena sinar matahari, maka wanita itu dikategorikan kelas menengah ke bawah. Seorang wanita tidak akan mungkin bekerja menghabiskan banyak waktunya di bawah sinar matahari kecuali jika dia berasal dari kelas bawah. Wanita kelas atas tidak akan mungkin bekerja di bawah sinar matahari, seandainya pun harus, dia akan mempunyai cukup pakaian untuk menutupi tubuhnya dari sinar matahari.
Hitamnya si perempuan dipahami bukan merupaka tindakan yang berhubungan dengan rasialisme melainkan lebih ke arah status sosialnya di masyarakat. Demikian pula dengan ucapannya yang mengatakan ‘memang hitam aku, tetapi (dan) cantik’ ; itu bukanlah merupakan upaya membela diri bahwa walaupun dia hitam tetapi dia tetap cantik. Tidak! Pola pemikirannya adalah dia sedang mengatakan bahwa kulit hitamnya (yang didapatkan karena bekerja di bawah terik matahari) adalah mirip dengan kemah orag Kedar (yang dipahami sebagai bahasa hiperbola) namun dia tetap cantik, secantik tirai-tirai di istana raja Salomo.