
Sebagaimana sudah diterangkan dalam khotbah sebelumnya, setiap komunitas pasti memiliki gaya hidup yang khas. Perilaku ini bersumber dari identitas dan nilai-nilai kehidupan yang dipegang oleh komunitas tersebut. Siapa mereka akan menentukan apa yang mereka lakukan.
Teks kita hari ini masih menyinggung tentang topik yang sama. Mereka yang sungguh-sungguh beriman kepada Yesus Kristus adalah manusia baru yang terus-menerus menanggalkan manusia lamanya (4:20-24). Mereka tidak lagi termasuk golongan orang-orang yang tidak percaya (4:17-19). Perubahan identitas ini seyogyanya juga melahirkan perilaku yang baru.
Ada tindakan-tindakan tertentu yang tidak cocok dengan identitas yang baru itu. Semua tindakan itu perlu dihindari. Nah, apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh anak-anak Tuhan?
Mengeluarkan perkataan yang kotor (ayat 29)
Dalam khotbah sebelumnya kita sudah melihat salah satu pelanggaran berkaitan dengan perkataan, yaitu mengucapkan dusta (4:25). Kali ini Paulus menambahkan perkataan kotor (4:29). Terjemahan “perkataan kotor” tampaknya sedikit membatasi maksud Paulus. Kata Yunani sapros muncul beberapa kali dalam kitab-kitab Injil. Kata ini digunakan untuk buah yang tidak baik (Mat. 7:17-18; 12:33; Luk. 6:43) atau ikan yang tidak baik (Mat. 13:48). Dalam kaitan dengan buah, yang dimaksud mungkin busuk atau asam. Dalam kaitan dengan ikan, maksudnya mungkin ikan yang mati atau kurang bernilai. Berdasarkan penggunaan seperti ini, ungkapan logos sapros (LAI:TB “perkataan kotor”) di Efesus 4:29 sebaiknya dipahami sebagai rujukan pada segala macam perkataan yang tidak berguna. Bukan hanya kutukan atau umpatan. Bukan saja gurauan yang mesum atau kurang ajar. Segala sesuatu yang tidak bermanfaat bagi orang lain! Poin ini akan semakin jelas dalam uraian selanjutnya.
Sama seperti di bagian sebelumnya, Paulus tidak hanya mengajarkan orang-oirang Kristen untuk berhenti melakukan yang jahat, tetapi juga melakukan yang baik. Tidak cukup untuk berhenti berdusta, tetapi mulai mengatakan kebenaran (4:25). Tidak cukup untuk berhenti mencuri, tetapi mulai bekerja untuk membantu orang lain (4:28). Tidak cukup untuk berhenti mengucapkan perkataan yang tidak berguna, tetapi juga belajar mengeluarkan perkataan yang baik (4:29).
Perkataan yang baik ini ditandai dengan beberapa hal. Pertama, untuk membangun (pros oikodomÄ“n, ayat 29b). Paulus sudah beberapa kali menyinggung tentang pembangunan tubuh Kristus di surat ini (2:21; 4:12, 16). Sangat penting bagi seluruh jemaat untuk bertumbuh bersama-sama ke arah Kristus. Ada banyak sarana yang Allah sudah sediakan untuk pertumbuhan umat-Nya, misalnya para rohaniwan (4:11-12). Namun, seluruh orang percaya juga dapat berperan dalam proyek rohani ini, yaitu melalui perkataan kita (4:29b). Perkataan yang diwarnai dengan kebenaran dan kasih (4:15, lit. “mengatakan kebenaran di dalam kasih”) bermanfaat bagi pertumbuhan rohani seluruh anggota tubuh Kristus (4:15-16).
Tanda yang kedua adalah bermanfaat (tÄ“s chreias, ayat 29b). LAI:TB memilih menerjemahkan kata ini dengan “di mana perlu”. Sebuah pilihan terjemahan yang sudah cukup baik. Secara hurufiah kata ini memang berarti “kebutuhan atau keperluan”.
Bagaimana cara kita membangun orang lain melalui perkataan? Yaitu melalui perkataan yang sesuai dengan keperluan mereka. Ada banyak orang di sekitar kita yang membutuhkan kata-kata yang penuh kasih. Kata-kata yang mengoreksi tanpa menghakimi, yang mendorong tanpa memaksa, yang mengarahkan tanpa menggurui. Bahkan sekadar mengucapkan salam dan menanyakan kabar sudah sangat bernilai bagi sebagian orang.
Perkataan yang baik juga ditandai dengan kasih karunia (ayat 29b). Kehidupan Kristiani dipenuhi dengan kasih karunia (charis). Pemilihan sejak kekal di dalam Kristus merupakan kasih karunia Allah (1:6-7). Kita diselamatkan oleh kasih karunia (2:5, 7-8). Karunia khusus dalam pelayanan juga termasuk kasih karunia (3:7-8). Bahkan setiap orang percaya sudah dipercayakan kasih karunia tertentu (4:7). Seharusnya tidak sukar bagi orang sudah menerima kasih karunia untuk mengucapkan kata-kata yang menunjukkan kasih karunia Allah (4:29b).
Perkataan kita bukan hanya membangun dan menutupi kebutuhan orang lain. Perkataan itu juga harus diwarnai dengan Injil kasih karunia. Apapun yang kita ucapkan seharusnya selaras dengan nilai-nilai Injil. Tidak ada kesombongan. Tidak ada penghakiman. Dipenuhi dengan belas-kasihan. Ada penerimaan terhadap kelemahan orang lain. Ada kemurahan untuk menolong orang lain menjadi serupa dengan Kristus.
Mendukakan Roh Kudus (ayat 30)
Ayat ini merupakan salah satu teks terpenting tentang kepribadian Roh Kudus. Berbeda dengan pandangan sebagian orang yang menganggap Roh Kudus hanya sebagai kuasa, ayat ini mengungkapkan bahwa Dia adalah Pribadi. Jika Dia hanyalah sebuah kuasa, Dia tidak memiliki perasaan, sehingga tidak bisa didukakan. Jika Dia bisa didukakan, itu menunjukkan bahwa Dia adalah Pribadi.
Mendukakan Roh Kudus di sini dikaitkan dengan kebenaran lain yang penting juga, yaitu Roh Kudus sebagai meterai atas orang percaya sampai akhir zaman (ayat 30b “yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan”). Roh Kudus sebagai meterai sebenarnya sudah disinggung di surat ini. Pada saat seseorang percaya kepada berita Injil, dia sudah dimeteraikan dengan Roh Kudus (1:13). Dia menjadi milik Allah. Dia memiliki jaminan yang pasti sampai pada akhirnya (1:14). Inilah yang membedakan orang percaya dengan yang tidak percaya.
Keadaan ini seharusnya disyukuri dan dihidupi oleh orang-orang percaya. Melalui karya Roh Kudus, kita sudah dikarunia hikmat dan wahyu untuk mengenal Allah (21:17). Roh Kudus akan menguatkan dan meneguhkan kita (3:16). Di dalam Roh kita memiliki kesatuan yang teguh dengan sesama orang percaya (4:3-4). Jika status kita sudah berubah, jika keselamatan kita sudah pasti, dan jika pimpinan Roh Kudus terus nyata dalam hidup kita, kita sepatutnya hidup sesuai dengan keadaan tersebut.
Semua dosa sosial yang disebutkan sejak ayat 25 tidak cocok dengan fakta bahwa kita sudah dimeteraikan oleh Roh Kudus. Bukankah seharusnya tidak ada dusta di antara kita? Bukankah tidak patut ada pencurian di antara sesama orang percaya? Bukankah tidak pada tempatnya apabila kita menyimpan kemarahan sampai berhari-hari? Bukankah sangat tidak pantas apabila kita saling mengucapkan perkataan yang kotor?
Menyimpan kepahitan dan kebencian (ayat 31-32)
Para penafsir berbeda pendapat tentang fungsi dua ayat terakhir ini. Sebagian menganggap ini sebagai konklusi dari bagian-bagian sebelumnya, karena beberapa ide yang sudah disinggung muncul lagi di bagian ini (misalnya kemarahan dan fitnah). Sebagian yang lain memandang ayat 31-32 sebagai bagian yang baru. Alasannya adalah kemunculan ide tentang pengampunan yang belum pernah dibahas sebelumnya.
Dalam khotbah ini kita mengadopsi opsi terakhir. Fokus Paulus di dalam bagian ini tampaknya terletak pada pengampunan. Lagipula, seandainya bagian ini adalah kesimpulan, Paulus mungkin akan menggunakan kata “karena itu” (oun) di awal ayat 31. Jika opsi ini diambil, itu berarti ayat 31-32 memberikan poin tambahan.
Beberapa kata yang digunakan di sini memiliki arti yang saling berdekatan. Beberapa bahkan muncul bersamaan di tempat lain (Kol. 3:8). Satu-satunya yang memerlukan penjelasan tambahan adalah “pertikaian” (kraugÄ“). Hampir semua versi Inggris secara tepat menerjemahkan kata ini dengan “teriakan” atau “suara yang keras”.
Pada dirinya sendiri, kata ini tidaklah negatif (Mat. 25:6; Lk. 1:42; Ibr. 5:7; Why. 21:4). Artinya hanya merujuk pada suara yang lebih keras daripada biasanya. Namun, dalam konteks kepahitan, kegeraman, dan kemarahan (seperti fi Ef. 4:32), arti kata ini pasti negatif. Suara keras yang dimaksud mungkin semacam umpatan atau bentakan.
Seperti sebelumnya, tidak cukup bagi orang percaya hanya berhenti dari suatu kejahatan. Kita juga harus melakukan tindakan sebaliknya. Dari negatif menjadi positif, bukan sekadar netral.
Sisi positif ini diwarnai dengan beberapa hal. Yang pertama adalah keramahan (ayat 32a, chrÄ“stos, LAI:TB). Sayangnya terjemahan ini bisa memberikan kesan yang keliru. Semua pemunculan kata chrÄ“stos dalam Alkitab memiliki arti “baik” (misalnya Lk. 6:35). Kata ini beberapa kali digunakan untuk kebaikan Tuhan atas kita (Rm. 2:4; 1Pet. 2:3). Jadi, kita dituntut untuk menjadi baik, bukan sekadar ramah. Benar-benar menebarkan kebaikan kepada orang lain.
Yang kedua adalah penuh kasih mesra (ayat 32b, eusplanchnoi). Hampir semua versi Inggris memilih terjemahan “hati yang lembut” (tenderhearted). Arti kata Yunani yang hanya muncul dua kali di seluruh Perjanjian Baru ini (Ef. 4:32 dan 1Pet. 3:8) lebih ke arah belas kasihan. Dalam tulisan religius di luar Alkitab, kata ini dihubungkan dengan sifat Allah sabar dan berkemurahan terhadap para pendosa (Doa Manasye 12:7). Arti ini juga cocok dengan konteks Efesus 4:31-32. Menyikapi orang lain yang bersalah kepada kita bukanlah dengan menyimpan kepahitan atau kegeraman maupun mengeluarkan makian (ayat 31), melainkan dengan menunjukkan kebaikan dan belas kasihan (ayat 32).
Dua poin di atas – kebaikan dan belas kasihan – akan sukar ditunjukkan apabila tidak ada pengampunan (ayat 32c, charizomenoi). Pengampunan sebenarnya tidak terlalu sukar untuk dilakukan selama kita mengingat apa yang telah dilakukan oleh Allah kepada kita. Allah sudah mengampuni kita (ayat 32c; Kol. 3:13). Kalau kita terus mengingat kesalahan orang maka dendam yang akan menguasai hati kita. Biarlah di penghujung tahun ini kita membereskan semua kepahitan dalam hati kita. Soli Deo Gloria.