Suku Odi di Ethiopia menganggap cowok gendut dan perut buncit itu cowok seksi. Bahkan di suku ini, ada upacara adat di mana para pria suku ini berlomba-lomba menggemukkan diri dengan meminum ramuan campuran darah dan susu sapi (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-3721993/suku-bodi-minum-darah-demi-mendapatkan-tubuh-besar-dan-perut-buncit). Nah, kalau bagi kita yang tinggal di perkotaan, cowok gendut jelas bukan seksi. Ini membuktikan adanya perbedaan kebudayaan suku Odi dengan kita yang tinggal di perkotaan. Namun kita tidak dapat menyangkal bahwa setiap manusia pasti memiliki kebudayaan. Hal ini termasuk beberapa orang Kristen mencoba menciptakan budaya “Kristen.” Lalu, apa itu kebudayaan? Apa itu kebudayaan “Kristen”? Bagaimana Injil menyoroti kebudayaan? Apa relevansinya?
Definisi Kebudayaan
Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Merriam-Webster, saya berusaha mendefinisikan kebudayaan sebagai, “pola terpadu dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, adat istiadat, dan perilaku manusia sebagai makhluk sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi pedoman hidup seseorang untuk memahami lingkungan dan pengalamannya.” Dari definisi ini, kita mendapati tiga karakteristik, yaitu:
Pertama, pola terpadu dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, adat istiadat, dan perilaku manusia. Misalnya, di dalam adat Batak, ada Mangulosi yaitu memberikan ulos sebagai lambang kehangatan dan berkat bagi yg menerimanya (https://visitsamosir.com/adat-dan-budaya-batak/).
Kedua, diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kakek nenek kita meninggalkan suatu kebudayaan kepada papa mama kita dan papa mama kita meninggalkan kebudayaan itu ke kita dengan cara mengajarkan bahkan cenderung mengindoktrinasikannya. Misalnya, Imlek adalah hari raya dalam tradisi/kebudayaan Tionghoa dalam menyambut tahun baru musim semi menurut kalender bulan. Namun meskipun merupakan hari raya, kebudayaan ini tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan atau keyakinan. Contoh: salah satu pantangan yang dilakukan saat Imlek adalah membersihkan rumah. (https://nasional.kompas.com/read/2019/02/05/13385591/memahami-tradisi-dan-kepercayaan-terkait-perayaan-imlek?page=all).
Ketiga, perspektif. Karena bersifat diwariskan, maka kebudayaan cenderung bersifat “percaya aja, gak usah banyak tanya.” Ini berarti bagi banyak orang, kebudayaan bersifat mutlak. Kemutlakan kebudayaan biasanya dikaitkan dgn usia. Kemutlakan kebudayaan mengakibatkan kebudayaan bagi banyak orang menjadi pedoman hidup atau perspektif untuk memahami lingkungan dan pengalamannya sendiri. Hal ini paling mudah terlihat pada banyak orang dari generasi tertentu yang “maniak” budaya termasuk mitos dan mengindoktrinasi generasi di bawahnya untuk percaya pada mitos tersebut. Misalnya, duduk di atas bantal bisa bisulan.
Definisi Kebudayaan “Kristen”
Beberapa orang yang mengaku diri “Kristen” mencoba membentuk kebudayaan yang berbau “Kristen.” Saya menyebutnya sebagai kebudayaan “Kristen.” Saya mendefinisikan kebudayaan “Kristen” sebagai “penampilan fisik dan gaya hidup “Kristen” yang diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi pedoman hidup mutlak seorang Kristen tertentu untuk memahami dan mengkritisi lingkungan sekitarnya.” Ada beberapa karakteristik dari definisi ini, yaitu:
Pertama, warisan mutlak. Pedoman hidup para penganut kebudayaan “Kristen” bukan Alkitab, tp warisan. Artinya mereka memiliki sejumlah pengamatan tentang kebudayaan “Kristen” berdasarkan apa yg telah mereka pelajari dari para nenek moyang mereka. Ketika nenek moyang mereka mengajarkan bahwa orang Kristen yang melayani harus menggunakan baju dan celana panjang kain warna tertentu, maka mereka yg junior menaatinya tanpa banyak tanya.
Kedua, penampilan fisik dan gaya hidup “Kristen.” Budaya “Kristen” mencakup semua penampilan fisik dan gaya hidup yang ngaku “Kristen.” Penampilan fisik berarti segala sesuatu yang berkenaan dengan apa yang bisa dilihat mata, misalnya gaya berpakaian, gaya berdandan, gaya rambut, dll. Dengan dasar karakteristik pertama yaitu warisan mutlak, beberapa orang “Kristen” menetapkan apa yang boleh dan tidak boleh dipakai oleh pendeta, pelayan Tuhan, jemaat yang melayani di gereja, dll.
Ketiga, mengkritisi. Salah satu definisi “mengkritisi” yang dipakai dalam poin ini menurut Kamus Cambridge, “untuk mengungkapkan ketidaksetujuan seseorang atau sesuatu” (https://dictionary.cambridge.org/us/dictionary/english/criticize). Misalnya, beberapa orang “Kristen” protes ketika ada gereja yang mengadakan kebaktian Imlek dibumbui dengan keterangan “dress-code: merah.” Selain itu, beberapa orang “Kristen” berusaha menghakimi pendeta atau orang Kristen lain yang menggunakan kostum yang menurut mereka “tidak cocok.” Pdt. Yakub Tri Handoko pernah bercerita kepada saya bahwa di sebuah mall, ada satu majelis gereja Tionghoa di Surabaya melihat Pdt. Yakub bersama keluarga menggunakan celana pendek dan majelis ini melihat beliau dari atas sampai bawah. Mungkin majelis ini berpikir, “Ini pendeta kok pakai celana pendek.” Sejak kapan pendeta tidak boleh menggunakan celana pendek? 😊
Injil dan Kebudayaan
Berbeda dengan kebudayaan “Kristen,” Injil sebenarnya tidak mengajarkan salah satu model kebudayaan tertentu karena Injil bukan aturan tingkah laku atau aturan kebudayaan. Tim Keller mengajarkan, “Injil adalah kabar baik bukan nasihat baik. Nasihat = apa yang seharusnya kita lakukan. Kabar = laporan akan apa yang telah dilakukan bagi kita.” Injil berisi karya kematian dan kebangkitan Kristus yang membebaskan umat pilihan-Nya dari belenggu dosa dan berbagai peraturan yang mengikat (1Kor. 15:1-4). Melalui Injil, anugerah kematian dan kebangkitan Kristus membebaskan orang-orang percaya dari dosa agar mereka hidup bagi Allah dengan kesadaran akan anugerah-Nya. Mereka hidup bagi Allah bukan dengan segudang peraturan khususnya peraturan kebudayaan, tetapi dengan kasih dan sukacita sebagai pribadi yang telah ditebus.
Lalu, bagaimana Injil menyoroti kebudayaan?
Pertama, kebudayaan dan kita sebagai penggunanya diciptakan oleh Allah. Ketika Allah mencipta manusia, Ia berkata bahwa ciptaan-Nya “sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Karena manusia diciptakan Allah dengan sangat amat baik, maka kebudayaan yang manusia kembangkan pun diciptakan Allah (Kej. 2:15). James N. Anderson berkata, “budaya adalah anugerah dari Allah. Ini bukan sesuatu yang perlu ditakuti, bukan sesuatu yang secara inheren ditentang, tetapi pada kenyataannya, budaya adalah bagian dari kebaikan ciptaan” (https://rts.edu/resources/how-should-christians-engage-with-the-culture/). Karena kebudayaan termasuk bagian dari kebaikan ciptaan, maka Allah mewahyukan diri-Nya di dalam firman-Nya kepada manusia yang memiliki kebudayaan. Alkitab adalah firman Allah kepada umat manusia di PL dan PB yang terikat kebudayaan sekaligus melampaui kebudayaan. Beberapa aspek kebudayaan dalam Alkitab, misalnya bahasa, ras, cara pikir, makanan, pakaian, interaksi sosial, dll. Oleh karena itu, di dalam menafsirkan Alkitab, kita tidak bisa langsung sembarangan menafsirkan teks Alkitab dan mengaplikasikannya bagi kita di zaman ini.
Kedua, pengguna kebudayaan telah berdosa kepada Allah. Meskipun pada awalnya baik, namun Kejadian 3 mengisahkan manusia sudah berdosa. Dosa ini berdampak kepada seluruh aspek dalam dunia, mulai dari relasi manusia dengan Allah (3:8), manusia dengan dirinya (3:10), manusia dengan sesamanya (3:12, 16), manusia dengan lingkungannya (3:17-19). Kalau di awal penciptaan, Ia memerintahkan manusia untuk membudidayakan taman Eden, setelah manusia berdosa, maka mereka diusir dari Eden dan Eden dijaga oleh kerub (3:24). R. Scott Clark berkata bahwa kebudayaan itu termasuk ciptaan, sehingga kebudayaan tidak berdosa, namun penggunanya yang berdosa (https://heidelblog.net/2008/01/redeeming-culture/). Oleh karena itu, jangan salahkan jeans, sepatu kets, undercut, dll sebagai produk kebudayaan, tetapi salahkan pengguna kebudayaan yang sengaja menggunakan kaos ketat dan jeans pendek untuk menarik lawan jenis.
Ketiga, pengguna kebudayaan ditebus Allah untuk nenggunakan kebudayaan dengan benar. Manusia sebagai pengguna kebudayaan telah berdosa dan Allah menyediakan solusinya yaitu penebusan Kristus. Kristus menebus dosa umat-Nya agar umat-Nya tidak lagi hidup bagi diri mereka sendiri, tapi bagi Kristus (Gal. 2:20). Orang yang telah hidup bagi Kristus ditandai dengan melakukan segala sesuatu untuk memuliakan Allah (1Kor. 10:31). “Memuliakan Allah” bukan berarti apa pun yang kita lakukan atau pakai ada unsur rohaninya, tetapi ketika kita menggunakan kebudayaan, kita tidak mau membuat Allah terluka dengan tindakan kita. Tidak membuat Allah terluka bisa dilakukan dengan kita membayangkan seolah-olah Allah di dekat kita ketika kita mau bertindak sesuatu. Misalnya, ketika kita memiliki smartphone, kita menggunakannya untuk menyenangkan-Nya dengan cara: berinteraksi secara sehat dan bijaksana (bukan menyebarkan video-video porno atau nyinyir), menyebarkan berita benar (bukan hoaks), dll.
Relevansi
Apa yang bisa kita pelajari dari konsep kebudayaan yang berpusat pada Injil?
Pertama, letakkan Alkitab di atas kebudayaan. Kebudayaan adalah respons manusia terhadap penyingkapan diri Allah secara umum melalui hati nurani, sehingga kebudayaan pada dirinya sendiri tidak salah. Yang salah adalah ketika kita menggunakannya dengan motivasi dan tujuan yang berdosa. Oleh karena itu, di titik pertama, tempatkan Alkitab sebagai perspektif kita termasuk ketika kita menggunakan kebudayaan. Ini berarti kita harus siap mengkritisi kebudayaan sesuai dengan Alkitab. Ketika ada kebudayaan yang jelas-jelas melawan Alkitab dan cenderung tidak logis (bertentangan dengan akal budi Kristiani), beranilah membuang kebudayaan itu, meskipun kebudayaan sudah diwariskan bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun.
Kedua, hargai, ajarkan, dan wariskanlah kebudayaan yang benar. Mengkritisi kebudayaan tidak berarti kita menganggap semua kebudayaan negatif. Mengkritisi kebudayaan tentu berarti kita juga harus berani mengakui ada unsur positif dari kebudayaan yang benar baik secara Alkitabiah maupun secara akal budi Kristiani. Unsur positif dari kebudayaan itulah yang perlu kita hargai. Oleh karena itu, berhentilah bersikap lebay terhadap “dresscode” di sebuah kebaktian karena adanya “dresscode” tidak bertentangan dengan Alkitab. Selain itu, kalau ada unsur positif dari satu kebudayaan, maka kita bisa mengajarkan dan mewariskannya kepada orang lain. Misalnya, budaya kumpul bersama pada waktu Imlek tentu perlu kita wariskan kepada anak-anak kita bukan agar mereka mengumpulkan angpao yang berisi uang, tetapi pentingnya kebersamaan.
Ketiga, kaitkan setiap respons kita terhadap kebudayaan dengan Injil. Ketika kita mengkritisi kebudayaan baik menyetujui maupun menolaknya, biasakan kita mengaitkan alasan penerimaan atau penolakan kita dengan Injil. Misalnya, alasan kita menolak kebudayaan “pakaian Kristen” tertentu atau larangan menonton bioskop adalah karena Injil bukan aturan pakaian atau larangan “Taurat”, tetapi masalah hati yang ditebus Kristus. Ketika kita telah menerima Kristus, maka hati kita diubah dan diarahkan untuk melakukan apa yang berkenan kepada Allah dan menolak apa yang Ia benci. Kita tidak akan kecanduan nonton bioskop karena hati kita sudah terpaut dengan Kristus. Atau ketika kita menyetujui kebudayaan tertentu (kebersamaan pada waktu Imlek), alasannya adalah di dalam kebersamaan itu, kita dapat saling belajar dan berbagi dengan menunjukkan perhatian kita kepada anggota keluarga yang sakit atau mengalami masalah sekaligus berbagi Injil di dalamnya.
“Jangan memberhalakan kebudayaan, tetapi jangan membuang kebudayaan. Tempatkan kebudayaan pada tempat yang seharusnya yaitu di bawah otoritas Alkitab dan akal budi Kristiani. Lalu wariskanlah kebudayaan yang sesuai dengan Alkitab dan akal budi Kristiani kepada generasi selanjutnya untuk memuliakan Allah.”