Kita mungkin sudah sering mendengar ungkapan “Kita mengasihi LGBT, tetapi tetap tidak menyetujui pandangan mereka”. Sebuah kalimat yang terdengar berhikmat. Bukan hanya berhikmat, tetapi didukung oleh Efesus 4:15a “mengatakan kebenaran di dalam kasih” (terjemahan hurufiah).
Entah berapa kali saya mendapati pendukung homoseksualitas mempertanyakan kesungguhan gereja dalam menghidupi slogan tadi. Mereka menganggap bahwa ini hanyalah sebuah ungkapan retoris yang tidak terwujud. Seandainya gereja benar-benar mengasihi LGBT, mengapa gereja tidak mau menerima keberadaan LGBT dalam gereja?
Ini adalah sebuah pertanyaan yang bagus. Mengabaikan pertanyaan ini jelas menunjukkan ketidakpedulian gereja terhadap LGBT. Gereja terpanggil untuk mengasihi semua orang.
Walaupun demikian, di balik pertanyaan yang baik ini terdapat dugaan dan cara berpikir yang keliru. Menguak kekeliruan ini akan bermanfaat untuk menempatkan pertanyaan ini pada posisi yang sebenarnya.
Pertama, ada dugaan yang keliru bahwa mengasihi identik dengan menyetujui atau, paling tidak, membiarkan, orang lain melakukan apa yang mereka yakini dan inginkan. Tidak sukar untuk menemukan kesalahan dalam asumsi ini. Dalam kehidupan kita sehari-hari kita tidak menerapkan hal ini. Bukan karena tidak mau, tetapi karena tidak masuk akal dan tidak bisa dihidupi. Apakah orang tua yang mengasihi anaknya akan menyetujui semua konsep dan tindakan anak yang keliru? Apakah ketika seseorang tidak menyetujui pandangan orang lain orang itu pantas disebut pembenci sesamanya?
Alkitab secara gamblang mengajarkan bahwa kasih kadangkala mencakup teguran. Paulus menegur kemunafikan Barnabas (Gal. 2:11-14). Teguran yang lemah-lembut patut diberikan pada mereka yang melakukan pelanggaran (Gal. 6:1). Sikap yang sama perlu ditujukan bahkan kepada mereka yang suka menentang (2Tim. 2:25). Jadi, mengasihi dan menyetujui tidak selalu berdampingan. Sebaliknya, kasih kadangkala memaksa kita untuk meneriakkan “tidak!” dengan lantang.
Kedua, ada dugaan yang keliru bahwa gereja secara khusus “membuang” LGBT. Ini adalah strategi retoris mereka untuk menempatkan LGBT sebagai korban diskriminasi, dengan harapan mereka bisa menarik simpati publik. Untuk menanggapi hal ini, gereja perlu menandaskan bahwa yang dipersoalkan bukan jenis dosa, melainkan sikap yang keliru terhadap dosa. Dosa bukan untuk dibiarkan, apalagi untuk dibenarkan.
Bersambung………