Hanya Sebuah Retorika Bagi LGBT? (Bagian 2)

Posted on 28/04/2019 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/hanya-sebuah-retorika-bagi-lgbt.jpg Hanya Sebuah Retorika Bagi LGBT? (Bagian 2)

(Lanjutan tgl 21 April 2019)

Semua jenis dosa patut dicermati oleh gereja. Disiplin gerejawi tetap perlu diterapkan pada semua orang yang melakukan dosa apapun yang serius, secara publik, merusak kesaksian gereja di tengah dunia, tidak mau bertobat dan membawa dampak buruk bagi komunitas (Mat. 18:15-17; 1Kor. 5:1-13). Aturan yang sama berlaku untuk LGBT, paedofil, penghasut, penyembah berhala, tukang selingkuh, dsb. Jadi, gereja bukannya tidak mau menerima LGBT. Seandainya mereka mau mengakui kesalahan dan mau bersama-sama bergumul untuk bertumbuh di dalam Kristus, pintu akan selalu terbuka lebar.

Ketiga, ada dugaan yang keliru bahwa para penentang LGBT kurang memiliki kepekaan pastoral. Pergumulan LGBT tidak semudah yang dipikirkan banyak orang. Seandainya orang mau berinteraksi secara intensif dan merengkuh LGBT, mereka akan bersimpati dan lebih terbuka terhadap LGBT. Begitu kira-kira anggapan mereka.

Dugaan di atas juga kurang tepat. Sebagian penentang LGBT benar-benar memahami dan mengalami pergumulan internal yang rumit dalam diri manusia. Kita beperang melawan berbagai macam hawa nafsu: kemarahan, kesombongan, hiperseksualitas, kleptomania, paedofilia, dsb. Hanya mereka yang naif yang tidak mengakui kerusakan internal akibat dosa dalam diri manusia. Persoalannya, apakah kecenderungan yang negatif seperti ini boleh ditoleransi, diwujudkan dan dibenarkan? Tentu saja tidak, bukan? Hal yang sama diterapkan pada mereka yang memiliki kecenderungan homoseksual dan biseksual.

Sebagai kesimpulan, gereja perlu menyatakan kasih kepada LGBT (dan para pendosa yang lain) secara lebih konkrit. Siapa saja yang mau mengakui dosanya dan rindu bertumbuh di dalam Tuhan patut diberi kesempatan dan bimbingan. Kelompok pemuridan dan konseling-konseling pribadi perlu disediakan. Gereja harus menciptakan kultur keterbukaan dan penerimaan. Gereja bukan tempat untuk orang sempurna. Siapa saja boleh mengungkapkan kehancuran dan pergumulan internal mereka. Sebagaimana Luther sudah mengingatkan pada lebih dari 500 tahun yang lalu, semua orang percaya adalah pendosa dan orang kudus pada saat yang bersamaan (Simul Justus et Peccator). Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community