Setiap orang pasti bertumbuh dalam tradisi-tradisi tertentu. Seringkali fakta ini kurang disadari karena tradisi terjadi secara alamiah. Tradisi telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi menjadi hal yang begitu biasa bagi orang-orang yang menerima dan mempraktekkannya. Orang cenderung menerima tradisi apa adanya tanpa mengkritisinya.
Tentu saja tidak setiap tradisi merupakan hal yang menyimpang dari firman Tuhan. Melalui wahyu umum dan anugerah umum manusia dimampukan untuk menciptakan tradisi-tradisi tertentu yang baik. Tradisi-tradisi semacam ini merupakan salah satu cara yang digunakan oleh Allah untuk mengatur dunia ini.
Walaupun demikian, tidak setiap tradisi adalah benar. Kita semua dipengaruhi oleh natur yang berdosa dan kita semua masih tinggal di dalam dunia yang berdosa. Apa yang dihasilkan oleh pemikiran dan tindakan manusia juga seringkali tercemar oleh dosa. Bahkan sebuah tradisi yang baik kadangkala bisa berubah menjadi tidak baik di tangan manusia yang berdosa.
Hal yang sama terjadi dalam masyarakat Yahudi pada jaman Yesus. Teks hari ini menyediakan sebuah contoh yang baik. Para pemimpin agama Yahudi menganggap murid-murid Yesus telah melanggar tradisi para tua-tua Yahudi karena mereka memakan sesuatu tanpa membasuh tangan (15:1-2). Penyebutan golongan Farisi dan ahli Taurat dari Yerusalem menyiratkan kelompok religius yang sangat ketat. Farisi merupakan mazhab yang paling keras (Kis. 26:5). Para ahli Taurat merupakan cendekiawan religius yang sangat menguasai berbagai hukum dan penafsirannya. Tambahan “dari Yerusalem” mungkin dikontraskan dengan golongan Farisi maupun ahli Taurat dari Galilea yang dinilai tidak seketat kelompok yang sama di Yerusalem.
Apa yang sedang dipersoalkan di teks hari ini tentu saja bukan masalah kebersihan (baca: supaya terhindari dari kuman, virus, atau bakteri). Tradisi mencuci tangan sebelum makan merupakan tindakan religius. Praktek ini dianggap bisa mempengaruhi kesucian seseorang. Jadi, isu yang dipersoalkan bukan kekotoran, melainkan kenajisan.
Tradisi ini merupakan penafsiran terhadap Hukum Taurat sekaligus penerapannya pada situasi tertentu. Penafsiran dan penerapan ini selanjutnya diteruskan antar generasi. Dalam kaitan dengan mencuci tangan, tradisi ini awalnya hanya berlaku atas para imam dalam konteks ibadah di bait Allah (Kel. 30:17-21; 40:12; 2Taw. 4:6). Mereka perlu menyucikan diri sebelum menghampiri Tuhan. Di luar konteks keimaman dan ibadah, mencuci tangan hanya diterapkan pada mereka yang telah menyentuh barang-barang najis (Im. 15:11). Golongan Farisi lantas memperluas penerapan dari aturan ini. Aturan dibuat menjadi lebih detail dan diterapkan pada semua orang. Aturan ini juga diberlakukan pada berbagai bidang, termasuk soal makan. Siapa yang tidak mematuhi dianggap najis.
Respons Yesus terhadap teguran atau tuduhan di Matius 15 terkesan keras, tetapi tetap bijaksana. Dia tidak menentang semua aspek dalam tradisi. Sikap-Nya berbeda dengan kaum antinomianis yang tidak peduli dengan aturan apapun. Sikap-Nya juga berbeda dengan golongan Saduki yang menolak segala bentuk tradisi lisan. Yesus memilih untuk menyoroti kekeliruan-kekeliruan fatal dalam sebuah tradisi.
Sejauh mana sebuah tradisi boleh dipertahankan? Bagaimana kita mengetahui bahwa suatu tradisi sudah melewati batasan yang benar?
Pertama, jika sebuah tradisi dipaksakan pada semua orang (ayat 2). Yudaisme pada jaman Alkitab tidak hanya diwakili oleh kelompok Farisi. Ada beragam mazhab lainnya. Beberapa bahkan saling berbeda dan tidak suka. Di Matius 15 orang-orang Farisi mencoba memaksakan keyakinan mereka pada golongan lain (murid-murid Yesus) dengan mengatasnamakan tradisi dari nenek moyang bangsa Yahudi. Mereka beranggapan bahwa “nenek moyang” (lit. “tua-tua”) mewakili seluruh umat Tuhan.
Anggapan ini tentu saja keliru. Aturan mencuci tangan sebelum makan belum ada pada jaman Abraham, Ishak maupun Yakub. Tradisi ini mungkin baru muncul beberapa abad sebelum jaman Perjanjian Baru. Mereka yang menggagas tradisi ini tentu saja tidak mewakili semua bangsa Yahudi. Memaksakan sebuah tradisi pada kelompok yang berlainan merupakan wujud kesombongan.
Kedua, jika sebuah tradisi diperlakukan sebagai firman Tuhan (ayat 3-6). Ketika golongan Farisi menuduh murid-murid Yesus telah melanggar tradisi, Yesus menyoal tentang penghargaan orang Farisi yang terlalu berlebihan terhadap tradisi. Dia mengambil contoh tentang tradisi kurban bagi Allah (15:5; lihat Mrk. 7:11). Orang-orang Farisi mengajarkan bahwa seseorang yang sudah bersumpah untuk memberikan sesuatu kepada Allah, orang itu patut menggenapi sumpahnya, tidak peduli sumpah itu dilakukan tanpa berpikir matang-matang dan tidak peduli apa yang dijanjikan untuk diberikan dalam sumpah tersebut. Aturan ini dianggap mengikat secara mutlak, bahkan dalam kasus yang dijanjikan adalah aset atau harta untuk pemeliharaan orang tua di masa lanjut mereka. Orang yang menggenapi janjinya untuk memberikan kurban dibebaskan dari tanggung jawab terhadap hari tua ayah dan ibunya.
Ajaran ini tentu saja keliru. Perintah untuk menghormati orang tua merupakan firman Tuhan (15:4 “Sebab Allah berfirman…”; Kel. 20:12). Mereka yang melanggar firman Tuhan ini akan menerima hukuman yang sangat serius (Kel. 21:17). Dalam tradisi Yahudi, menghormati orang tua mencakup pemeliharaan mereka pada masa tua. Yesus menyetujui tradisi ini. Praktek ini sudah menjadi bagian dari budaya semua orang Yahudi, terlepas dari mazhab religius yang diyakini. Praktek ini juga terlihat logis, baik, dan bijaksana. Siapa yang paling patut memelihara orang tua selain anak-anaknya? Tidak heran Paulus menilai orang-orang Kristen yang tidak peduli terhadap keluarganya sebagai orang-orang yang murtad dan lebih buruk daripada orang-orang yang tidak beriman (1Tim. 5:8).
Sebagian tradisi muncul dari motivasi yang murni. Makna di baliknya juga kadangkala sangat kaya dan bijaksana. Dalam kasus tradisi bersumpah untuk memberikan kurban kepada Allah, motivasi awal mungkin menegakkan kesakralan sumpah. Orang tidak boleh menganggap remeh janji kepada Allah. Sayangnya, orang-orang Farisi menjadikan tradisi yang baik ini sebagai pembenaran untuk melanggar firman Tuhan. Mereka lupa bahwa tradisi religius bukanlah firman Tuhan. Otoritas tradisi tidak boleh disejajarkan dengan atau bahkan diletakkan lebih tinggi daripada firman Tuhan.
Sebagai contoh yang baik adalah penampilan pada saat beribadah. Dalam tradisi Kristen tertentu beribadah merupakan hal yang sangat dipentingkan. Sebagai wujudnya, orang-orang menyiapkan pakaian yang khusus dalam ibadah. Mereka menyebut sebagai “baju gereja” atau “baju agama.” Mereka tidak mau asal-asalan dalam beribadah. Motivasi ini jelas mulia. Sayangnya, tradisi seperti ini lama-lama dijadikan firman Tuhan. Siapa yang melanggar tradisi ini dianggap tidak menghormati Tuhan dalam ibadah.
Ketiga, jika sebuah tradisi menjadi kemunafikan (ayat 7-9). Apa yang dilakukan oleh orang yang sedang dibicarakan di ayat 5-6 mungkin terlihat sangat saleh. Orang itu terlihat begitu mengasihi Allah, bahkan jauh di atas kasihnya kepada orang tua. Apa yang tampak dari luar ternyata tidak mewakili apa yang ada dalam hati. Sama seperti bangsa Yehuda pada zaman Yesaya, mereka hanya memuliakan Allah di bibir saja, padahal hatinya jauh dari Allah (Yes. 29:13). Yesus menilai mereka sebagai orang yang munafik.
Istilah “munafik” di sini merujuk pada tindakan yang tidak konsisten (apa yang ditampilkan tidak mewakili apa yang ada dalam hati seseorang). Manifestasi berbeda dengan esensi. Kemunafikan jenis ini seringkali terlihat dalam tradisi-tradisi tertentu. Inti dari apa yang diperjuangkan dalam sebuah tradisi ternyata justru sedang disangkali. Sebagai contoh, orang bertengkar gara-gara seragam dalam pelayanan padahal tujuan seragam adalah untuk menbangun kesatuan.
Keempat, jika sebuah tradisi mengabaikan inti persoalan (ayat 10-14). Bagian ini bukan hanya merangkum semua yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, tetapi juga menambahkan poin penekanan yang lain. Yang Yesus setujui dari pandangan orang-orang Farisi dan ahli Taurat adalah nilai penting kesucian. Segala sesuatu yang berpotensi menajiskan hidup manusia harus dihindari dan dicarikan solusi. Perbedaannya terletak pada diagnosa akar persoalan. Yesus melihat persoalan kenajisan terletak pada hati manusia (15:11). Dari hati yang jahat muncul segala sesuatu yang jahat pula (15:18-20). Jika hati adalah akar persoalannya, melakukan ritual apapun tidak akan memadai sebagai solusinya.
Mereka yang merasa diri mampu untuk menyelesaikan persoalan hati dengan usaha sendiri diumpamakan seperti orang buta yang menuntun orang buta (15:13-14). Mereka bukan hanya meletakkan diri sendiri dalam bahaya, tetapi juga orang lain bersama mereka. Apa yang mereka hasilkan tidak akan bertahan lama. Ibarat sebuah tanaman, hasil usaha mereka akan dicabut oleh Allah (15:12). Itulah yang akan terjadi pada mereka yang mengandalkan tradisi. Perubahan jaman akan meniadakan kekuatan sebuah tradisi. Hanya firman Tuhan yang tidak lekang oleh jaman sehingga dapat diandalkan di sepanjang jaman.
Persoalan hati hanya bisa diatasi oleh Allah sendiri. Allah membuka hati seseorang supaya orang itu mampu memahami dan menerima Injil dengan sepenuh hati (Kis. 16:14). Hati nurani kita perlu disucikan oleh kurban Kristus yang sempurna (Ibr. 9:14). Soli Deo Gloria.
Photo by Mingwei Lim on Unsplash