Kebebasan dari Kebebasan Palsu (Galatia 5:13-15)

Posted on 01/05/2022 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/06/Kebebasan-dari-Kebebasan-Palsu-Galatia-5-13-15.jpg Kebebasan dari Kebebasan Palsu (Galatia 5:13-15)

“Kebebasan” merupakan sebuah istilah dengan makna yang cukup membingungkan. Banyak jargon keliru berkeliaran atas nama kebebasan. Sebagai contoh, “Lakukan apa saja yang membuat kamu bahagia, yang penting tidak merugikan orang lain.” Konsep moral seperti ini sukar untuk dibenarkan, karena masing-masing kita memiliki tanggung-jawab pada orang lain, lebih daripada sekadar “tidak mengganggu.” Jika manusia memang diciptakan untuk saling mengasihi, kasih tidak mungkin berhenti pada “tidak mengganggu” saja. Jika kebutuhan orang lain datang, kita harus siap mengulurkan tangan.

Dalam khotbah hari ini kita akan melihat bagaimana Paulus menggabungkan dua konsep yang agung ini: kebebasan dan kasih. Kebebasan tanpa kasih akan menghasilkan kekacauan dan ketakutan. Begitu pula kasih tanpa kebebasan hanyalah sebuah keterpaksaan.

 

Kebebasan di dalam Kristus (ayat 13a)

Kekristenan tidak anti terhadap kebebasan. Paulus bahkan menegaskan bahwa kita dipanggil untuk merdeka (lit. “kepada kebebasan/kemerdekaan”). Bentuk pasif “dipanggil” (eklēthēte) yang tanpa subjek eksplisit menyiratkan bahwa yang memanggil adalah Allah sendiri. Tafsiran ini didukung oleh 5:8 (“Ajakan untuk tidak menurutinya lagi bukan datang dari Dia, yang memanggil kamu”). Ketika menegur sebagian jemaat Galatia yang terpengaruh oleh Injil palsu, Paulus berkata: “Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu injil lain” (1:6).

Panggilan ini menyiratkan kasih karunia dari Allah. Paulus menggunakan kata yang sama untuk menyatakan panggilannya sebagai rasul menurut kasih karunia Allah. Dia menyebut Allah sebagai “yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya” (1:15). Paulus telah dipanggil oleh Allah bahkan sebelum dia keluar dari rahim ibunya. Dia belum bisa melakukan apa-apa, tetapi Allah sudah memanggil dia. Kasih karunia memang selalu mendahului semua usaha kita.

Panggilan Allah jelas bukan sekadar tawaran. Allah yang memanggil kita adalah Allah yang memampukan kita untuk mendengar dan menanggapi panggilan-Nya. Rencana keselamatan kekal Allah tidak mungkin gagal.

Panggilan ilahi ini membawa kita pada kebebasan di dalam Kristus. Hal ini berarti kita tidak lagi berada di bawah tuntutan dan kutukan Hukum Taurat. Kesempurnaan hidup Kristus telah memenuhi seluruh tuntutan Hukum Taurat bagi kita. Kesempurnaan kematian-Nya telah menanggung seluruh kutukan Hukum Taurat bagi kita. Kita benar-benar merdeka!

 

Respons yang benar terhadap kebebasan (ayat 13b-15)

Pembahasan Paulus tentang kebebasan tidak berhenti pada apa yang dilakukan oleh Kristus bagi kita. Dia juga mengajarkan bagaimana kita seharusnya menanggapi kebebasan ini (5:13b-14). Dia bahkan memberikan peringatan serius apabila kita tidak mengindahkan nasihatnya (5:15).

Apa yang disampaikan di ayat 13b-15 merupakan antisipasi sekaligus teguran. Sejak awal surat ini Paulus berkali-kali menentang legalisme Yahudi yang mengajarkan pembenaran di hadapan Allah melalui ketaatan pada Hukum Taurat sesuai dengan tradisi Yahudi. Upaya ini pasti gagal karena ketaatan yang dituntut oleh Allah adalah sempurna (3:10 “Karena semua orang, yang hidup dari pekerjaan hukum Taurat, berada di bawah kutuk. Sebab ada tertulis: ‘Terkutuklah orang yang tidak setia melakukan segala sesuatu yang tertulis dalam kitab hukum Taurat.’”). Keselamatan merupakan anugerah dari Allah yang kita terima melalui iman (3:11). Kristus sudah memberikan kebebasan yang penuh dari tuntutan sunat dan kutukan Hukum Taurat (5:1-4).

Sebagian jemaat mungkin bisa salah memahami maksud Paulus. Penolakan terhadap legalisme kadangkala bisa di(salah)pahami sebagai dorongan untuk mengadopsi antinomianisme (anti = melawan, nomos = hukum, isme = ideologi/paham). Sebagian orang mungkin saja beranggapan bahwa mereka tidak wajib lagi menaati perintah-perintah Allah. Mereka mengabaikan sebuah kebenaran penting: kita memang diselamatkan hanya melalui iman saja, tetapi iman yang menyelamatkan tidak mungkin sendirian saja. Ketaatan adalah bukti iman.

Ketaatan yang dimaksud oleh Paulus di sini diungkapkan secara pasif maupun aktif. Secara pasif, kita tidak boleh menggunakan kebebasan “sebagai kesempatan untuk kehidupan ke dalam dosa” (ayat 13b). Secara aktif, kita diperintahkan “layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (ayat 13c). Tidak cukup bagi kita hanya untuk menjauhi kejahatan. Kita juga didorong untuk melakukan kebaikan.

Frasa “kehidupan ke dalam dosa” (tē sarki) secara hurufiah berarti “untuk daging.” Kata sarx bisa memiliki arti yang netral (tubuh/materi/manusia, 1:16; 2:16; 2:20; 4:13-14, 23; 6:12-13) maupun negatif (kedagingan/natur yang berdosa, 5:16, 17, 19; 5:24; 6:8). Berdasarkan pertimbangan konteks, sarx di 5:13b lebih tepat dipahami secara negatif.

Kebebasan dalam Kristus seharusnya menjadi kebebasan dari perbudakan hawa nafsu. Dengan tegas Paulus berkata: “Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya” (5:24). Kita dibekali dengan firman Tuhan dan pimpinan Roh Kudus untuk mematikan hawa nafsu. Sayangnya, kita sendiri justru yang seringkali memberi kesempatan bagi kedagingan. Kita membuahi keinginannya sehingga melahirkan dosa. Salah satu caranya adalah dengan memiliki dan mempraktekkkan konsep kebebasan yang keliru.

Ternyata menjauhi dosa saja tidaklah cukup bagi orang percaya. Kita dibebaskan dari dosa bukan hanya untuk menikmati kebebasannya, tetapi untuk menggunakannya bagi kebaikan banyak orang. Kita diperintahkan untuk saling melayani satu sama lain oleh kasih (5:13b). Ada dua hal yang menarik dari bagian ini. Yang pertama adalah penggunaan kata “melayani” (douleuō). Kata ini sebelumnya telah digunakan dalam konteks penyembahan berhala (4:8-9 “memperhambakan diri kepada allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah”). Pemilihan kata ini di 5:13b menyiratkan bahwa pelayanan yang dimaksud bukan sekadar aktivitas rohani, melainkan pengabdian diri.

Hal kedua yang menarik dari ayat 13b adalah “oleh kasih” (dia tēs agapēs, lit. “melalui kasih”). Paulus tidak lupa memberi penjelasan tambahan bahwa kasih merupakan inti dari semua perintah Allah yang horizontal (5:14; bdk. Mat. 22:39-40; Rm. 13:10). Sebelumnya dia juga sudah menyinggung tentang “iman yang bekerja oleh kasih” (5:6).

Tambahan keterangan tentang kasih perlu digarisbawahi. Ini yang melengkapi penjelasan sebelumnya tentang pengabdian diri. Pengabdian diri kepada sesama tidak akan berarti apa-apa jika bukan kasih yang menjadi motivasinya. Pengabdian diri justru bisa menjadi sarana pemuasan diri sendiri. Terlihat begitu berdedikasi padahal hanya untuk kepentingan sendiri (bdk. 1Kor. 13:1-3).

Yang lebih buruk daripada melayani tanpa kasih adalah saling memusuhi (5:15). Ungkapan yang dipakai oleh Paulus untuk menggambarkan permusuhan di bagian ini adalah “saling menggigit dan menelan” (ayat 15a). Gambarannya adalah binatang buas yang sedang mengalami kelaparan. Dia akan terus menyerang dan memakan korban. Hasil yang diperoleh tentu saja adalah kebinasaan (ayat 15b “awaslah supaya jangan kamu saling membinasakan”).

Peringatan di ayat 15 masih berkaitan erat dengan konsep tentang kebebasan yang keliru. Mereka yang menggunakan kebebasannya secara salah pasti akan menyalahi kebebasan orang lain. Kebebasan akan menjadi sumber kekacauan. Gesekan menjadi tidak terelakkan. Sebagai contoh, seseorang bisa saja menyalahgunakan kebebasan di dalam Kristus sebagai ajang untuk arogansi karena merasa diri lebih rohani. Akibatnya, dia akan menimbulkan permusuhan dan kedengkian (5:26).

Jadi, kita patut menjaga hati dengan segala kewaspadaan karena pelayanan dan kebebasan bisa sama-sama disalahgunakan. Kuncinya terletak pada keutuhan jiwa di dalam Kristus. Mereka yang belum memiliki keutuhan diri akan menjadikan pelayanan dan kebebasan sebagai ajang untuk arogansi dan aktualisasi diri. Hanya mereka yang sudah penuh di dalam Kristus yang mampu memberi diri secara utuh bagi sesama. Melayani bukan supaya dilayani (oleh manusia), tetapi karena sudah dilayani (oleh Kristus). Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community