Dunia ini semakin terbiasa dengan kepalsuan. Kejahatan dibungkus dengan kesopanan. Keramahan menjadi alat penipuan. Pemberian ternyata jebakan. Pendeknya, kebaikan sering dimanfaatkan untuk kejahatan.
Di tengah situasi seperti ini setiap anak Tuhan dipanggil untuk membawa perbedaan. Kita menunjukkan bukan sembarang kebaikan, tetapi kebaikan yang bersumber dari kesungguhan. Dari hati yang mengasihi. Dari motivasi yang murni.
Apa yang dimaksud dengan kasih yang tulus? Apakah wujud konkrit dari kasih yang seperti ini? Teks kita hari ini akan menjawab dua pertanyaan ini.
Ada dua hal menarik tentang teks ini yang perlu untuk diperhatikan. Yang satu adalah posisi teks. Yang lain adalah struktur teks.
Dari sisi posisi, nasihat tentang kasih (12:9-11) muncul tepat sesudah topik tentang pelayanan (12:3-8). Hal ini tentu saja bukan suatu kebetulan. Paulus ingin menegaskan bahwa pelayanan kepada sesama tidak akan bermakna tanpa kasih kepada sesama. Tidak peduli seberapa hebat kapasitas dan hasrat seseorang dalam pelayanan, selama hal itu tidak disertai dengan kasih akan menjadi sia-sia belaka (1Kor. 13:1-3).
Dari sisi struktur, para penafsir Alkitab berbeda pendapat tentang posisi 12:9a. Dalam teks Yunani, bagian ini tidak memiliki kata kerja yang eksplisit, sehingga bisa diterjemahkan secara beragam: kasih yang tulus, kasih adalah tulus, atau kasih harus tulus. Banyak terjemahan mengadopsi arti yang terakhir (berbentuk perintah/imperatif). Dalam khotbah hari ini, ayat 9a diterjemahkan sesuai opsi pertama. Dengan demikian, bagian ini lebih berfungsi sebagai judul atau payung yang menaungi bagian-bagian lain (12:9b-16).
Ketulusan kasih (ayat 9a)
Ada banyak kerancuan tentang arti kata “kasih” atau “cinta”. Sebagian orang membatasi artinya hanya pada perasaan belaka. Semakin besar perasaan yang ada dianggap semakin besar cinta yang ada. Sebagian lagi menyamakan semua “perbuatan baik” dengan kasih, tidak peduli dengan dorongan apa yang ada di baliknya.
Paulus di sini tidak membicarakan tentang sembarang kasih. Kasih yang dibicarakan adalah kasih yang tertentu. Di depan kata “kasih” (agapÄ“) ada artikel (hÄ“), yang menurut tata bahasa Yunani menyiratkan sesuatu yang spesifik.
Bagi yang membaca Surat Roma dari awal pasti akan mengenali kasih apa yang dimaksud di sini. Ini adalah kasih yang dicurahkan oleh Roh Kudus ke dalam hati orang percaya (Rm. 5:5). Ini adalah kasih yang ditunjukkan oleh Kristus di atas kayu salib bagi kita yang dulu masih berdosa, lemah, dan menjadi musuh Allah (Rm. 5:5-7). Begitu kuatnya kasih ini, sampai-sampai tidak ada satu makhluk atau peristiwa apapun yang bisa membuat orang-orang percaya terpisah dari kasih ini (Rm. 8:35-39).
Jika kasih seperti ini ada pada kita secara berlimpah-limpah, seharusnya kita akan mengalami kesulitan untuk menunjukkannya. Kita tidak diminta untuk memberikan apa yang kita tidak punya. Kita tidak diminta untuk membagi apa yang belum kita alami. Sayangnya, mereka yang mengaku sudah mengalami dan mensyukuri kasih Allah justru kadangkala gagal membuktikan itu dalam perilaku mereka. Kegagalan untuk berbagi kasih adalah kegagalan yang tragis.
Beberapa orang sudah mencoba berbuat baik. Sayangnya, usaha ini tidak dilandasi oleh alasan yang benar. Perkataan dan tindakan tidak didorong oleh kasih yang mendalam. Tidak ada kesungguhan. Hanya keterpaksaan atau keramahan formal. Inilah yang sedang ditentang oleh Paulus.
Kata anypokritos (LAI:TB “tidak berpura-pura”) berkaitan dengan topeng yang biasa digunakan dalam pertunjukan teater Yunani-Romawi kuno. Para pemain teater seringkali harus memerankan tokoh yang sangat berbeda dengan karakter mereka sehari-hari. Kasih orang Kristen tidak boleh seperti ini. Apa yang ada di luar harus sama dengan apa yang ada di dalam. Kasih bukan pertunjukan. Kasih bukan kemunafikan. Kasih adalah perwujudan apa yang ada dalam hati.
Wujud konkrit kasih yang tulus (ayat 9b-11)
Seperti sudah disinggung sebelumnya, kasih bukan sekadar perasaan. Kasih perlu dibuktikan melalui tindakan. Begitu pula tidak semua tindakan dilandasi oleh kasih. Jadi, kita perlu menjaga keseimbangan antara kasih dalam arti perasaan, dorongan, dan tindakan.
Apa saja wujud konkrit dari kasih tersebut? Yang pertama adalah kecintaan terhadap kebaikan (ayat 9b). Bagian ini sebaiknya dianggap satu, sama seperti mata uang koin dengan dua sisi. Yang satu tidak bisa berdiri sendiri tanpa yang lain. Begitu pula sebaliknya.
Terjemahan LAI:TB “menjauhi” terkesan terlalu lemah. Hampir semua versi Inggris memilih “membenci”. Inipun mungkin masih belum sempurna. Kata Yunani apostygeÅ mengandung makna “sangat membenci” atau “menganggap jijik”. Bukan sekadar tidak suka secara pasif, tetapi benar-benar aktif memusuhi. Jadi, kita harus sunguh-sungguh membenci kejahatan, bukan sekadar menjauhi.
Terjemahan LAI:TB “melakukan” juga masih kurang tegas. Kata dasar kollaomai seringkali digunakan untuk hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan (Mat. 19:5) atau sesuatu yang melekat (Lk. 10:11). Pemunculan kallaomai di tulisan Paulus yang lain merujuk pada hubungan seksual dan keterikatan dengan Allah (1Kor. 6:16-17). Semua penggunaan kata ini menunjukkan bahwa kallaomai menyiratkan keterikatan dan keterikatan yang erat (bdk. versi-versi Inggris “cleave”, “cling” atau “hold fast”). Maksudnya, perbuatan baik sudah sedemikian melekat pada kita dan menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita.
Yang kedua adalah kasih persaudaraan yang penuh afeksi (ayat 10a). Terjemahan LAI:TB “hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara” agak kurang kuat dalam mengungkapkan penekanan di teks Yunaninya. Secara hurufiah bagian ini dapat diterjemahkan sebagai berikut; “dalam kasih persaudaraan, hendaklah kalian saling mengasihi dengan sungguh-sungguh”. Kata “kasih” (philia/philos) muncul dua kali: philadelphia (kasih persaudaraan) dan philostorgoi (mengasihi dengan sangat). Pemunculan dua kali ini jelas bersifat menegaskan.
Pemunculan kata philadelphia dan philostorgoi sekaligus menerangkan kualitas kasih seperti apa yang seharusnya ditunjukkan. Kasih kita kepada sesama orang percaya adalah kasih persaudaraan (philadelphia), karena kita semua adalah anak-anak Allah (Rm. 8:14-17). Perbedaan etnis, usia, status ekonomi, dan status sosial dilarutkan bersama-sama dalam satu status: kita semua adalah anak-anak Allah. Kita bersaudara.
Lebih lanjut, kasih ini bukan hanya sekadar jargon teologis. Ada afeksi di dalamnya (KJV/ESV). Ada hasrat yang besar untuk menyatakannya. Ada ekspresi yang menunjukkannya. Kasih bukan hanya tentang teologi, tetapi juga hati.
Yang ketiga adalah penghargaan kepada sesama (ayat 10b). Ayat ini tidak begitu mudah untuk diterjemahkan. Kata proÄ“geomai bisa berarti “mendahului” (RSV/ESV; lihat Ams. 17:14) atau “menganggap sesuatu lebih baik” (NASB/NIV; lihat LXX Ul. 20:9). Opsi ke-1 mengarah pada waktu, sedangkan yang ke-2 lebih ke arah tingkatan atau keutamaan.
Terlepas dari terjemahan mana yang diambil, poin yang ingin disampaikan tidak terlalu jauh. Penghargaan dan penghormatan kepada sesama adalah perwujudan cinta. Bukan didasarkan pada prestasi dan posisi. Bukan pula pada talenta dan harta. Semua orang – tanpa terkecuali – berhak untuk dihargai dan dihormati oleh semua orang – tanpa terkecuali.
Penghormatan yang kita berikan bukanlah respons terhadap penghormatan yang kita terima. Entah orang lain menghormati kita atau tidak, penghormatan kepada orang lain tetap harus diberikan. Jangan menunggu. Jangan menuntut.
Yang keempat adalah antusiasme (ayat 11). Ada banyak alasan mengapa orang kehilangan kegairahan dalam pelayanan: kurang bimbingan, kurang penghargaan, kurang dukungan, dsb. Kemalasan dan keengganan kadangkala menghadang di tengah jalan. Rutinitas juga seringkali menjadi racun yang ganas. Hanya sekadar melayani, tetapi tanpa hati, tanpa arti.
Bagaimana kita bisa melayani dengan rajin? Paulus mengingatkan jemaat di Roma untuk menyala-nyala dalam roh (ayat 11a). Teks Yunani tidak memberi petunjuk apakah pneuma di sini merujuk pada roh manusia (“roh”) atau Roh Kudus (“Roh”). Mayoritas penerjemah memahami pneuma di sini sebagai roh manusia.
Walaupun demikian, saya berpendapat sebaliknya. Opsi yang dianut oleh mayoritas ini membuat ayat 11b identik dengan ayat 11a (sama-sama menasihati agar rajin atau bersemangat). Hal ini rasanya tidak diperlukan. Opsi kedua (pneuma = Roh) berfungsi untuk memberikan penjelasan: kita dapat melayani dengan rajin, karena roh kita dikobarkan oleh Roh Kudus. Kita memang tidak boleh memadamkan Roh (1Tes. 5:19) atau melalaikan karunia Allah dalam diri kita (1Tim. 4:14). Sebaliknya, kita harus mengobarkannya (2Tim. 1:6).
Kunci kedua untuk melayani dengan rajin adalah memiliki objek pelayanan yang benar. Paulus menutup ayat 11 dengan “layanilah Tuhan!”. Tuhanlah yang seharusnya menjadi objek pelayanan kita.
Keengganan dalam pelayanan seringkali disebabkan oleh kekecewaan. Bukan terhadap Tuhan, tetapi orang. Kita merasa tidak dihargai dan tidak diperhatikan. Jika kita melakukannya untuk Tuhan, kita akan memandang pelayanan sebagai sebuah anugerah yang besar. Bisa melayani saja sudah berkat dan kemurahan yang luar biasa. Bagaimana kita mau mengharapkan yang lain-lain? Pelayanan adalah sebuah kehormatan, bukan pengurbanan. Pelayanan adalah berkat, bukan alat untuk mendapatkan berkat.
Seberapa besar kasih Anda kepada sesama? Seberapa besar kesungguhannya? Marilah kita belajar melayani dengan hati sama seperti Kristus yang rela datang ke bumi untuk melayani dan mati . Soli Deo Gloria.