Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial (Kej. 2:18). Dalam diri mereka akan kebutuhan hakiki untuk mempunyai relasi. Itulah sebabnya semua orang membutuhkan kasih. Kapanpun. Di manapun.
Kebutuhan terhadap kasih ini semakin meningkat pada momen-momen tertentu. Momen ketika seseorang berada dalam kesulitan. Momen ketika seseorang berada dalam tekanan. Di saat-saat seperti inilah uluran tangan dan kata-kata yang menguatkan menjadi lebih bermakna daripada biasanya.
Akhir zaman sudah dekat (ayat 7a)
Frasa “kesudahan segala sesuatu sudah dekat” seringkali disalahpahami oleh banyak orang. Mereka berpikir bahwa Petrus menubuatkan kedatangan Kristus yang kedua kali terjadi beberapa bulan atau tahun sejak penulisan surat ini. Jikalau sampai sekarang belum datang juga, nubuat itu dianggap tidak terjadi. Dalam teologi pandangan ini dikenal dengan nama “penundaan parousia”.
Pemikiran seperti ini tampaknya tidak terlalu tepat. Tuhan Yesus sudah berkali-kali menegaskan kepada murid-murid-Nya bahwa tidak ada seorangpun yang tahu kapan hal itu akan terjadi (Mat. 24:36; Kis. 1:6-7). Dia juga sudah menerangkan bahwa sebelum kedatangan-Nya akan terjadi banyak peristiwa terlebih dahulu (Mat. 24:1-35). Secara khusus kepada Petrus sudah dinyatakan bahwa dia akan mencapai usia tua dan mati dengan cara disalibkan (Yoh. 21:18-19). Dengan semua petunjuk ini, sangat tidak mungkin apabila Petrus dengan sembrono meramalkan kedatangan Tuhan Yesus akan terjadi segera pada zamannya.
Jadi, bagaimana kita sebaiknya memahami frasa “kesudahan segala sesuatu sudah dekat”? Kuncinya terletak pada konsep gereja mula-mula tentang zaman akhir. Alkitab berkali-kali menandaskan bahwa zaman akhir sudah dimulai sejak dahulu, yang ditandai dengan kedatangan Kristus pertama kali ke dunia. Dia telah menyatakan diri pada zaman akhir (1Pet. 1:20). Peristiwa Pentakosta merupakan penggenapan dari nubuat Yoel bahwa di hari-hari terakhir Roh Allah akan bekerja secara luar biasa (Kis. 2:16-21).
Jika zaman akhir sudah dimulai sejak abad ke-1 Masehi, maka setiap hari yang berlalu membawa mereka semakin dekat dengan akhir zaman. Secara khusus pada zaman Petrus memang terjadi banyak penganiayaan terhadap orang-orang Kristen. Para pengajar sesat juga muncul di mana-mana. Semua ini adalah beberapa tanda akhir zaman. Tidak salah jikalau dikatakan bahwa akhir zaman semakin dekat, walaupun pada waktu itu belum semua tanda sudah terjadi.
Sesuai dengan nubuat Tuhan Yesus, menjelang akhir zaman akan muncul berbagai persoalan. Sebagian akan menimpa orang-orang Kristen secara langsung. Pada momen seperti ini mereka membutuhkan dukungan dan perhatian. Semua perlu bergandeng tangan.
Respons terhadap akhir zaman (ayat 7b-11)
Mengetahui sesuatu yang buruk akan terjadi tidaklah cukup. Yang lebih diperlukan adalah persiapan. Bagaimana kita menyiapkan diri untuk menghadapi kesulitan-kesulitan yang menghadang?
Yang pertama adalah berfokus kepada Allah melalui doa (ayat 7b). Berbagai masalah seringkali menghabiskan pikiran dan tenaga kita. Semua terfokus pada masalah. Akibatnya, kita mengalami dehidrasi rohani.
Situasi ini jelas sangat ironis. Allah sudah menyediakan segala yang kita perlukan di dalam doa: hikmat, kekuatan, dan penghiburan. Jika kita lupa berdoa pada saat banyak persoalan melanda, kita justru telah meninggalkan sumber kekuatan. Kita membiarkan kekuatan kita tergerus oleh persoalan. Kita perlu lebih banyak berdoa.
Masalahnya, nasihat ini tidak terlalu mudah untuk dilakukan. Kita cenderung sibuk memikirkan yang lain. Kita sukar untuk berdoa.
Kunci untuk menghadapi situasi ini terletak pada akal budi Kristiani. Kita harus “menguasai diri dan menjadi tenang” (LAI:TB, sÅphronÄ“sate kai nÄ“psate). Tidak mudah menerjemahkan frasa ini. Yang jelas, kata pertama (sÅphroneÅ) sangat berkaitan dengan pikiran (NASB “be of sound judgment”; YLT “sober-minded”; NIV “be clear minded”). Kata yang kedua berhubungan dengan kesadaran atau kewaspadaan (1:13; 5:8). Jika digabungkan, terjemahan dari frasa ini mungkin seperti berikut: “milikilah pikiran yang baik dan waspadalah”.
Dari penjelasan ini terlihat bahwa akal budi dan doa sangat berkaitan. Terlalu banyak memikirkan persoalan membuat seseorang tidak bisa berdoa. Sebaliknya, pikiran yang baik akan mendorong orang untuk berdoa (ayat 7b “supaya kamu dapat berdoa”). Apa yang akan dipikiranmu akan menentukan doamu.
Yang kedua adalah menunjukkan kasih kepada sesama (ayat 8-11). Relasi yang dekat dengan Tuhan bukanlah halangan untuk relasi yang baik dengan sesama. Sangat disayangkan apabila ada orang Kristen yang mengaku diri rohani (suka berada di dunia roh bersama malaikat dan Roh Kudus), tetapi dalam keseharian dia kurang mencintai dan dicintai sesamanya. Semakin seseorang rohani seharusnya orang itu semakin manusiawi. Bukan menarik diri dari dunia. Bukan lebih banyak berinteraksi dengan malaikat daripada dengan manusia. Petrus mengajarkan bahwa mendekat kepada Allah di dalam doa (ayat 7) bukanlah substitusi bagi mengasihi sesama (ayat 8-11).
Bagian ini berbicara banyak tentang kasih: Kasih seperti apa (ayat 8a)? Mengapa kasih ini penting (ayat 8b)? Apa saja bentuk kasih yang bisa dilakukan (ayat 9-11)? Mari kita simak penjelasan detilnya satu per satu.
Penekanan di ayat 8a terletak pada kata “sungguh-sungguh” (ektenÄ“s). Terjemahan “sungguh-sungguh” di sini bukan berbicara tentang ketulusan (sebagai kontra terhadap kemunafikan). Yang dipentingkan dis ini lebih ke arah usaha atau hasrat yang lebih lagi. Kata yang sama digunakan untuk Yesus Kristus pada saat Dia semakin bersungguh-sungguh berdoa di Getsemani sampai peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah (Luk. 22:44).
Petrus tahu bahwa penerima suratnya sudah mengasihi. Kasih mereka juga tidak munafik. Hanya saja, mereka masih perlu untuk menambahkan kasih tersebut. Harus ada semangat yang lebih. Harus ada sukacita yang lebih dalam melakukan sesuatu.
Mengapa kasih seperti ini diperlukan? Karena orang lain seringkali menjengkelkan dan mengecewakan, sehingga kerap menjadi penghalang bagi seseorang untuk menunjukkan kasih sayang. Di tengah situasi ini, Petrus menerangkan bahwa kasih yang besar akan menutupi dosa yang besar pula (ayat 8b). Menutupi bukan dalam arti menyangkali atau menyembunyikan. Menutupi dalam arti mau mengampuni. Kasih memampukan seseorang untuk bertahan di tengah kekecewaan dan tetap menunjukkan kebaikan. Dia berusaha untuk mengerti dari sudut pandang orang lain. Dia berusaha menerima orang lain apa adanya. Sebaliknya, jika tidak ada kasih, hal-hal yang sepelepun akan disalahpahami dan dipersoalkan. Ada stereotipe buruk yang dipertahankan. Ada asumsi negatif yang dijadikan sudut pandang. Kasih memampukan seseorang untuk tidak mencari-cari atau membesarkan kesalahan orang lain.
Bentuk kasih bisa beragam. Dalam konteks ini Petrus hanya menyinggung tentang dua hal: keramahan pada orang asing (ayat 9) dan penggunaan karunia rohani (ayat 10-11). Dua wujud kasih ini sangat dibutuhkan, terutama di tengah tekanan dan penganiayaan yang dihadapi oleh penerima surat.
Keramahan pada orang asing yang membutuhkan tumpangan sangat dihargai dalam budaya kuno. Di banyak tempat, poin ini dianggap sebagai tindakan etis tertentu. Jika orang asing saja pantas diperlakukan begitu, bagaimana dengan sesama orang percaya? Bukankah mereka seyogyanya berusaha “saling memberi tumpangan”? Siapa tahu ada orang Kristen tertentu yang kehilangan pekerjaan atau rumah karena penganiayaan. Siapa tahu ada orang Kristen dari tempat lain yang melarikan diri dari penganiayaan dan membutuhkan tempat tinggal.
Penerima surat tampaknya sudah melakukan hal ini. Hanya saja, mereka mungkin belum melakukannya dengan sungguh-sungguh. Mereka masih mengeluh dan bersungut-sungut pada waktu melakukannya. Karena itu, Petrus menasihati mereka untuk tetap melakukan hal ini, hanya saja tanpa sunggut-sungut.
Wujud kasih yang lain adalah menggunakan karunia rohani bagi kepentingan sesama (ayat 10-11). Allah sudah menyediakan beragam karunia supaya semua jemaat diperkaya. Yang satu melengkapi kebutuhan yang lain. Setiap orang menjadi pendukung dan pembangun sesamanya. Supaya tujuan ini tercapai, setiap orang perlu untuk melayani sesuai dengan karunia masing-masing (ayat 10). Jika semua orang memiliki karunia yang seragam, jemaat tidak akan diperkaya dalam banyak hal. Karunia yang berbeda-beda merupakan kekayaan rohani jemaat.
Tidak berhenti sampai di situ. Penggunaan karunia ini harus berpusat pada Allah, alias teosentris (ayat 11). Penggunaan karunia yang berfokus pada diri sendiri pasti menyalahi tujuan ilahi karunia rohani. Karunia bukan milik. Bukan pula hasil pencapaian seseorang. Ini adalah pemberian.
Karena karunia berasal dari Allah, sudah sepantasnya apabila penggunaannya juga berpusat pada Allah. Yang disampaikan merupakan firman Allah. Yang menjadi pendorong dan kekuatan adalah kuasa Allah. Pada akhirnya, yang dimuliakan adalah Allah.
Sudahkah Anda melihat ke dalam: pada kualitas kedekatanmu dengan Allah dan karunia-Nya yang dititipkan kepada Anda? Sudahkah Anda melihat keluar: pada orang-orang di sekitar yang membutuhkan uluran tangan dan dukungan Anda? Soli Deo Gloria.