
Kasih adalah salah satu elemen terpenting dalam kehidupan manusia. Demi mendapatkan kasih, orang rela melakukan apapun. Untuk mengungkapkan kasih, orang rela membayar harga setinggi apapun. Bukan tanpa alasan apabila kisah tentang kasih - seorang ayah yang harus mempertaruhkan nyawa demi anaknya, seorang laki-laki yang mati demi kekasihnya, dsb., - menjadi tema favorit dalam berbagai film, drama, dan novel.
Kasih seperti di atas adalah kasih yang umum. Allah memberikan kapasitas kepada semua orang untuk menghargai, mendambakan, dan mempraktekkan kasih. Kesadaran sebagai sesama manusia seringkali sudah cukup sebagai alasan untuk saling mengasihi. Relasi yang unik antara dua orang, entah hubungan darah atau pertalian kasih, menjadi landasan yang kuat untuk saling mencintai.
Walaupun demikian, bukan kasih secara umum yang sedang dibicarakan di 1 Yohanes 4:7-12. Kasih di sini bersifat theosentris (berpusat pada Allah). Setiap kali seseorang mempraktekkan kasih ini, orang lain akan tahu bahwa orang itu lahir dari Allah dan mengenal Allah (ayat 7). Kasih berasal dari Allah (ayat 7a), sehingga siapa saja yang berasal dari Allah, kehidupannya pasti akan diwarnai dengan kasih.
Sebaliknya, apabila seseorang tidak menunjukkan kasih ini kepada orang lain, hal itu membuktikan bahwa ia tidak (atau belum) mengenal Allah (ayat 8a). Peringatan ini perlu digarisbawahi. Kesejatian iman tidak hanya dilihat dari kebenaran doktrinal (4:1-6), melainkan juga kesungguhan kasih (4:7-8).
Bagaimana seseorang dapat mengamalkan kasih yang theosentris? Kuncinya terletak pada pengertian dan pengalaman terhadap kasih Allah melalui Tuhan Yesus Kristus. Tanpa mengerti dan mengalami kasih ilahi tersebut, seseorang tidak akan sanggup mencapai standar kasih yang diharapkan oleh Allah.
Apa saja karakteristik kasih ilahi tersebut?
Karakteristik kasih Allah (ayat 8b-10)
Untuk memudahkan pemahaman, karakteristik kasih Allah di bagian ini dapat diwakili oleh tiga kata kunci. Yang pertama adalah hakikat (ayat 8b). Ungkapan “Allah adalah kasih” sekilas terdengar sangat klise dan sederhana. Namun, jika kita tidak berhati-hati untuk merenungkannya, kita akan terjebak pada beberapa kekeliruan.
Yohanes tidak mengatakan “kasih adalah Allah” (love is God). Walaupun kasih memang sangat penting, kita tidak sepatutnya memberhalakan kasih. Ada berapa banyak orang yang mengatasnamakan kasih atau cinta lantas melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Demi mendapatkan cinta, sebagian orang rela meninggalkan Allah dan kebenaran-Nya. Bukan ini maksud Yohanes.
Yohanes juga tidak sedang mengatakan “Allah adalah pengasih” (God is loving), seolah-olah kasih adalah salah satu sifat Allah. Walaupun Allah memang pengasih dan penyayang (Kel 22:27; 34:6), tetapi bukan itu yang sedang ditekankan di sini. Ada hal yang lebih mendalam di sini.
1 Yohanes 4:8b mengajarkan tentang kasih sebagai bagian tak terpisahkan dari hakikat Allah. Ini berbicara tentang sesuatu yang begitu melekat dalam esensi ilahi. Sama seperti panas tidak mungkin terpisahkan dari matahari, demikian pula kasih tak terceraikan dari Allah. Sama seperti esensi dari sebuah es adalah dingin, demikian pula dengan esensi ilahi adalah kasih.
Konsep ini terbilang cukup unik. Beberapa agama atau aliran kepercayaan mengajarkan keberadaan ilahi yang tidak bepribadi (impersonal). Allah hanya dipahami sebagai sebuah sumber keberadaan atau sebuah pemikiran universal. Beberapa aliran filsafat tertentu dalam budaya Yunani-Romawi juga mengadopsi pandangan seperti ini. Konsep seperti ini cenderung sangat abstrak dan kering.
Dengan mengatakan “Allah adalah kasih,” Yohanes sedang menegaskan keberadaan Allah yang berpribadi (personal). Tanpa kepribadian tidak mungkin ada kasih, karena sesuatu yang tidak berpribadi tidak memiliki kapasitas untuk mengasihi maupun menghargai kasih.
Bahkan sebelum ada segala sesuatu, Allah tetap adalah kasih. Kejamakan Pribadi dalam keesaan Allah memungkinkan sebuah kasih yang kekal. Bapa telah mengasihi Yesus Kristus sebelum dunia dijadikan (Yoh 17:24).
Kata kunci kedua yang menggambarkan karakteristik kasih Allah adalah bukti (ayat 9). Yohanes bukan berhenti pada hakikat Allah di dalam kekekalan. Ia juga menandaskan kasih Allah di dalam sejarah. Allah yang kekal tersebut sudah diwujudkan di dalam kesementaraan.
Kata “dinyatakan” (ephanerōthē) memiliki kata dasar phaneroō, yang mengandung makna menyingkapkan atau memperlihatkan sesuatu yang sebelumnya tersembunyi. Sesuatu yang dinyatakan tersebut sebelumnya sudah ada, hanya saja belum terlihat secara jelas. Jadi, “nyata” di sini bukan lawan dari “semu”. Mungkin terjemahan yang lebih tepat dan jelas adalah “menunjukkan” (NIV) atau “memanifestasikan” (mayoritas versi Inggris).
Kasih yang sejak kekekalan sudah ada dalam diri Allah Tritunggal telah ditunjukkan melalui sebuah peristiwa sejarah. Kasih itu sudah terbukti secara nyata. Penambahan kata “di tengah-tengah kita” (en hēmin) mempertegas historisitas pembuktian tersebut. Kedatangan Kristus ke dalam dunia bukan sebuah dongeng yang tak bisa ditelusuri kebenarannya. Rasul Yohanes tampaknya sangat memperhatikan aspek ini. Di awal kitab injilnya, ia menyatakan “Firman itu telah menjadi daging…kita telah melihat kemuliaan-Nya” (Yoh 1:14). Di awal suratnya pun ia berkali-kali menandaskan bahwa ia dan rasul-rasul lain telah mendengar, melihat, dan mengalami sendiri kehidupan Yesus Kristus (1 Yoh 1:1-3).
Untuk membuktikan kasih-Nya, Allah rela membayar harga yang sedemikian mahal. Ia telah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia untuk memberikan kehidupan kekal bagi kita (4:9b). Dalam teks Yunani, kita dapat dengan jelas melihat bahwa titik berat dalam bagian ini terletak pada harga pembuktian. Secara hurufiah, teks ini berbunyi “bahwa Anak-Nya, yang tunggal itu, Allah telah utus ke dalam dunia”.
Istilah “tunggal” (monogenēs) memang bisa merujuk pada jumlah yang hanya satu. Kata ini kadangkala digunakan untuk anak satu-satunya (Luk 7:12; 8:42; 9:38). Walaupun demikian, kata monogenēs memiliki makna lebih daripada sekadar jumlah. Kata ini lebih mengarah pada relasi yang intim dan unik. Sebagai contoh, walaupun Abraham memiliki beberapa anak, tetapi yang disebut monogenēs Abraham hanyalah Ishak (Ibr 11:17). Ishak adalah anak perjanjian dan anak kesayangan. Berdasarkan pertimbangan ini, penerjemah NIV lebih memilih “one and only”.
Harga mahal yang dibayar oleh Allah demi kasih-Nya kepada kita adalah Anak-Nya sendiri, satu-satunya, yang intim dan unik bagi Dia. Ini adalah bukti terbesar dari kesempurnaan kasih Allah. Kasih-Nya bukan sekadar sebuah konsep yang abstrak, melainkan sudah diwujudkan dalam sebuah tindakan konkrit. Kasih Allah bukan hanya diketahui dari nama atau sifat-Nya, tetapi juga dari kerelaan-Nya dalam mengutus Anak-Nya ke dalam dunia demi orang yang berdosa.
Karakteristik terakhir dari kasih Allah juga tercermin dalam kata kunci inisiatif (ayat 10). Sama seperti awal ayat 9, ayat 10 juga dimulai dengan en toutō (lit. “dalam hal ini”). Kali ini penekanan lebih diletakkan pada inisiatif Allah dalam mengasihi kita.
Untuk memperjelas hal tersebut, Yohanes telah meletakkan kata “bukan” (ouch) di depan (semua versi Inggris “not that we loved God”). Penerjemah LAI:TB pun secara tepat menangkap makna ini (“bukan kita yang telah mengasihi Allah”). Yohanes juga secara khusus menambahkan subjek eksplisit “kita” (hēmeis), sehingga kata “kita” di ayat 10a muncul dua kali (hēmeis ēgapēkamen, lit. “kita, kita telah mengasihi”). Bukan kita, kita yang telah mengasihi Allah, melainkan Allah yang telah mengasihi kita. Kata “Allah” (dalam teks Yunani “Ia”) juga muncul dua kali sebagai penekanan (autos ēgapēsan hēmas, lit. “Ia, Ia telah mengasihi kita”).
Inisiatif ini merupakan salah satu karakteristik doktrin Kristiani. Secara konsisten Alkitab selalu meletakkan Allah sebagai inisiator kasih dan kebaikan. Bukan kita yang memilih Allah, tetapi Ia yang lebih dahulu memilih kita (Yoh 15:16). Bukan kita yang mencari Allah, melainkan Allah yang datang untuk mencari dan menyelamatkan kita (Luk 19:10). Demikian pula bukan kita yang mengasihi Allah, namun Ia yang lebih dahulu mengasihi kita (1 Yoh 4:10).
Perintah untuk mengasihi (ayat 11-12)
Apa yang dilakukan oleh Allah kepada kita seharusnya menjadi pedoman bagaimana kita memperlakukan orang lain (ayat 11). Yohanes sekali lagi menandaskan kualitas kasih ilahi melalui kata “sedemikian” (houtōs). Jika kita meyakini dan merasakan bahwa kasih Allah begitu melimpah dalam kehidupan kita, kita seharusnya membagi kasih itu kepada orang lain. Kasih-Nya tidak mungkin dapat dihabiskan seorang diri saja. Kehidupan pribadi kita adalah wadah yang terlalu kecil bagi kasih ilahi yang melimpah ruah.
Berbagi kasih bukanlah sebuah pilihan. Kata “harus” (opheilō) di ayat 11b memiliki makna dasar “berhutang” (Mat 18:28; Luk 7:41; Rm 13:8). Sama seperti membayar hutang bukanlah sebuah pilihan, demikian pula mengasihi orang lain bukan sekadar nasihat atau dorongan, melainkan keharusan atau kewajiban. Kegagalan dalam melakukannya merupakan sebuah hutang yang belum terbayar.
Selanjutnya Yohanes mengaitkan kasih kita kepada orang lain dengan penyataan diri Allah (ayat 12). Ia memulai dengan fakta yang sudah sedemikian umum, yaitu tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah (ayat 12a; Kel 33:20; Yoh 1:18; 1 Tim 6:16-17). Kemuliaan dan kekudusan ilahi menghalangi manusia berdosa untuk memandang wajah Allah. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Allah tidak dapat diketahui keberadaan-Nya atau dikenali hakikat-Nya.
Allah yang tidak terlihat menjadi terlihat pada saat kita mengasihi orang lain (ayat 12b). Melalui kasih kepada orang lain, kita telah menunjukkan bahwa Allah tetap di dalam kita. Ia tidak hanya diam di dalam kekekalan dengan segala kemuliaan dan kebesaran-Nya. Dalam anugerah-Nya, Ia berkenan diam di dalam kita dan mewarnai kehidupan kita dengan kasih-Nya.
Bukan hanya kasih kita merupakan bukti bahwa Allah berdiam di dalam kita. Kasih kita juga membuat kasih Allah menjadi sempurna (ayat 12c). Hal ini tentu saja tidak berarti bahwa kasih Allah sebelumnya tidak sempurna. Kata dasar “sempurna” (teleioō) dalam konteks ini berarti “mencapai tujuan”. Tujuan akhir dari kasih Allah bukanlah diri kita sendiri, melainkan orang lain. Kita bukan sekadar objek kasih, melainkan saluran kasih.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa kasih Allah kepada kita bukan sekadar sebuah contoh. Kasih Allah melalui kedatangan Kristus Yesus sebagai manusia bukanlah kisah moral semata-mata. Pemberian kasih itu sekaligus mencakup pemberian alasan, kemampuan, dan kewajiban untuk mengasihi orang lain. Soli Deo Gloria.