“Kebebasan bukan Ketidakpedulian” (1 Korintus 8:9-13)

Posted on 15/05/2022 | In Teaching | Ditulis oleh Ev. Denny Teguh Sutandio | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/06/KEBEBASAN-BUKAN-KETIDAKPEDULIAN-1-Korintus-8-9-13.jpg “Kebebasan bukan Ketidakpedulian” (1 Korintus 8:9-13)

Pernahkah kita menjumpai beberapa orang Kristen dari satu generasi mencibir orang Kristen dari generasi lainnya dengan kata-kata kasar tanpa memperhatikan perasaan dan latar belakang orang yang dicibir tersebut? Atas nama “memberitakan kebenaran,” mereka tidak peduli dengan pergumulan orang Kristen dari generasi lainnya. Gambaran serupa juga terjadi di dalam satu kelompok jemaat Korintus yang tidak peduli dengan kelompok jemaat Korintus yang lain. Lalu, bagaimana Paulus menghadapi hal ini?

 

Bebas Bukan Berarti Tidak Peduli Dengan Keberatan Orang Lain (ay. 9-10)

Di dalam 1 Korintus 8, Paulus sedang membahas konflik antara jemaat Korintus yang kaya dan merasa kuat imannya vs jemaat yang miskin dan lemah imannya. Jemaat yang kaya dan merasa kuat imannya dengan santainya makan makanan hasil persembahan berhala tanpa mempedulikan keberatan hati nurani jemaat Korintus yang lemah imannya karena bagi jemaat yang kuat imannya, tindakan tersebut berdasarkan teologi yang benar yaitu semua ilah mati, sedangkan Allah yang hidup (ay. 1-4). Padahal ada jemaat Korintus yang miskin dan lemah imannya yang keberatan dengan jemaat Korintus yang kuat imannya karena bagi jemaat Korintus yang miskin imannya, makan makanan hasil persembahan berhala tidak alkitabiah karena makanan tersebut dipersembahkan kepada berhala dan berhala jelas bukan Allah sejati. Di satu sisi, Paulus menyetujui konsep jemaat Korintus yang kuat imannya bahwa hanya ada satu Allah yang hidup (ay. 6), namun di sisi lain, tidak semua orang memiliki pengetahuan ini karena ada jemaat yang masih keberatan dengan makan makanan hasil persembahan berhala (ay. 7). Kemudian, Paulus berkata bahwa makanan tidak membuat kita lebih dekat kepada Allah (ay. 8).

Oleh karena itu, Paulus menyimpulkan pengajarannya, “Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah.” (ay. 9). “Batu sandungan” di Perjanjian Baru merujuk pada sikap seseorang yang egois yang membuat orang lain jatuh dalam dosa (ay. 11; Mat. 18:6) (Paul Ellingworth dan Howard A. Hatton, A Handbook on Paul’s First Letter to the Corinthians, 188 dan Anthony C. Thiselton, The First Epistle to the Corinthians, 650). Ini berarti meskipun jemaat Korintus yang kuat imannya bebas makan makanan hasil persembahan berhala, mereka tidak boleh menggunakan kebebasan itu secara egois untuk mendorong beberapa jemaat Korintus yang lemah imannya berdosa. Bagaimana caranya jemaat Korintus yang kuat imannya mendorong beberapa jemaat Korintus yang lemah imannya? Di ayat 10, Paulus menjelaskannya dengan menggunakan contoh “pengandaian” bahwa jika ada jemaat Korintus yang lemah imannya melihat jemaat Korintus yang kuat imannya sedang duduk makan makanan hasil persembahan berhala di kuil berhala, maka jemaat Korintus yang lemah imannya mengikuti teladan jemaat Korintus yang kuat imannya dengan memakan daging tersebut. Ini berarti jemaat Korintus yang kuat imannya secara tidak sadar sedang menggerakkan jemaat Korintus yang lemah imannya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan iman dan hati nuraninya. Dengan kata lain, jemaat Korintus yang lemah imannya semakin dilemahkan, bukan dikuatkan (David Prior, The Message of 1 Corinthians: Life in The Local Church, 148).

Makan makanan hasil persembahan berhala mungkin dapat dikategorikan sebagai hal yang tidak terlalu penting dalam Kekristenan. Paulus mengajarkan bahwa hal-hal tersebut tidak perlu diributkan. Ketika orang Kristen meributkan hal-hal ini, maka itu akan berdampak kepada pelemahan iman atau hati nurani orang Kristen lainnya. Namun ironisnya beberapa orang Kristen meributkan hal-hal yang tidak penting, salah satunya kostum beribadah. Beberapa orang Kristen senior menganggap kostum beribadah harus rapi, tidak boleh menggunakan celana jeans, rambut panjang bagi cowok, dll. Hal ini mengakibatkan beberapa orang Kristen junior atau milenial menjadi kaum tersisihkan di gereja, sehingga mereka memutuskan untuk tidak menginjakkan kaki mereka di gereja.

 

Alasan Tidak Boleh Tidak Peduli Dengan Keberatan Orang Lain (ay. 11-12)

Lalu, apa alasan kita sebagai orang percaya tidak boleh tidak peduli dengan keberatan orang percaya lain yang lemah imannya? Di ayat 11, Paulus berkata bahwa orang percaya yang lemah imannya adalah “saudaramu, yang untuknya Kristus telah mati,” Ini berarti jemaat Korintus yang kuat imannya seharusnya menganggap jemaat Korintus yang lemah imannya sebagai saudara seiman di dalam Kristus. Alasan ini menjadi dasar jemaat Korintus yang kuat imannya seharusnya tidak boleh menghancurkan iman jemaat Korintus yang lemah imannya. Mengapa? Karena Kristus telah mati menghancurkan kematian rohani dan memberi kehidupan kekal bersama dengan Bapa di Surga, maka jemaat Korintus yang kuat imannya dengan pengetahuannya tidak boleh mendorong jemaat Korintus yang lemah imannya untuk bertindak bertentangan dengan iman atau hati nuraninya yang berakibat pada kehancuran/kebinasaan (ay. 11b) (Alan F. Johnson, 1 Corinthians, 142).

Karena Kristus telah mati menyelamatkan jemaat Korintus yang lemah imannya, maka ketika jemaat Korintus yang kuat imannya menghancurkan iman dari jemaat Korintus yang lemah imannya, mereka sedang berdosa (ay. 12a). Mengapa? Karena tindakan jemaat Korintus yang kuat imannya bertentangan dengan Kristus dan panggilan orang percaya: Pertama, jemaat Korintus yang kuat imannya menghancurkan jemaat Korintus yang lemah imannya, sedangkan Kristus mati untuk menyelamatkan jemaat Korintus yang lemah imannya (Kol. 1:13) (Preben Vang, 1 Corinthians, 276). Oleh karena itu, Paulus menyimpulkan bahwa ketika jemaat Korintus yang kuat imannya dengan pengetahuannya menghancurkan iman jemaat Korintus yang lemah imannya, mereka sedang berdosa terhadap Kristus (ay. 12b). Kedua, jemaat Korintus yang kuat imannya bertentangan dengan panggilan orang percaya yang seharusnya saling menumbuhkan iman.

Konsep Paulus mengajar kita untuk mengakui sesama orang percaya yang tingkat imannya berbeda dengan kita sebagai orang percaya juga. Sebagai orang percaya, kita seharusnya menganggap orang Kristen dari generasi atau kebudayaan yang berbeda sebagai sesama orang percaya, bukan sebagai orang yang dicap tidak memiliki etika berpakaian, kebudayaan/tradisi gerejawi, dll.

 

Respons yang Tepat Terhadap Keberatan Orang Lain (ay. 13)

Karena Kristus telah mati bagi jemaat Korintus yang lemah imannya, maka Paulus mengajarkan solusi yang terbaik yaitu kita menggunakan kebebasan yang telah Kristus berikan kepada kita untuk mempedulikan keberatan jemaat Korintus yang lemah imannya. Caranya dijelaskan di ayat 13 bahwa kalau makanan menjadi batu sandungan bagi saudara seiman yang lemah imannya, maka Paulus tidak akan mau makan daging lagi. Thomas R. Schreiner menafsirkan bahwa Paulus memakai bahasa hiperbola dan artinya bukan berarti ia tidak mau makan daging sama sekali, tetapi ia benar-benar menunjukkan kasih yang radikal. Kasih ini diwujudkan dengan cara ia tidak akan makan daging lagi kalau tindakannya membuat jemaat Korintus yang lemah imannya semakin berdosa karena bertindak sesuatu yang bertentangan dengan imannya (Thomas R. Schreiner, 1 Corinthians, 281). Tindakan Paulus menunjukkan bahwa ia menempatkan iman atau hati nurani saudara seiman yang lemah imannya di atas hak Paulus (Marion L. Soards, 1 Corinthians, 291). Ini menunjukkan kasih di atas pengetahuan (ay. 3).

Sebagai orang percaya, kita seharusnya mengasihi saudara seiman khususnya yang lemah imannya dengan tidak menganggap keberatan mereka sebagai sesuatu yang penting. Kalau keberatan mereka tidak penting, maka kita seharusnya bisa menempatkan mereka dan keberatan mereka di atas hak dan kebebasan kita. Artinya kita siap “menyalibkan” hak dan kebebasan kita demi keberatan mereka. Ketika salah satu generasi di gereja memiliki keberatan tertentu di gereja, maka generasi yang lain seharusnya menempatkan keberatan generasi ini siap menyalibkan hak dan kebebasan mereka agar generasi yang memiliki keberatan tersebut dikasihi dan diterima di gereja dan itu merupakan bukti kasih dan kebebasan yang telah Kristus berikan kepada kita. “Kristus telah membebaskan kita dari kuasa dosa, iblis, dan maut agar kita menggunakan kebebasan itu untuk berelasi dengan Allah sekaligus dengan sesama orang percaya dengan menyalibkan kebebasan kita demi kepentingan sesama orang percaya.” Amin. Soli Deo Gloria.

Photo by Jackson David on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Ev. Denny Teguh Sutandio

Reformed Exodus Community