Sadarkah kita bahwa dunia ini sedang mengalami krisis kebenaran? Banyak orang bukan hanya tidak mengetahui kebenaran, tetapi tidak mau tahu dengan kebenaran. Benar atau salah diyakini sebagai ukuran yang relatif. Moralitas dianggap sebagai masalah personal.
Dengan kondisi seperti ini tidak mengherankan jika banyak orang meletakkan kebebasan di tempat yang paling terhormat. Mereka merasa berhak untuk melakukan apa saja. Sebagian bahkan dengan bangga memamerkan dosa-dosa mereka di depan publik sebagai sebuah protes terhadap nilai-nilai yang selama ini dianggap telah membelenggu kebebasan mereka. Berbagai slogan populer dikumandangkan dengan begitu kencang: Lakukan apa saja yang menyenangkan hatimu, jangan pedulikan orang lain; Selama kamu tidak merugikan orang lain lakukan saja apa yang kamu mau; Buat apa mempedulikan omongan orang lain? Kita tidak minta makan dari mereka koq!
Slogan-slogan seperti di atas tentu saja masih bisa diperpanjang lagi. Pesan yang disampaikan secara umum tetap sama: setiap orang bebas untuk meyakini apa saja dan melakukan apa saja sesuai dengan keyakinan itu tanpa menghiraukan pandangan atau perasaan orang lain. Sama seperti moralitas adalah personal, kebebasan juga personal. Setiap orang bebas melakukan apapun! Kira-kira itulah pesan yang sedang disuarakan.
Semangat jaman ini jelas tidak Alkitabiah. Alkitab menekankan kebebasan, tetapi tanpa mengabaikan aspek komunal. Sama seperti moralitas bersifat personal dan publik, demikian pula kebebasan bersifat personal dan komunal. Personal, karena setiap orang pada akhirnya harus bertanggung jawab atas keputusannya sendiri. Komunal, karena keputusan itu harus memedulikan sekeliling. Kebebasan bukan ketidakpedulian. Kebebasan tidak sepenuhnya personal.
Kesesatan di antara jemaat Korintus
Apa yang sedang terjadi dunia saat ini ternyata bukan hal yang baru. Tidak ada yang benar-benar baru di bawah kolong langit ini (Pkt. 1:9). Kekeliruan yang sama juga dilakukan oleh sebagian jemaat di Korintus.
Mereka melakukan percabulan dengan pelacur (6:15-16). Kaget dengan situasi ini? Tunggu dulu! Ada persoalan yang jauh lebih serius daripada percabulan. Sebagian jemaat Korintus ternyata tidak melihat percabulan sebagai sebuah persoalan. Bukankah tidak menyadari adanya persoalan merupakan persoalan yang sebenarnya? Yang lebih merisaukan seringkali bukan tindakan yang dilakukan, tetapi pemikiran dan keyakinan yang dijadikan pembenaran. Tidak menyadari sebuah persoalan, bahkan malah memberi pembenaran, merupakan persoalan yang lebih fatal. Tidak mengherankan jika Alkitab menilai orang yang menyetujui suatu pelanggaran lebih besar dosanya daripada orang yang melakukan (Rm. 1:32).
Jemaat Korintus yang melakukan percabulan mencoba untuk melindungi diri atas nama kebebasan. Slogan yang mereka jadikan perisai adalah “segala sesuatu halal bagiku” (ayat 12). Dalam terjemahan yang lebih hurufiah bagian ini berarti “segala sesuatu diperbolehkan bagiku” (panta moi exestin). Ini merupakan sebuah pernyataan yang sangat berani sekali! Kata “segala sesuatu” (panta) menyiratkan cakupan yang inklusif. Kata “bagiku” (moi) menunjukkan sisi personal yang kuat. Jika dua kata ini digabungkan kita menangkap sebuah pesan moral yang terdengar cukup mengagetkan: Segala sesuatu terserah masing-masing individu!
Dari cara Paulus meresponi slogan ini di bagian selanjutnya (lihat terutama ayat 13-15, 17) terlihat bahwa kebebasan yang diusung di sini bukan hanya secara umum (setiap orang memang memiliki kebebasan), melainkan juga secara khusus (setiap orang memiliki kebebasan di dalam Kristus). Sebagian jemaat Korintus ternyata terjebak pada antinomianisme (tidak peduli dengan hukum atau aturan-aturan). Mereka menganggap bahwa kebebasan dari Hukum Taurat melalui karya penebusan Kristus telah menjadikan mereka bebas dari semua perintah. Mereka merasa benar-benar bebas melakukan apapun.
Konsep yang keliru tentang kebebasan di dalam Kristus ini diperparah dengan pengaruh salah satu filsafat Yunani kuno yang memandang rendah segala sesuatu yang jasmaniah. Budaya Yunani kuno memang sangat dipengaruhi oleh pemikiran dualistik: yang material adalah buruk atau tidak sempurna, sedangkan yang non-material adalah baik atau sempurna. Dengan perspektif semacam ini semua hal yang bersifat jasmaniah dianggap tidak berharga. Yang material akan musnah. Pengaruh inilah yang ada di balik slogan jemaat Korintus di ayat 13a “Makanan adalah untuk perut dan perut untuk makanan: tetapi kedua-duanya akan dibinasakan Allah”.
Gabungan dua kekeliruan di atas, yaitu kebebasan antinomianistik dan dualisme Yunani, menghasilkan pelanggaran yang sangat fatal. Jemaat Korintus berbuat cabul dengan pelacur tanpa merasa bahwa hal itu merupakan suatu masalah. Mereka berpikir bahwa tubuh tidak penting sehingga bisa digunakan untuk apapun juga. Apa yang dilakukan pada tubuh (aspek jasmaniah) tidak berpengaruh terhadap jiwa/roh (aspek rohaniah). Setiap orang berhak melakukan apapun atas dirinya sendiri! Kurang lebih begitulah suara hati sebagian jemaat Korintus.
Respons Paulus: kebebasan yang benar (ayat 12)
Paulus tidak anti terhadap kebebasan, apalagi kebebasan di dalam Kristus. Dia justru menjadi salah satu pemberita yang paling tegas menyuarakan kebebasan. Bahkan gara-gara mengajarkan kebebasan di dalam Kristus Paulus berkali-kali difitnah sebagai rasul yang hanya menawarkan kemudahan religius dan mencari penerimaan banyak orang secara tidak tulus (Rm. 3:8; Gal. 1:10). Tidak jarang dia malah dianiaya gara-gara keyakinannya tersebut (Gal. 6:12-14).
Apakah dengan semua keyakinan dan pengurbanan tersebut Paulus akhirnya meletakkan kebebasan di tempat tertinggi tanpa mempedulikan orang lain? Sama sejali tidak! Kebebasan di dalam Kristus merupakan sesuatu yang patut disyukuri, tetapi tidak boleh dimanipulasi dan dieksploitasi. Kebebasan adalah anugerah, jangan sampai justru menjadi sumber masalah.
Bagaimana konsep yang benar tentang kebebasan di dalam Kristus? Bagaimana kita dapat menggunakan kebebasan dengan bijaksana? Paulus mengajarkan dua hal kepada kita.
Pertama, kebebasan harus berfaedah bagi orang lain (ayat 12a). Sebagian jemaat Korintus hanya berkutat pada isu boleh atau tidak boleh, sementara Paulus melangkah lebih jauh. Moralitas Kristiani berbicara tentang sesuatu yang “tepat” sekaligus “bermanfaat.” Mengabaikan yang pertama akan menghasilkan pragmatisme yang berbahaya, sedangkan mengabaikan yang kedua akan menimbulkan ketidakpedulian sosial. Dua aspek ini harus disandingkan secara bersamaan.
Kata “berguna” (sympherō) muncul tiga kali dalam surat 1 Korintus. Dari semua pemunculan ini terlihat bahwa faedah yang dimaksud lebih mengarah pada kegunaan bagi orang lain. Ide tentang “berguna” disejajarkan dengan “membangun” (10:23), lalu diberi penjelasan: “Jangan seorangpun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain” (10:24). Dalam diskusinya tentang karunia rohani, Paulus mengajarkan: “Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama (pros to sympheron)” (12:7).
Yang perlu digarisbawahi di sini adalah tujuan pelepasan kebebasan, yaitu membangun orang lain. Tidak semua kebebasan perlu dilepaskan. Dalam situasi tertentu kita mungkin perlu mempertahankan sebuah kebebasan apabila melepaskan kebebasan justru akan membawa mudarat bagi orang lain.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa kebebasan bukan hanya masalah personal, tetapi juga komunal. Kebebasan tidak meniadakan tanggung jawab terhadap banyak orang. Sebaliknya, setiap orang Kristen dipanggil untuk menggunakan kebebasannya bagi kepentingan orang lain. Mengurbankan kebebasan demi orang lain merupakan cerminan Injil. Kristus melepaskan kebebasan-Nya supaya kita memiliki kebebasan di dalam Dia.
Kedua, kebebasan tidak boleh menjadi perbudakan (ayat 12b). Kepada jemaat Korintus yang terlalu mengagungkan kebebasan, Paulus memberikan peringatan yang cukup keras: “tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apapun.” Kata “oleh apapun” (hypo tinos) di sini jelas mencakup kebebasan itu sendiri! Ya benar; kebebasan bisa menjadi perbudakan jika disalahgunakan. Ketika seseorang tidak mau dan tidak mampu melepaskan kebebasannya, dia telah membiarkan dirinya menjadi hamba dari kebebasannya. Bukan dia yang menguasai kebebasan, tetapi kebebasan yang menguasai dia.
Kebenaran ini merupakan tamparan keras bagi orang-orang Kristen yang merasa berhak melakukan apapun yang dia anggap benar. Mereka lupa bahwa yang menggenggam kebebasan begitu rupa sebenarnya sedang kehilangan kebebasannya. Sayangnya, situasi yang sangat ironis ini seringkali tidak disadari oleh banyak orang.
Jika seseorang merasa dirinya bebas, dia seharusnya benar-benar bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakan kebebasan itu. Jika dia selalu menggunakan kebebasan itu, bukankah hal itu membuktikan bahwa dia sedang dibelenggu oleh kebebasannya sendiri? Ingatlah, kita mungkin memiliki hak, tetapi kita juga berhak untuk melepaskan hak itu. Inilah gaya hidup yang digerakkan oleh Injil! Kristus rela melepaskan segalanya supaya kita memperoleh segalanya di dalam Dia.
Penghalang bagi banyak orang Kristen untuk melepaskan kebebasan diri sendiri bagi kepentingan orang lain adalah perasaan tidak nyaman dan tidak adil. Tidak nyaman, karena bertentangan dengan kedagingan. Natur kita yang berdosa menuntut otonomi mutlak dan pemuasan semua hak. Tidak adil, karena kita merasa ada milik kita yang diambil secara paksa. Natur kita yang berdosa cenderung meletakkan diri sendiri sebagai pusat dan penerima segalanya.
Dua perasaan yang menipu ini – tidak nyaman dan tidak adil – akan sirna apabila kita menyadari bahwa Kristuslah pemilik hidup kita dan segala yang kita miliki kita terima dari Dia. Dengan kata lain, mereka yang mengalami dan menyadari segala sesuatu adalah kasih karunia akan mampu untuk melepaskan segala sesuatu bagi sesama. Soli Deo Gloria.
Photo by Greg Rosenke on Unsplash