Kenikmatan Sabat (Yesaya 58:13-14)

Posted on 23/11/2014 | In Teaching | Leave a comment

Pada 12 Januari 2007 The Washington Post, salah satu surat kabar terkemuka di Amerika, mengadakan sebuah eksperimen yang menarik untuk mengetahui sejauh mana apresiasi orang terhadap keindahan. Joshua Bell, seorang pemain biola ternama, berpura-pura menjadi pengamen jalanan di sebuah stasiun bis pada saat jam sibuk ke kantor. Dari analisa kamera tersembunyi terkuak beberapa fakta menarik sekaligus memprihatinkan. Dari 1.097 orang yang melewati ruangan itu, hanya tujuh orang yang berhenti sejenak untuk menikmati permainan musik kelas dunia yang ia pertontonkan. Dari tujuh orang ini, hanya satu yang mampu mengenali dirinya. Selama sekitar 45 menit pertunjukan dari enam karya klasik terkenal, Bell hanya mampu mengumpulkan US$ 32.17, itu pun sudah termasuk US$20 dari orang yang mengenali wajahnya. Hal ini jelas sangat mengagetkan. Setiap konser yang Bell lakukan selalu dipadati pengunjung. Mereka rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Mereka pun mau mengatur waktu untuk menonton konser dan mengorbankan kegiatan-kegiatan yang lain. Berbeda dengan para penonton konser yang memahami keindahan musik, ratusan orang di stasiun bis itu tidak bisa menghargai keindahan. Mereka terlalu sibuk dengan kehidupan mereka sendiri.

Begitu pula sikap sebagian orang Kristen terhadap Hari Sabat. Keindahan Tuhan yang kita alami dalam ibadah seolah-olah menjadi begitu murah. Tidak banyak yang merelakan waktu secara khusus merayakan Sabat. Bahkan sebagian orang Kristen merasa terganggu dan terbebani dengan perintah ini. Bagi mereka yang suka bekerja keras tanpa batas (workaholic), Sabat dianggap sebagai penghalang untuk mendapatkan keuntungan materi yang lebih besar. Bagi mereka yang ingin beristirahat dari rutinitas kerja, Sabat dipandang sebagai halangan untuk beristirahat lebih lama.

Semua sikap ini muncul karena ketidaktahuan tentang Sabat. Sabat berbicara tentang kenikmatan, bukan beban dan gangguan. Kenikmatan ini lebih bermakna daripada berbagai kenikmatan yang biasanya kita upayakan di hari-hari yang lain. Yesaya 58:13-14 mengajarkan bahwa ada keistimewaan yang luar biasa dari Hari Sabat. Ini bukan sekadar perayaan ritual yang kosong.

 

Inti persoalan

 

Ajaran tentang Sabat muncul beberapa kali dalam Kitab Yesaya (1:13; 56:2, 6; 58:13-14; 66:23). Dari pemunculan ini terlihat bahwa bangsa Yehuda masih memperhatikan Hari Sabat. Mereka tetap berkumpul untuk merayakannya. Persoalannya, mereka gagal memelihara Sabat secara tepat. Walaupun Sabat tetap dirayakan, namun mereka juga melakukan berbagai kejahatan (1:13 “perayaanmu itu penuh kejahatan”; 56:2 “yang memelihara Hari Sabat dan tidak menajiskannya, dan yang menahan diri dari setiap perbuatan jahat”).

Ibadah yang sembarangan dan yang dilakukan terus-menerus ternyata lebih buruk daripada tidak ada ibadah sama sekali. Allah memandang hal itu sebagai kejijikan, dan Ia tidak tahan melihatnya (1:11-14). Nabi lain pun memberitakan peringatan yang sama (Am 5:21-24). Apakah kehadiran kita di Hari Sabat benar-benar sudah menyenangkan hati Allah? Kita tidak mungkin menyenangkan Allah kalau kita tidak memandang Sabat sebagai sebuah kesenangan.

 

Sikap yang benar terhadap Sabat

 

Pemunculan kata sambung “apabila” di ayat 13 sebanyak tiga kali dalam terjemahan LAI:TB menolong kita untuk mendeteksi tiga poin penting yang saling berhubungan. Ketiganya bahkan mengajarkan hal yang sama dari sudut pandang yang berbeda.

 Pertama, kita tidak boleh menginjak-injak Sabat (ayat 13a). Dalam teks Ibrani bagian ini berbunyi: “Jika kalian membalikkan kaki kalian dari Sabat” (KJV/ASV/RSV/ESV “If you turn back your foot from the Sabbath”). Nasihat ini menyiratkan bahwa sebelumnya kaki bangsa Yehuda sudah di atas Sabat (menginjak-injak Sabat), dan sekarang mereka diperintahkan untuk berbalik dari posisi itu. Mereka tetap ada di Sabat (merayakan Sabat), tetapi menghinanya (melakukan dengan cara yang sembarangan).

Kedua, kita memandang Sabat sebagai kenikmatan dan kemuliaan (ayat 13b). Sikap yang merendahkan Sabat di ayat 13a (menginjak-injak Sabat) bermula dari konsep yang rendah tentang Sabat. Ada keterkaitan erat antara sikap dan konsep. Perubahan sikap harus dimulai dari perubahan konsep.

Ketiga, kita menghormati Sabat dengan sikap kita (ayat 13c). Sabat tidak hanya menyentuh aspek-aspek liturgi dalam ibadah, tetapi seluruh kehidupan kita. Perayaan Sabat yang benar berhubungan dengan jalan, kesibukan, dan perkataan kita. Kerohanian bukan hanya dibatasi oleh ibadah, walaupun ibadah tetap harus dilakukan.

Di antara tiga poin di atas, yang paling esensial adalah konsep kita tentang Sabat sebagai sebuah kesenangan. Hal ini terlihat dari beberapa petunjuk dalam teks. Poin ini diletakkan di bagian tengah (sebagai fokus atau inti). Secara konseptual, sikap seseorang memang ditentukan oleh konsepnya. Yang terakhir, kata “kesenangan” muncul beberapa kali di ayat 13-14: (a) kata ini muncul di ayat 13 (“kenikmatan”) dan ayat 14 (“bersenang-senang”); (b) kata “urusanmu” di ayat 13 sebenarnya berarti “kesenanganmu” (KJV/ASV/RSV/ESV). Jadi, kegagalan umat Allah dalam merayakan Sabat disebabkan perbedaan konsep tentang kesenangan. Sabat seharusnya menjadi kesenangan, namun mereka lebih memilih kesenangan yang lain.

Kegagalan tersebut sangat disayangkan. Alkitab berkali-kali menghubungkan Sabat dengan kesenangan. TUHAN Allah sendiri beristirahat pada hari ke-7 untuk menikmati semua yang Ia sudah ciptakan (Kej 2:1-3; bdk. Kel 20:8-11). Ia beristirahat bukan karena kelelahan (bdk. Mzm 121:3-4; Yes 40:28-31). Ia sengaja menghabiskan waktu satu hari untuk menikmati ciptaan-Nya sendiri. Ironisnya, banyak orang Kristen justru memanfaatkan Hari Sabat untuk rekreasi menikmati keindahan alam tetapi melupakan ibadah kepada Pencipta-Nya. Bagaimana perasaan kita apabila anak kita terus-menerus menikmati permainan baru yang kita belikan tanpa bersyukur kepada kita atau mengajak bicara kita? 

Di tempat lain Alkitab juga mengaitkan perayaan Sabat dengan kisah yang menggembirakan, yaitu pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Ulangan 5:15 berkata “Sebab haruslah kauingat, bahwa engkau pun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau dibawa keluar dari sana oleh TUHAN, Allahmu dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung; itulah sebabnya TUHAN, Allahmu, memerintahkan engkau merayakan hari Sabat”. Hari Sabat adalah hari yang kita khususkan untuk merenungkan dan mensyukuri karya TUHAN yang ajaib dalam kehidupan kita. Orang yang mengalami dan menyadari kedasyatan tangan Allah dalam hidupnya pasti akan memiliki hasrat yang besar untuk memuji Allah-Nya.

Bagi orang-orang Kristen, perayaan Hari Sabat menjadi lebih spesial dan bermakna. Hari Sabat telah menjadi perayaan Hari Tuhan (Kis 20:7; 1 Kor 16:2; Why 1:10), karena Yesus Kristus bangkit pada hari pertama (Mat 28:1). Dari sisi waktu terdapat perubahan: dari Sabtu (hari ke-7) menjadi Minggu (hari ke-1). Dari sisi makna pun ada perubahan: bukan hanya didasarkan pada penciptaan alam semesta tetapi penciptaan kita kembali di dalam Kristus Yesus (2 Kor 5:17; Ef 2:10); bukan hanya memperingati pembebasan dari tanah Mesir tetapi dari perbudakan dosa (Rom 6:5-7).

Kesenangan di dalam perayaan Sabat merupakan cicipan dari Sabat terakhir yang akan kita nikmati di sorga. Penulis Surat Ibrani memberitakan tentang perhentian kekal di dalam Kristus (Ibr 4:1-11). Rasul Yohanes juga mengajarkan kematian orang-orang percaya sebagai sebuah kebahagiaan karena mereka sudah bisa beristirahat dari semua jerih-lelah mereka dan menikmati kebahagiaan sorgawi (Why 14:13).

 

Janji kepada mereka yang menghormati Hari Sabat (ayat 14)

 

Hari Sabat bukan hanya sebuah kesenangan, melainkan juga membawa kesenangan. Allah memberikan janji-janji yang luar biasa kepada mereka yang merayakan Sabat dengan setia dan benar (lihat kata sambung “maka” di awal ayat 14 dan bentuk futuris dari tiga kata kerja di ayat 14; bdk. 56:1-7). Tiga sikap yang benar terhadap Sabat di ayat 13 diresponi dengan tiga janji yang indah di ayat 14.

Pertama, TUHAN akan menjadi kesenangan kita (ayat 14a). LAI:TB memilih terjemahan “engkau akan bersenang-senang karena TUHAN,” sedangkan mayoritas versi Inggris memilih “engkau akan mendapat kesenangan di dalam TUHAN.” Terjemahan mana pun yang kita pilih, artinya tetap sama. Yesaya sedang membandingkan dua macam kesenangan: kesenangan insani dan ilahi. Kesenangan insani membutuhkan usaha manusia (ayat 13 lit. “melakukan urusanmu” = “melakukan kesenanganmu”; “mengurusi urusanmu” = “mencari kesenanganmu”), sedangkan kesenangan ilahi justru menuntut kepasifan manusia (tidak melakukan pekerjaan apa pun di Hari Sabat dan hanya menikmati kehadiran Allah dalam ibadah). Kesenangan insani terletak pada ciptaan Allah, sedangkan kesenangan ilahi terletak pada diri Allah sendiri. Kecuali kita bisa berkata seperti Asaf “Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi” (Mzm 73:25), kita tidak mungkin bisa menantikan dan merayakan Sabat dengan sukacita. Apakah Allah menjadi sukacita yang terutama dan satu-satunya bagi kita?

Kedua, TUHAN akan memuliakan kita (ayat 14b). Kemuliaan ini digambarkan seperti kita sedang berkendara di atas bukit-bukit di bumi. Jika TUHAN mengendarai awan dan merendahkan musuh-musuh-Nya (19:1), maka orang-orang percaya akan turut bersama dia berkendara melintasi tempat-tempat tinggi (58:14). TUHAN yang menakar gunung-gunung dan menimbang bukit-bukit (40:12), TUHAN yang sama akan membawa kita melampaui semua bukit. Janji tentang kemuliaan ini juga diucapkan oleh Yeremia kepada umat Allah yang mau menghormati Sabat (Yer 17:24-25 “tetapi menguduskan hari Sabat dan tidak melakukan sesuatu pekerjaan pada hari itu, maka melalui pintu-pintu gerbang kota ini akan berarak masuk raja-raja dan pemuka-pemuka, yang akan duduk di atas takhta Daud, dengan mengendarai kereta dan kuda”).

Ketiga, TUHAN akan menjamin berkat-berkat-Nya bagi kita (ayat 14c). Berkat TUHAN di bagian ini digambarkan sebagai makanan: Allah akan menyuapi kita. Gambaran ini sangat tepat, karena pada Hari Sabat umat Allah dilarang bekerja atau mencari makan. Bagi mereka yang bekerja harian, pertanyaan umum yang muncul adalah “Bagaimana aku bisa memberi makan keluargaku jika aku merayakan Sabat dan tidak bekerja?” TUHAN sudah mengantisipasi kekuatiran ini dengan sebuah janji: “Aku akan memberi makan engkau” (58:14).

Janji ini diberi penekanan khusus sebagai jaminan bahwa Allah pasti akan menepati-Nya (ayat 14c). Kita akan diberi makan dari milik pusaka Yakub. Persediaan makanan bukan dari hasil kerja harian, melainkan dari warisan yang berlimpah-limpah. Sebagaimana TUHAN sudah setia kepada Yakub, demikian pula Ia akan setia kepada keturunan Yakub. Janji ini juga keluar dari mulut TUHAN sendiri, sehingga pasti akan ditepati-Nya.   

 

Aplikasi

 

Apakah Hari Minggu menjadi hari yang paling kita nantikan? Ataukah kita justru melihatnya sebagai sebuah halangan untuk menikmati hidup? Seberapa besar hasrat kita terhadap ibadah bersama di Hari Minggu menunjukkan seberapa pentingkah Yesus Kristus di dalam hidup kita. Jika Ia menjadi sumber kesenangan kita, maka kita pasti akan selalu menantikan Hari Minggu dengan antusias. Jika pembebasan dari dosa melalui kematian dan kebangkitan Kristus menjadi pengalaman yang menakjubkan bagi kita, maka kita pasti terdorong untuk memuji Dia. Soli Deo Gloria.

admin