Mengapa orang mudah tergiur dengan barang-barang yang palsu? Ada banyak alasan. Mungkin harganya murah. Mungkin sekilas kualitasnya mirip dengan yang asli. Mungkin penjualnya sangat fasih berbicara. Apapun alasannya, harus diakui bahwa barang-barang palsu kadangkala memang memiliki daya tarik tersendiri.
Bahaya yang sama dapat terjadi dalam kekristenan. Ada beragam “Kristus” yang diberitakan: dari Kristus yang identik dengan sinterklas (teologi kemakmuran) sampai Kristus yang tersembunyi dalam semua agama (pluralisme relijius). Semua diberitakan dengan cara-cara tertentu yang sangat menggiurkan.
Persoalan inilah yang terjadi di jemaat Korintus. Para rasul palsu memberitakan “Kristus yang lain” di dalam “injil yang lain” melalui “roh yang lain” pula (11:4). Dengan segala kelicikan, mereka berusaha membanggakan diri sendiri (5:12; 10:7, 12-18; 11:12) dan merendahkan pelayanan Paulus (11:5; 12:11). Mereka menyamarkan diri mereka sebagai rasul-rasul Kristus (11:13-15). Hasilnya? Sebagian jemaat mempercayai kepalsuan yang ditawarkan!
Situasi ini mendorong Paulus untuk mengirimkan surat kepada mereka. Banyak hal dia sampaikan di dalamnya. Namun, hari ini kita hanya akan berfokus pada 11:1-12. Ada tiga respons yang dia tunjukkan dalam bagian ini.
Menunjukkan kecemburuan ilahi (ayat 1-4)
Semua yang hendak dikatakan di ayat 1-12 merupakan sebuah “kesombongan”. Maksudnya, Paulus terpaksa membanggakan diri walaupun dia tahu sikap seperti itu adalah bodoh dan tidak berarti (11:1; 3:1; 5:12; 10:12; bdk. Rm. 3:27). Tindakan ini diambil karena jemaat Korintus yang memaksa dia melakukannya (12:11 “Sungguh aku telah menjadi bodoh; tetapi kamu yang memaksa aku”). Mereka telah begitu cepat termakan dengan kebohongan dalam kesombongan para rasul palsu. Di tengah keadaan seperti inilah Paulus menganggap bahwa “kesombongannya” mungkin akan bermanfaat bagi jemaat Korintus: menyelamatkan mereka dari kesombongan para rasul palsu. Kesombongan mereka tidak sesuai dengan kenyataan dan dilandasi oleh motif tertentu untuk kepentingan diri sendiri.
Tidak demikian dengan “kesombongan” Paulus. Apa yang dia sampaikan tidak melebihi kenyataan (11:13; 12:11-12). Motif di baliknya pun tulus. Dia cemburu dengan cemburu ilahi (11:2, zēlō gar hymas theou zēlō; lit. “karena aku cemburu kepada kalian dengan kecemburuan Allah”). Penggunaan istilah “kecemburuan Allah” (NLT) menyiratkan bahwa tidak semua kecemburuan (zēlos) dapat dibenarkan. Ada kecemburuan yang menjurus pada iri hati. Ini tidak dapat dibenarkan, karena menginginkan apa yang bukan menjadi haknya. Kecemburuan yang benar berhubungan dengan apa yang memang menjadi hak seseorang dan didorong oleh motif yang baik (demi kebaikan orang lain).
Salah satu yang dibanggakan oleh Paulus adalah posisinya sebagai bapa bagi jemaat Korintus. Dalam surat sebelumnya, dia sudah menegaskan hal ini. Walaupun mereka memiliki begitu banyak guru yang pernah melayani di sana, bapa rohani mereka tetaplah Paulus (1Kor. 4:14-15). Dia yang pertama-tama memberitakan Injil kepada mereka (Kis. 18).
Paulus menggunakan sebuah metafora dari budaya perkawinan Yahudi. Ibarat seorang ayah, Paulus sudah mempertunangkan jemaat Korintus kepada Kristus (11:2). Pertunangan pada masa kuno jauh lebih serius dan mengikat daripada di zaman sekarang di kebanyakan budaya. Dalam status pertunangan, seorang laki-laki dan perempuan sudah dipandang sebagai pasangan suami-isteri. Hanya saja, mereka tidak tinggal bersama dan belum boleh melakukan hubungan seksual. Nah, seorang ayah bertanggung-jawab untuk memastikan bahwa anak gadisnya tetap perawan. Dia perlu mengingatkan anak gadisnya terus-menerus bahwa dia sudah dipertunangkan dengan “satu laki-laki” (11:2). Tidak boleh ada cinta segitiga atau perselingkuhan. Tidak boleh ada kontak seksual dengan siapapun.
Begitu pula dengan jemaat sebagai tunangan Kristus. Mereka perlu menjaga diri agar tetap murni. Tugas ini seharusnya tidak terlau sukar untuk dilakukan. Jemaat memang sudah dikuduskan di dalam Kristus. Penebusan Kristus dimaksudkan “untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela” (Ef. 5:26-27).
Walaupun demikian, jemaat tetap perlu waspada. Para rasul palsu adalah para pelayan Iblis (11:13-15), si ular tua yang memperdayai Hawa (Kej. 3). Mereka sangat licik (11:3). Lihai dalam tipu daya. Pura-pura menawarkan sesuatu yang indah, padahal di dalamnya ada kematian.
Salah satu kelicikan mereka terlihat dari upaya untuk menjauhkan jemaat Korintus dari kesetiaan mereka yang sejati kepada Kristus. Terjemahan “dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus” (apo tēs haplotētos kai tēs hagnotētos tēs eis ton Christon) telah diterjemahkan secara variatif dalam berbagai versi. Di antara semua opsi yang ada, terjemahan terbaik adalah “dari kesederhanaan dan kemurnian kalian kepada Kristus” (ASV; NASB menambahkan kata “pengabdian/devosi”). Dua hal ini – yaitu kesederhanaan dan kemurnian – merupakan karakteristik penting dari ajaran yang benar.
Para rasul menawarkan sesuatu yang sekilas tambah lebih berkilau. Mereka menyebut diri mereka “tiada tara” (bdk. 11:5). Mereka sangat mungkin berkanjang pada pengalaman-pengalaman mistis yang terlihat begitu supranatural (bdk. “roh yang lain” di 4; 12:1-6). Kesombongan mereka telah menyilaukan mata jemaat Korintus. Ajaran mereka penuh dengan motif buruk (ayat 13 “pekerja-pekerja curang”). Mereka hanya memperbudak, menghisap, mengambil keuntungan, dan menampar jemaat (ayat 20). Tanpa jemu-jemu mereka menjelek-jelekkan Paulus. Mereka berusaha merusak reputasi Paulus.
Dibandingkan dengan Paulus, para rasul palsu itu memang terlihat ‘wah”. Sekilas lebih superior. Pelayanan Paulus sendiri diwarnai dengan berbagai penderitaan, bahaya, dan penolakan (11:23-28). Demikian pula dengan berita yang dibawa oleh para rasul palsu. Terlihat lebih kompleks dan spektakuler daripada Injil Yesus Kristus yang diberitakan oleh Paulus. Berita Injil terkesan sederhana.
Menunjukkan kelebihan dari sisi pengetahuan (ayat 5-6)
Kemegahan ini, sekali lagi, hanyalah bagian dari strategi persuasi. Paulus pada dasarnya tidak menyukai kemegahan. Ini hanyalah kebodohan belaka. Bagaimanapun, kali ini dia terpaksa melakukannya untuk menunjukkan kebodohan para rasul palsu dan jemaat Korintus yang mempercayai mereka.
Paulus membedakan dirinya dari para rasul palsu itu dalam hal pengetahuan (gnōsis, ayat 6). Pembelaan seperti ini jenius dan sangat relevan. Rasul-rasul palsu mengandalkan “pengetahuan” secara mistis. Mereka kemungkinan besar membawa pemikiran gnostis dalam ajaran mereka. Dalam aliran ini orang yang hebat adalah yang menerima pengetahuan (“wahyu”) secara khusus. Pengetahuan tersebut tidak untuk semua orang. Hanya mereka yang sudah mendapatkan pencerahan ilahi secara mistis.
Pengetahuan itu selanjutnya disampaikan kepada orang-orang lain dengan retorika tertentu yang sesuai. Tidak jarang mereka menggabungkan retorika Yunai-Romawi dengan sentuhan-sentuhan supranatural tertentu sebagai media untuk meyakinkan orang lain. Bagi jemaat yang tidak memahami kedalaman Injil Yesus Kristus, pemberitaan rasul palsu jelas terlihat lebih heboh dan menarik.
Sikap ini berbeda dengan Paulus. Dia tidak mengandalkan retorika duniawi, tetapi persandaran pada Roh Kudus (1Kor. 2:1-5). Dari sisi cara penyampaian, dia mungkin tidak sebagus para rasul palsu. Namun, dari sisi isi penyampaian, Paulus lebih unggul. Paulus berkata: “kami telah menyatakannya kepada kamu pada segala waktu dan di dalam segala hal” (ayat 6b, LAI:TB). Secara hurufiah, bagian ini berbunyi: “di dalam setiap cara kami telah menunjukkan secara jelas segala sesuatu kepada kalian”. Dengan kata lain, pengetahuan yang dia miliki dan beritakan bisa diverifikasi kebenarannya. Ini bukan pengetahuan mistis bagi segelintir orang tertentu. Semuanya jelas bagi semua orang.
Jemaat Korintus yang merasa diri sok pintar seyogyanya mencari pengetahuan yang seperti ini. Bukan pengetahuan ala gnostis yang sukar diverifikasi dan rentan untuk dimanipulasi. Justru Pauluslah yang terbukti pintar (11:16).
Menunjukkan kasih (ayat 7-12)
Salah satu serangan yang dilancarkan oleh rasul-rasul palsu kepada Paulus berhubungan dengan sikap Paulus yang tidak mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus (11:7). Situasi ini dimanfaatkan sebagai tuduhan bahwa jemaat tidak mengasihi Paulus dan sebaliknya. Relasi dijadikan isu yang sensitif.
Strategi licik ini sangat bisa dipahami, walaupun tidak bisa dibenarkan. Ini adalah tuduhan yang cerdik. Seandainya Paulus adalah rasul sejati, banyak orang pasti akan mendukung pelayanannya. Kenyataannya, dia tidak menerima tunjangan dari jemaat Korintus. Dia harus menghidupi pelayanannya dari pekerjaan tangan sebagai pembuat tenda (lihat 1Kor. 9). Yang menarik, dia justru mau menerima bantuan dari jemaat-jemaat di Makedonia (11:8-9), misalnya jemaat Filipi (bdk. Flp. 1:5-7; 2:25; 4:10-16). Paulus tampaknya kurang mengasihi jemaat Korintus dibandingkan dengan jemaat di wilayah Makedonia.
Benarkah demikian? Sama sekali tidak! Itu hanyalah tuduhan palsu. Dengan lantang dia memberikan bantahan: “Mengapa tidak? Apakah karena aku tidak mengasihi kamu? Allah mengetahuinya” (ayat 11).
Apakah pendirian Paulus akhirnya berubah sesudah dituduh demikian? Apakah dia membiarkan para rasul palsu mendikte pelayanannya? Apakah dia lantas mau mengambil tunjangan dari jemaat Korintus supaya dia sama dengan para rasul itu? Tidak juga! Dia tidak mau disamakan dengan para rasul palsu itu (ayat 12). Apa yang dia lakukan bukan dilandasi pada kebencian atau ketidakpercayaan terhadap jemaat Korintus. Pertimbangannya hanyalah kemajuan Injil. Jika di Korintus Injil bisa lebih luas diberitakan tanpa tunjangan dari jemaat, mengapa Paulus harus mengorbankan Injil demi tunjangan? Mengapa dia harus membuang tujuan (Injil) demi sarana (tunjangan)? Itulah yang seharusnya dilakukan oleh para pelayan Kristus yang sejati: mementingkan Injil daripada diri sendiri, kepentingan kerajaan Allah daripada keuntungan diri sendiri. Soli Deo Gloria.