Ketaatan yang Berpusat Pada Injil (Bagian 2): Ketaatan Terhadap Otoritas dari Allah

Posted on 15/05/2022 | In QnA | Ditulis oleh Ev. Denny Teguh Sutandio | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/06/priscilla-du-preez-x_jAYPjskYI-unsplash-scaled.jpg Ketaatan yang Berpusat Pada Injil (Bagian 2):  Ketaatan Terhadap Otoritas dari Allah Lanjutan dari https://rec.or.id/ketaatan-yang-berpusat-pada-injil-bagian-1/

Sepupu saya cewek menikah dengan langganan orangtua saya di toko. Sepupu saya ini ternyata “anak mami.” Suatu saat, suaminya tanya ke sepupu saya cewek: kalau misal si suami berselisih paham dengan mama si cewek, mana yang istrinya pilih? Di luar dugaan, si istri menjawab, “Mamaku lah ko. Mamaku sudah ngelahirin aku.” Perilaku “anak mami” menunjukkan ketaatan yang ngawur. Mengapa? Mari kita belajar tentang ketaatan terhadap otoritas dari Allah.

 

Otoritas dari Allah

Di seluruh Alkitab, Allah memang memberi beberapa orang untuk menyandang otoritas dari-Nya. Siapa saja yang Allah berikan otoritas? Pemerintah, orangtua, dan pemimpin gereja. Ada beberapa karakteristik orang-orang yang Allah kasih otoritas, yaitu:

  1. Mereka Berotoritas Karena Allah

Masing-masing pemegang otoritas baik pemerintah, orangtua, maupun pemimpin gereja memiliki kuasa/otoritas untuk bertindak sesuatu karena Allah yang memberikannya. Dengan kata lain, mereka tidak berotoritas dari diri mereka sendiri. Misalnya, otoritas pemerintah berasal dari Allah dan ditetapkan-Nya (Rm. 13:2). Di dalam Dasa Titah, Allah berfirman agar menghormati orangtua (Kel. 20:12) dan di PB, Paulus mengajarkan, “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian.” (Ef. 6:1) Ini berarti orangtua berotoritas karena Allah yang memberi otoritas itu kepada mereka. Para pemimpin rohani/gereja juga harus ditaati (Ibr. 13:17). Hal ini menyadarkan para pemegang otoritas bahwa ketika Allah mengambil otoritas itu, maka mereka tidak ada apa-apanya.

 
  1. Mereka Berotoritas Sebagai Wakil Allah

Allah yang memberi mereka otoritas, maka mereka berotoritas sebagai wakil atau pengantara Allah untuk melakukan tanggung jawab yang Allah berikan. Ada dua poin yang akan kita renungkan:

Pertama, mereka adalah pengantara Allah. Alkitab konsisten mengajarkan bahwa semua pemegang otoritas yang Allah berikan bukan menggantikan Allah, tetapi menjadi pengantara Allah. Kembali ke pemerintah. Roma 13:1-3 menjadi dasar pemerintah yang bengis untuk memaksa rakyatnya untuk menaatinya, tapi mereka lupa membaca ayat 4, “Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat.” Di ayat ini, Paulus berkata: memang pemerintah yang ditetapkan Allah untuk memerintah adalah hamba Allah. Kata “hamba” dalam teks Yunaninya diakonos yang dalam konteks ini berarti “wakil” atau “agen.” Perhatikan: pemerintah bukan Allah, tapi wakil Allah.

Orangtua juga disebut sebagai pengantara Allah. Di Efesus 6:1, Paulus berkata ke anak-anak untuk menaati orangtua “di dalam Tuhan.” Artinya anak dan orangtua sama-sama anak-anak Allah yang beriman benar, sehingga orangtua mendidik anaknya di dalam Tuhan dan sebaliknya anak menaati orangtuanya di dalam Tuhan selama orangtuanya berusaha hidup sesuai dengan firman-Nya. Ketika orangtuanya tidak hidup sesuai dengan firman-Nya, anak boleh tidak menaati orangtuanya karena orangtua BUKAN Allah, tapi wakil atau pengantara Allah. Pemimpin gereja juga adalah wakil atau pengantara Allah, bukan Allah. Ibrani 13:17a, “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya…” “Atasnya” ini maksudnya bertanggung jawab kepada Allah.

Wakil atau pengantara tetap adalah wakil. Apa jadinya wakil presiden ke mana-mana merasa jadi presiden? Aneh dan tidak layak! Kita akan gemes kalau ada pemerintah, orangtua, atau pemimpin gereja yang bertindak seolah-olah mereka adalah Allah. Dokter Lukas menceritakan bahwa ketika Herodes Agripa I (pemerintah) menyombongkan otoritasnya dan berlagak seolah-olah adalah Allah, malaikat Allah menamparnya hingga ia mati dimakan cacing-cacing (Kis. 12:21-23).

Kedua, mereka adalah pengantara Allah yang menjalankan misi Allah. Pemerintah yang adalah wakil atau pengantara Allah diperintahkan untuk menjalankan misi Allah. Di Roma 13:4, Paulus menjelaskan bahwa pemerintah adalah diakonos Allah yang “mewakili Allah mengusahakan kesejahteraan bagi masyarakat sekaligus menahan dan menghukum para pelaku kejahatan” (John R. W. Stott, The Message of Romans, 344).

Orangtua juga sebagai pengantara Allah menjalankan misi Allah yang Ia percayakan kepada mereka. Misi Allah bagi orangtua: Pertama, menanamkan konsep iman yang benar (Ul. 6:4-7). Bahkan Allah sendiri memerintahkan umat Israel untuk menanamkan konsep ini di mana dan kapan pun berada. Bagaimana cara orangtua menanamkannya? Dengan cara membicarakannya. Kedua, mendidik dan mengajar anak-anak. Alkitab khususnya PL mengajarkan bahwa Allah memberi otoritas kepada ayah untuk mendidik anaknya dan ibu untuk mengajar anaknya (Ams. 1:8). Inti di ayat 8, “Anakku, patuhi dan ikuti apa yang ayah dan ibumu ajarkan padamu” (William D. Reyburn dan E. M. Fry, A Handbook on Proverbs, 34). Ketiga, mendisiplin anak-anak (Ams. 22:15). Mengapa perlu disiplin? Di Amsal 23:13-14, penulis Amsal menjelaskan alasannya adalah disiplin itu menyelamatkan nyawa si anak. Alasan lainnya adalah didikan tersebut memberikan ketenteraman dan sukacita kepada si anak (Ams. 29:17).

Pemimpin gereja juga diberikan otoritas oleh Allah untuk mengemban misi Allah, yaitu “mereka berjaga-jaga atas jiwamu” (Ibr. 13:17a). Sederhananya, “Mereka selalu memperhatikan Anda” (Paul Ellingworth dan Eugene A. Nida, A Handbook on the Letter to the Hebrews, 333). Artinya mereka sebagai pemimpin sekaligus gembala jemaat yang selalu memperhatikan jemaatnya agar bertumbuh. Dari sini, kita belajar bahwa para pemegang otoritas diberikan otoritas oleh Allah sebagai pengantara Allah untuk menjalankan misi Allah demi kemuliaan Allah.

 

Ketaatan Terhadap Otoritas dari Allah

 

Dari dua karakteristik di atas, Alkitab memerintahkan kita untuk menaati para pemegang otoritas. Ketaatan seperti apa yang Alkitab ajarkan? Ketaatan kepada mereka berbeda dengan ketaatan kepada Allah. Kalau kepada Allah, kita harus taat mutlak, sedangkan kepada para pemegang otoritas di atas, Alkitab mengajar kita untuk taat bersyarat. Apa artinya? Artinya kita taat kepada para pemegang otoritas sejauh mereka menjalankan misi Allah yaitu memimpin kita untuk hidup benar bagi Allah dan memuliakan-Nya dan bukan memuliakan mereka.

  1. Taat Bersyarat Kepada Pemerintah

Di Roma 13:1-5, Paulus memang berkata pemerintah berasal dari dan ditetapkan Allah untuk menjalankan misi Allah: menyejahterakan rakyatnya dan menghukum para penjahat. Ketika pemerintah tidak menjalankan misi Allah, maka kita berhak tidak taat kepada mereka. Contoh: ketika Petrus dan Yohanes diperintahkan oleh Mahkamah Agama untuk tidak lagi memberitakan Kristus (Kis. 4:17-18), apa jawab mereka? Baca ayat 19-20, “Silakan kamu putuskan sendiri manakah yang benar di hadapan Allah: taat kepada kamu atau taat kepada Allah. Sebab tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar.” Sejarah gereja mencatat keberanian orang-orang percaya tidak taat kepada pemerintah ketika pemerintah memerintahkan mereka untuk menyangkal Yesus. Polikarpus, uskup di Smirna yang juga murid rasul Yohanes ketika ditangkap oleh kaisar Roma dan disuruh menyangkal Yesus, maka ia menjawab kaisar, “Aku telah melayani Kristusku 86 tahun lamanya, namun belum pemah sekalipun Ia berbuat jahat kepadaku. Bagaimana aku dapat mengutuk Kristusku, Juru Selamatku?” Kemudian Polikarpus dibakar dan sisa-sisa tubuhnya dibawa orang dan dikuburkan di Smirna.

 
  1. Taat Bersyarat Kepada Orangtua

Selain itu, Alkitab mengajarkan taat bersyarat kepada orangtua. Di Efesus 6:1, Paulus berkata anak taat kepada orangtua “di dalam Tuhan.” Ketika orangtua mengajarkan anaknya tidak takut akan Tuhan, maka anaknya boleh tidak taat kepada orangtua. Alkitab memberi contoh buruk seorang anak yang terlalu taat kepada orangtuanya. Yakub terlalu taat kepada Ribka, ibunya yang menyuruhnya membohongi papanya, Ishak (Kej. 27:5-28), sehingga Yakub menjadi seorang pelarian. Di dalam kedaulatan-Nya, akal bulus Ribka sesuai dengan janji Allah yaitu Yakub yang akan diberkati, bukan Esau, tapi ketaatan Yakub kepada akal bulus Ribka tidak benar. Di zaman sekarang, ketika Tuhan memberi talenta musik ke anak, maka meskipun orangtuanya memaksa anaknya untuk meneruskan usaha mereka, anak berhak menolak karena anak harus lebih taat kepada Allah yang memberi talenta ke dia. Tetapi apakah hanya firman Tuhan yang menjadi dasar ketaatan bersyarat? Tidak juga.

Kita perlu tahu, pola pikir orangtua dan anak berbeda. Mayoritas orangtua dari generasi baby-boomers memiliki pengetahuan ilmiah-akademis yang minim, sehingga banyak dari mereka gaptek dan kurang terlatih untuk kritis, sedangkan kebanyakan anak-anaknya terlatih kritis. Oleh karena itu, anak boleh tidak taat kepada orangtua ketika orangtua mengajarkan hal-hal yang tidak masuk akal di zaman sekarang. Misalnya, tidak boleh keramas pada waktu nifas. Tapi ingat, sebelum kita tidak taat, usahakan cari bukti ilmiah-logis yang melawan mitos-mitos yang dipercaya oleh baby-boomers tersebut.

 
  1. Taat Bersyarat Kepada Pemimpin Gereja

Alkitab mengajarkan taat kepada pemimpin, tapi taat bersyarat. Ketika pemimpin rohani/gereja menyadari mereka sebagai pengantara Allah untuk menjalankan misi Allah bagi orang-orang percaya, maka orang-orang percaya taat kepada mereka, tapi ketika mereka merasa diri hebat, mengajarkan jemaat hal-hal yang aneh yang melawan Alkitab, dan mengeruk keuntungan pribadi, maka jemaat wajib tidak taat dan dipersilahkan mencari pemimpin lain yang lebih takut akan Allah. Sejarah gereja mencatat beberapa orang Kristen terlalu naif taat kepada pemimpin yang tidak memimpin mereka kepada firman Allah, tapi justru menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan. Di abad ini, ada jemaat gereja terbesar di Surabaya di mana pendetanya dikabarkan selingkuh dan mengeruk keuntungan pribadi masih setia dan tidak mau keluar dari gereja tersebut dengan alasan: ibadah itu mencari Tuhan, bukan mencari pendeta. Memang benar, tapi ketika pendeta dan ajarannya sudah ngawur, tapi kita masih di sana dan memberi persembahan ke gereja tersebut, itu namanya orang tersebut tidak bertanggung jawab kepada Allah yang memberi berkat kepada kita. Allah memberi berkat kepada kita untuk kita salurkan kepada orang yang tepat yang mengelola keuangan dengan rapi, bukan untuk memperkaya satu atau keluarga pendeta.

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Ev. Denny Teguh Sutandio

Reformed Exodus Community