Kebaktian memang hanya untuk TUHAN, tetapi bukan cuma tentang Tuhan. Kebaktian berbicara tentang kebersamaan. Bukan hanya dengan Tuhan, melainkan dengan sesama umat TUHAN. Perjumpaan personal dengan Tuhan seharusnya menguatkan ikatan komunal dengan umat TUHAN. Yang satu tidak bisa dipisahkan dengan yang lain. Yang satu tidak menggantikan yang lain.
Allah tidak menjadikan kita sebagai superhero atau single fighter. Kita membutuhkan sesama orang percaya. Pilihan bagi orang Kristen hanya ada dua: bertumbuh bersama atau mati sendirian. Tidak ada jalan tengah.
Mengapa ibadah bersama sangat penting? Apa yang seharusnya dilakukan di dalam ibadah bersama?
Pentingnya ibadah bersama
Perkembangan teknologi yang luar biasa merupakan berkat sekaligus kutuk. Berkat, karena firman Tuhan dapat disebarkan secara efisien dan tanpa batas. Orang bisa mendengarkan khotbah di rumah. Kutuk, karena beberapa orang merasa tidak memerlukan perjumpaan personal dengan hamba Tuhan maupun sesama orang percaya. Ibadah hanya dipahami secara vertikal – personal (Allah – diri sendiri), tanpa mempedulikan aspek horizontal – komunal (sesama – komunitas).
Teks kita hari ini akan menunjukkan bahwa “ibadah TV” atau “ibadah internet” bukanlah pengganti ibadah bersama secara tatap muka. Ibadah semacam itu hanyalah supplemen (makanan tambahan), bukan makanan utama bagi kerohanian kita.
Ada dua alasan penting mengapa ibadah bersama tidak tergantikan oleh yang lain. Yang pertama, ibadah bersama bersumber dari penebusan Kristus yang sempurna. Jika kita membaca dengan teliti, kita akan mendapati bahwa teks hari ini merupakan salah satu penerapan dari ayat 19-21 tentang Yesus Kristus sebagai Imam Besar Agung yang sudah mempersembahkan korban yang sempurna kepada Allah bagi kita. Kebenaran yang agung ini lantas diikuti oleh beberapa kalimat perintah, yang dalam terjemahan LAI:TB ditandai dengan frasa “Marilah kita…” (ayat 22, 23, 24). Nah, teks kita hari ini merupakan salah satu penerapan dari doktrin yang agung tadi.
Secara lebih spesifik, kita patut memahami semua ini dalam konteks perjanjian. Imam besar merupakan simbol mediator antara Allah dan umat-Nya. Sebagaimana para imam besar Israel dahulu mempersembahkan korban bagi seluruh umat Allah, demikian pula Kristus Yesus dengan karya penebusan-Nya. Korban itu bukan hanya tentang “Dia dan saya”, melainkan “Dia dan kita”. Bukan hanya setiap kita secara individual, tetapi semua kita secara komunal. Dengan kata lain, ibadah bersama mengingatkan kita bahwa kita adalah satu umat perjanjian yang diwakili oleh Imam Besar Agung kita, Yesus Kristus.
Yang kedua, ibadah bersama merupakan sumber kekuatan bagi kita. Teks hari ini tidak boleh diceraikan dari situasi riil yang dihadapi oleh penerima surat. Mereka sedang menghadapi dua bahaya sekaligus yang saling berkaitan: ajaran sesat dan penganiayaan. Orang-orang Yahudi berusaha menarik mereka kembali pada agama yang lama. Upaya ini sangat mungkin disertai dengan tekanan dan penganiayaan (10:32-34). Akibatnya, beberapa orang sudah mulai meninggalkan persekutuan (10:25). Mereka perlu diberi kecaman dan peringatan yang sangat keras tentang kemurtadan (10:26-31).
Di tengah situasi seperti ini, Allah sudah menyediakan sebuah sarana anugerah untuk menguatkan orang percaya. Sarana ini adalah persekutuan antar orang percaya. Persekutuan yang saling menguatkan.
Bukan kebetulan apabila nasihat untuk “teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita” (ayat 23) langsung diikuti dengan nasihat untuk saling bersekutu dan menguatkan (ayat 24). Artinya, orang Kristen tidak mungkin bisa berpegang teguh pada pengharapan apabila mereka berjuang sendirian. Lebih menarik lagi, tambahan keterangan “sebab Ia, yang menjanjikannya, setia” di akhir ayat 23 tetap tidak meniadakan nilai penting persekutuan antar orang percaya di ayat 24-25. Dengan kata lain, kesetiaan Allah merupakan pondasi pengharapan, tetapi kekuatan untuk terus berharap dianugerahkan oleh Allah melalui persekutuan antar orang percaya.
Ibadah yang menguatkan
Semua ibadah bersama pasti menguatkan. Perjumpaan dengan Allah pasti mengubahkan dan menyegarkan. Dia bekerja melalui pujian yang dinaikkan, doa yang dipanjatkan, dan firman Tuhan yang diberitakan.
Walaupun demikian, ibadah bersama seyogyanya tidak dibatasi pada aspek-aspek yang vertikal saja (Allah dan kita). Alkitab secara konsisten mengajarkan bahwa ibadah bersama seharusnya bersifat utuh: vertikal maupun horizontal. Hal yang sama diajarkan di Ibrani 10:24-25.
Penulis Surat Ibrani menasihatkan jemaat untuk saling memperhatikan (ayat 24a). Pemunculan kata “memperhatikan” (katanoōmen) di sini cukup menarik. Kata ini sebelumnya sudah muncul dengan Kristus Yesus sebagai objeknya (“pandanglah kepada Rasul dan Imam Besar yang kita akui, yaitu Yesus”). Kita bukan hanya memandang pada Kristus, tetapi juga saudara-saudara seiman.
Tujuannya adalah untuk “saling mendorong dalam kasih dan pekerjaan baik” (ayat 24b). Terjemahan “mendorong” (paroxysmos) sebenarnya kurang begitu kuat. Kata paroxysmos merujuk pada sebuah tindakan yang bisa menimbulkan reaksi emosional yang besar. Beberapa versi Inggris secara tepat menerjemahkan kata ini dengan “memprovokasi” (KJV/YLT). Dalam arti yang negatif, kata ini berkaitan dengan kemarahan yang besar (Kis. 15:39; LXX Ul. 29:27; Yer. 39:37). Dalam arti yang positif, kata ini berhubungan dengan upaya yang disengaja (intensional) dan sungguh-sungguh (intensif) dalam mendorong orang lain untuk mengasihi dan berbuat baik (Ibr. 10:24). Bukan sekadar memberi teladan. Bukan sekadar memberikan himbauan. Kita harus melakukan apapun yang bisa membuat orang lain tergerak untuk saling mengasihi dan menolong.
Apapun yang kita akan lakukan sebagai sarana provokasi, semua itu dimulai dengan persekutuan bersama. Dalam teks Yunani, frasa “janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita” (mē enkataleipontes tēn episynagōgēn heautōn) merupakan anak kalimat (KJV/NASB/ESV), bukan kalimat yang terpisah dan berdiri sendiri (kontra LAI:TB/NIV). Maksudnya, frasa ini berfungsi sebagai penjelasan terhadap ayat 24. Bagaimana kita bisa saling memperhatikan? Bagaimana kita bisa memprovokasi orang lain secara positif? Jawabannya: melalui ibadah-ibadah bersama. Tanpa pertemuan ibadah yang cukup dan teratur, bagaimana kita bisa mendorong orang lain untuk saling mengasihi dan berbuat baik?
Nasihat ini merupakan kritikan terhadap sebagian penerima surat yang mulai meninggalkan persekutuan. Mereka mungkin ingin memisahkan diri dari label “Kristen” untuk menghindari tekanan dari masyarakat. Mereka mungkin merasa diri sudah cukup kuat untuk memegang teguh pengharapan mereka. Apapun alasan mereka, kebiasaan ini adalah salah. Tatkala persoalan datang, kita justru paling membutuhkan kekuatan dan pertolongan. Allah sudah menyediakan dua hal ini melalui komunitas orang percaya. Adalah ironis apabila sebagian orang Kristen berusaha menghindari ibadah bersama pada saat mereka sedang menghadapi pergumulan yang berat. Mereka ingin menyendiri dengan TUHAN untuk mendapatkan kekuatan. Ini jelas keliru. Ini tipu daya Iblis untuk semakin melemahkan mereka.
Jikalau ada orang yang beribadah bersama tetapi tidak merasa dikuatkan oleh sesamanya, mungkin orang itu sengaja menarik dari orang lain. Kemungkinan lain adalah bentuk ibadah bersama yang terlalu formal dan vertikal. Jemaat tidak diberi waktu dan sarana yang cukup untuk berbincang-bincang dan saling mendoakan satu dengan yang lain. Semua hanya terpaku pada liturgi yang kaku. Tidak ada kebersamaan dalam ibadah bersama. Jemaat hanya berada di tempat yang sama dan melakukan aktivitas relijius yang sama, namun tidak ada kebersamaan di dalamnya. Tidak heran, banyak orang merasa tidak perlu datang ke ibadah bersama untuk mendapatkan pertolongan.
Bagaimana dengan ibadah di gereja Anda? Apakah ibadah itu lebih dari sekadar liturgi? Bagaimana pula dengan sikap Anda selama ibadah? Apakah Anda berusaha membaur dengan orang lain atau justru menarik diri dari mereka? Kiranya setiap pertemuan ibadah menjadi momen yang sangat dinantikan, karena di situlah TUHAN menyediakan kekuatan dan pertolongan. Soli Deo Gloria.