Yohanes 13-17 merupakan percakapan perpisahan (farewell discourse) Tuhan Yesus sebelum Ia ditangkap, diadili, dan dihukum mati di kayu salib (Yohanes 18). Perpisahan ini tidak hanya diisi dengan nasihat, melainkan juga dengan sebuah doa yang cukup panjang. Menariknya lagi, doa ini merupakan penutup atau klimaks dari semua percakapan yang ada. Dari sini terlihat betapa pentingnya doa di pasal 17. Dari sebuah doa kita bisa belajar begitu banyak pelajaran rohani di dalamnya.
Jika kita menilik doa syafaat Tuhan Yesus untuk para pengikut-Nya, kita akan menemukan bahwa inti dari doa tersebut adalah kesatuan di antara orang percaya yang didasarkan pada kasih di antara Allah Tritunggal. Kata “satu” muncul berkali-kali dalam bagian ini (ayat 11, 21, 22, 23). Kesatuan ini juga seringkali diberi tambahan “sama seperti Kita” (ayat 11) atau “sama seperti Engkau Ya Bapa di dalam Aku, dan Aku di dalam Engkau” (ayat 21) atau “sama seperti Kita adalah satu” (ayat 22). Apa yang ada dalam relasi Tritunggal seharusnya tercermin dalam relasi antar orang Kristen.
Bagaimana kasih kekal dalam diri Allah Tritunggal diungkapkan dalam doa Tuhan Yesus?
Pemunculan kata “kasih”
Kata “kasih” muncul secara eksplisit dan berulang kali dalam bagian ini (ayat 24, 26). Kasih ini diberi keterangan “sebelum dunia dijadikan” (ayat 24). Di ayat 26 kata “kasih” muncul dua kali dalam bentuk kata benda dan kata kerja (ayat 26b lit. “supaya kasih yang melaluinya Engkau telah mengasihi Aku ada di dalam mereka”; KJV/ASV/RSV/NASB/ESV).
Apa yang diungkapkan melalui doa ini mengingatkan kita kembali pada awal Injil Yohanes. Dari sejak kekekalan Firman memang selalu bersama-sama dengan Allah (1:1-2). Keduanya berbeda, tetapi sama-sama Allah. Beda pribadi, sama hakikat. Anak Allah juga digambarkan selalu berada di pangkuan Bapa-Nya (1:18, eis ton kolpon, lit. “di dada Bapa”). Gambaran ini menegaskan kedekatan Bapa dan Anak, sama seperti murid yang dikasihi Tuhan yang bersandar dekat kepada-Nya (13:23, en tō kolpō, lit. “berada di dada-Nya”).
Dalam kesementaraan selama inkarnasi Anak di dalam dunia, keintiman ini tetap terjalin dengan kuat. Bapa memang mengasihi Anak (3:35; 5:20). Anak pun mengasihi Bapa-Nya (14:31). Begitu intimnya relasi ini sampai Tuhan Yesus secara eksplisit mengatakan: “Aku dan Bapa adalah satu” (10:30).
Sapaan dalam doa
Petunjuk lain yang mengarah pada keintiman Bapa dan Tuhan Yesus terlihat dari sapaan yang digunakan oleh Tuhan Yesus dalam doa-Nya. Ia menyebut Allah sebagai Bapa (ayat 24). Dalam konteks Injil Yohanes, panggilan “Bapa” ini sangat eksklusif, sehingga orang-orang Yahudi beranggapan bahwa Yesus telah menghujat Allah (5:18 “Sebab itu orang-orang Yahudi lebih berusaha lagi untuk membunuh-Nya, bukan saja karena Ia meniadakan hari Sabat, tetapi juga karena Ia mengatakan bahwa Allah adalah Bapa-Nya sendiri dan dengan demikian menyamakan diri-Nya dengan Allah”). Yesus sendiri dengan lantang mengatakan kepada murid-murid-Nya bahwa setiap orang yang melihat Dia telah melihat Bapa (14:9).
Penambahan kata “yang adil” (dikaios) pada sapaan kedua di ayat 25 (LA:TB “Bapa yang adil”) juga menyiratkan pengenalan yang luar biasa. Dunia tidak mengenal Yesus (17:25a; bdk. 1:10-11). Sebentar lagi mereka akan mengadili Yesus secara tidak adil. Dia yang tidak bersalah akan ditetapkan sebagai seorang terdakwa. Murid-murid Tuhan Yesus pun akan tercerai-berai dan meninggalkan Dia. Di tengah situasi seperti ini, Yesus masih menyadari sepenuhnya bahwa kehendak Bapa adalah adil. Ia benar-benar menyadari bahwa semua terjadi seturut dengan kehendak tersebut.
Tanpa pemahaman terhadap rencana kekal Bapa, tidak mungkin kesadaran seperti ini akan muncul. Tanpa kedekatan dengan Bapa, situasi di atas seringkali menjadi alasan untuk mencurigai dan meragukan keadilan Allah. Tidak demikian dengan Yesus.
Cara berdoa yang unik
Jika kita memperhatikan bagian ini dengan seksama, kita akan melihat keunikan cara berdoa Tuhan Yesus. Doa yang Ia panjatkan sebenarnya lebih ke arah ungkapan keinginan daripada permintaan. Kata “Aku mau” (thelō) di ayat 24a lebih tepat diterjemahkan “Aku menginginkan” (ASV/RSV/NRSV/ESV “I desire”). Tidak ada permohonan kepada Bapa untuk melakukan sesuatu. Tuhan Yesus hanya perlu mengungkapkan keinginan-Nya. Ia menginginkan agar di mana Ia berada di situ pula para pengikut-Nya berada.
Ini bukanlah permohonan dari seorang budak kepada tuannya. Permohonan seperti itu biasanya diwarnai dengan ketakutan. Ini juga bukan permintaan seorang penuntut kepada pihak lain. Permintaan model ini selalu diliputi paksaan dan ancaman. Ini adalah ungkapan hati seorang Anak kepada Bapa-Nya. Seorang anak bebas mengutarakan perasaan dan keinginannya kepada ayahnya.
Mengapa Tuhan Yesus dapat berdoa seperti ini? Karena Ia sangat dekat dengan Bapa-Nya. Apa saja yang Ia kehendaki pasti selaras dengan kehendak Bapa-Nya (4:34; 5:30; 6:38). Dalam doa-Nya di depan kuburan Lazarus, Yesus dengan kepastian berujar: “Bapa, Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena Engkau telah mendengarkan Aku. Aku tahu, bahwa Engkau selalu mendengarkan Aku” (11:41b-42a). Tidak perlu ada ketakutan atau tuntutan, apalagi ancaman. Yang dibutuhkan adalah keselaraan dengan kehendak Allah.
Pembagian kemuliaan
Di ayat 24b Tuhan Yesus berkata: “agar mereka memandang kemuliaan-Ku yang telah Engkau berikan kepada-Ku”. Sesuai dengan konteks yang ada, kemuliaan ini bersifat kekal (ayat 5 “sebelum dunia ada”; ayat 24b “sebelum dunia dijadikan”). Dalam konteks monotheisme Yahudi yang begitu ketat, ungkapan ini jelas sangat mengagetkan. TUHAN tidak akan pernah membagi kemuliaan-Nya kepada yang lain (Yes 42:8; 48:11). Namun, dalam Yohanes 17:24 kemuliaan ilahi itu terbagi. Satu-satunya solusi untuk mengharmonisasikan dua kebenaran yang tampak paradoks ini adalah dengan menegaskan keesaan Bapa dan Anak. Keduanya adalah satu Allah. Tidak heran, penulis Injil Yohanes berani mengatakan bahwa kemuliaan TUHAN yang dilihat oleh Yesaya (Yesaya 6) tidak lain adalah kemuliaan Kristus (Yoh 12:41). Betapa intimnya kesatuan di antara Tritunggal!
Pembagian kemuliaan antara Bapa dan Anak (ayat 24) mengandung makna yang berbeda dengan pembagian kemuliaan antara Yesus dan murid-murid-Nya (ayat 22). Murid-murid menerima pembagian itu dalam arti “memandang” (ayat 24), bukan “memiliki” (ayat 5). Selama Kristus ada di dalam dunia, mereka melihat kemuliaan-Nya melalui seluruh kehidupan-Nya (1:14), baik melalui mujizat (2:11), salib (12:23; 13:31-32) maupun kenaikan-Nya ke surga (7:39; 12:16). Ketika mereka kelak berada di surga, mereka juga hanya akan memandang kemuliaan-Nya (17:24; 1 Yoh 3:2).
Mengatakan bahwa Bapa memberikan kemuliaan kepada Anak tidak berarti bahwa sebelumnya Anak tidak memiliki kemuliaan. Kita perlu menyadari bahwa kemuliaan ini adalah kemuliaan sebagai Anak Tunggal Bapa (1:14), bukan kemuliaan sebagai Allah. Sebagai Allah (secara hakikat), Anak mempunyai kemuliaan sendiri yang setara dengan Bapa. Keduanya adalah satu Allah. Sebagai Anak (secara pribadi), Ia menerima kemuliaan dari Bapa. Kemuliaan seorang anak jelas berasal dari bapanya. Bagaimana bapanya, demikian pula anaknya.
Kita juga tidak boleh melupakan bahwa dalam Injil Yohanes Bapa dan Anak saling mempermuliakan (17:1). Bapa memuliakan Anak (8:54; 13:32). Anak memuliakan Bapa (17:4). Pemberian kemuliaan ini tidak berarti bahwa salah satu pihak sebelumnya tidak mulia. Ini hanya menunjukkan keintiman yang menakjubkan dan misterius di antara Tritunggal.
Apa yang ada di dalam kekekalan hanya akan menjadi konsep abstrak yang tidak relevan apabila kita tidak mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kasih di antara Tritunggal harus tercermin dalam relasi antar orang percaya. Melalui kasih kita kepada sesama orang percaya, dunia akan mengetahui bahwa kita berasal dari Allah Tritunggal yang saling mengasihi. Soli Deo Gloria.