.jpg)
Pembicaraan tentang kekekalan Allah seringkali hanya bersifat abstrak. Kita mengalami kesulitan untuk melihat relevansi dari topik pembi-caraan tersebut. Sangat berbeda dengan pemaz-mur, ia justru menggunakan kekekalan Allah seba-gai perspektif untuk melihat kehidupan praktis yang ia hadapi. Walaupun teks yang kita bahas merupakan sebuah doa sekaligus mazmur, tetapi muatan teologis di dalamnya sangatlah agung.
Sebagai catatan, fokus pembahasan hanya sampai pada ayat 12. Ayat 13-17 hanya akan dising-gung untuk menunjukkan keterkaitan dengan bagian sebelumnya.
Perenungan tentang kekekalan Allah (ayat 1-2)
Mazmur ini merupakan sebuah doa. Menariknya, bagian yang berisi permohonan kepada TUHAN baru kita temukan di ayat 12 dan sesu-dahnya. Bagian sebelumnya berisi pengakuan tentang siapa Allah dan diri kita sendiri. Komposisi se-perti ini mengajarkan bahwa doa bukan hanya memberitahu Allah apa yang kita mau, tetapi mengungkapkan apa yang kita tahu tentang Allah dan diri sendiri. Dengan memahami siapa Allah yang disembah, kita akan mengenal diri kita sendiri secara benar. Kita adalah ciptaan yang sangat terbatas dan berdosa sehingga kita memerlukan kemurahan Allah terus-menerus dalam hidup kita.
Penyebutan Musa sebagai “abdi Allah” di ayat ini sejalan dengan bagian Alkitab yang lain (misalnya Ul. 33:1; Yos 1:1). Sebutan ini bukanlah sesuatu yang sembarangan. Sebagai contoh, Yosua baru disebut sebagai hamba TUHAN pada akhir pelayanannya (Yos 24:29). Di awal kepemim-pinannya ia hanya disebut abdi Musa (Yos 1:1).
Walaupun sebutan di atas hanya dikena-kan pada Musa dan beberapa tokoh tertentu dalam Alkitab, Musa di Mazmur 90 menyadari bahwa dalam taraf tertentu semua orang percaya adalah hamba Allah. Setelah memohonkan hati yang bijaksana (ayat 12), ia menggunakan bentuk jamak “sayangilah hamba-hamba-Mu” (ayat 13b). Sebagai hamba, hal yang terpenting adalah bekerja. Tidak heran pada bagian akhir mazmur ini, ia dua kali memohon agar TUHAN meneguhkan pekerjaan-pekerjaan hamba-hamba-Nya (ayat 17). Dengan demikian mazmur ini dimulai dan diakhiri dengan konsep tentang “abdi Allah.”
Ayat 1b-2 menggambarkan kekekalan Allah dengan cara yang indah. Penggunaan kata “adalah” (“Engkaulah tempat perteduhan kami” dan “Engkau adalah Allah”) menyiratkan sebuah fakta yang tidak berubah. Pemazmur tidak memakai kata “menjadi” karena kata itu menyiratkan perubahan. Penggunaan kata “dilahirkan” dan “di-peranakkan” (bukan “diciptakan” atau “dijadikan”) turut mempertegas ide tentang kekekalan. Walaupun gunung dan bumi begitu besar dan sudah lama ada, namun di mata Allah yang kekal semuanya itu ibarat seorang bayi yang baru ada di dunia. Allah sudah ada dari generasi ke generasi (ayat 1b) dan dari kekal sampai kekal (ayat 2b). Allah tidak memiliki titik permulaan dan akhir.
Keberadaan tersebut bukan hanya sebuah fakta yang obyektif semata. Allah bukan hanya ada, tetapi Ia juga adalah tempat perteduhan bagi umat-Nya. Ungkapan “tempat perteduhan” banyak diterjemahkan sebagai “tempat tinggal” dalam versi Inggris. Terjemahan yang paling tepat seharus-nya “tempat perlidungan” (lihat judul mazmur yang diberikan penerjemah LAI:TB). Ada dua alasan yang mendukung hal ini: penyebutan “gunung-gunung” di ayat 2 dan pemakaian kata Ibrani yang sama di Mazmur 91:9. Bagi masyarakat kuno kesan menda-lam terhadap gunung adalah kekuatan dan keko-kohan. Bangsa yang kuat adalah yang memiliki benteng di pegunungan sehingga tidak mudah di-kalahkan musuh. Dalam Mazmur 91:9 kata “tempat perteduhan” disejajarkan dengan “tempat perlindungan.”
Seandainya mazmur ini memang ditulis oleh Musa ketika bangsa Israel dalam perjalanan di padang gurun menuju tanah Kanaan, maka konsep tentang tempat perlindungan pasti memberi kesan yang mendalam bagi mereka. Sebagai sebuah bangsa yang muda, tidak terlatih untuk berperang, dan berada di daerah rawan, keselamatan mereka secara manusia kurang terjamin. Bangsa mana pun bisa dengan mudah menyerang dan menaklukkan mereka. Bagaimanapun, hal itu tidak terjadi. Mengapa? Karena TUHAN adalah tempat perlindungan mereka selama-lamanya.
Kekekalan Allah dan kesementaraan manusia dikontraskan (ayat 3-4)
Untuk memahami sesuatu seringkali diperlukan sebuah perbandingan. Sebuah kontras berfungsi untuk memperjelas kualitas atau ukuran suatu sifat yang dimaksud. Demikian pula pere-nungan tentang kekekalan Allah akan menjadi lebih gamblang jika dibandingkan dengan kesementaraan manusia. Di ayat 3 kata “mengem-balikan/kembali” muncul dua kali untuk menekan-kan bahwa manusia memang berasal dari debu (Kej 3:19). Debu di sini sebagai gambaran kesementaraan. Tidak ada manusia yang bisa menentang kodrat ini. Yang menarik, kematian di ayat ini disebut sebagai tindakan TUHAN yang mengembalikan manusia kepada debu atau yang menyuruh manusia untuk kembali. Berbeda dengan Allah yang kekal, keberadaan manusia sangat bergantung pada Allah.
Kesementaraan hidup manusia di atas sa-ngat kontras dengan kekekalan Allah. Bagi Allah 1000 tahun ibarat satu hari atau satu giliran jaga (ayat 4). Kita mungkin agak sulit memahami makna yang sebenarnya dari ungkapan ini. Kita terbiasa melihat angka 1000 bukan sebagai angka yang terlalu besar, padahal bagi orang kuno angka 1000 menyiratkan jumlah yang sangat besar. Satu hari bagi kita juga terlihat lebih panjang daripada bagi orang kuno. Pada jaman dulu, tempo kehidupan begitu lambat dengan pilihan aktivitas yang tidak banyak. Aktivitas dimulai pk. 6 pagi dan berakhir pk. 6 sore. Satu hari bagi orang kuno hanya berisi 12 jam. Bagi kita sekarang, 24 jam sehari pun kadang tidak cukup karena kita terbiasa dengan aktivitas tanpa henti dari pagi sampai malam. Gambaran “giliran jaga” pun bisa membingungkan, karena terkesan sangat panjang (rata-rata 8 jam untuk satu giliran jaga). Pada jaman dahulu, satu giliran jaga hanya berkisar antara 3-4 jam. Dengan memahami betapa lamanya 1000 tahun bagi orang kuno dan betapa singkatnya satu hari atau satu giliran jaga, kita dapat melihat kontras yang jelas antara kesementaraan hidup manusia dan kekekal-an Allah. Menariknya, walaupun kehidupan manusia dari lahir sampai tua tidaklah lama, tetapi ketika sedang menghadapi penderitaan, kita merasa hari-hari kita berjalan sangat lama. Di ayat 13a, pe-mazmur yang sedang menghadapi persoalan berseru, “Kembalilah ya TUHAN, berapa lama lagi?”
Perenungan tentang kesementaraan hidup manusia (ayat 5-11)
Di ayat 3 kita sudah melihat bagaimana hidup manusia adalah sementara. Ternyata kesementaraan bukanlah segalanya. Hidup manusia bu-kan hanya sementara, tetapi sangat singkat. Sesuatu yang sementara tidak selalu singkat. Bagaimanapun, dalam terang kekekalan Allah segala sesuatu bukan hanya sementara, tetapi juga singkat.
Pemazmur menggunakan dua ilustrasi un-tuk menggambarkan singkatnya hidup manusia. Hidup manusia diibaratkan seperti korban banjir (ayat 5a). Terjemahan LAI:TB di bagian ini menim-bulkan kesan ada dua gambaran: ‘Engkau meng-hanyutkan’ dan ‘seperti mimpi.’ Menurut konteks dan kalimat Ibrani yang ada, ungkapan ini sebaik-nya dimengerti sebagai satu kesatuan pemikiran: “Engkau menghanyutkan manusia dalam tidur [ke-matian].” Yang ada dalam pikiran pemazmur adalah korban banjir pada waktu mereka tidur. Dalam situasi seperti ini, jelas tidak ada waktu untuk merespon atau mempersiapkan diri. Semua terjadi dalam sekejap tanpa bisa dicegah. Begitu pula dengan kematian pada saat menjumpai manusia. Begitu cepat, tanpa bisa dihalangi.
Gambaran yang lain adalah rumput yang dalam sehari sudah layu (ayat 5b-6). Ini adalah gambaran untuk waktu yang singkat (Yes 40:6-7; Yak 1:10-11). Tanpa mengetahui iklim Palestina, kita akan mengalami kesulitan untuk memahaminya karena kita tidak mengenal rumput yang dalam sekejap bisa lenyap. Kita bahkan membutuhkan tenaga manusia untuk menghilangkan/merapikan rumput. Di Palestina terdapat sebuah fenomena alam yang unik. Pada waktu-waktu tertentu dari padang gurun Arabia akan berhembus angin yang sangat keras, kering, dan panas. Tatkala angin ini menyapu rerumputan/tanaman lain, maka semua itu dalam sekejap akan menjadi layu dan kering. Situasi seperti inilah yang dipikirkan pemazmur.
Di samping kesementaraan manusia bersifat singkat, kesementaraan ini juga diliputi oleh penderitaan (ayat 7-9). Walaupun tidak semuanya disebabkan oleh dosa, tetapi secara umum dan dalam konteks ini, penderitaan sulit dipisahkan dari dosa. Keberdosaan Adam menyebabkan semua manusia mengalami kesukaran, penderitaan, dan kematian (Kej 3:16-19). Dalam konteks ini, Musa sangat mungkin sedang memikirkan penderitaan bangsa Israel di padang gurun akibat kesalahan mereka. Ia melukiskan betapa seriusnya murka Allah kepada bangsa Israel. Mereka “habis lenyap” dan “terkejut” (ayat 7). Kata “terkejut” di sini lebih baik dimengerti sebagai “gemetar.”
Penderitaan tidak berhenti pada hukuman fisik. Allah juga menghukum mereka dengan perasaan bersalah (ayat 8). Semua dosa mereka transparan di hadapan Allah. Penggabungan ung-kapan “di hadapan Allah”, “dalam terang wajah-Mu,” dan “dosa-dosa yang tersembunyi” memberi penegasan bahwa tidak ada satu dosa pun yang dapat kita tutupi di mata Allah. Ketika kita mena-ruh dosa itu dalam kegelapan atau tempat yang tersembunyi, maka terang dari wajah Tuhan akan menyinari dan menguakkan itu semua.
Tidak cukup sampai di situ. Seluruh hidup manusia bahkan dapat disimpulkan dengan satu kata: “keluhan” (ayat 9). Beberapa kata yang muncul di ayat ini menjelaskan bahwa pemazmur sedang memikirkan keseluruhan hidup seseorang: “segala hari kami berlalu” dan “kami menghabiskan tahun-tahun” (ASV/ESV: “we bring our years to an end”; NASB/NIV: “we [have] finished our years”). Klimaks atau puncak dari kehidupan ini adalah sebuah keluhan.
Pemazmur lebih lanjut menceritakan bahwa usia manusia adalah 70-80 tahun (ayat 10). Angka ini bukanlah rata-rata usia manusia pada waktu itu. Ini lebih ke arah harapan ideal untuk hidup. Melebihi dari durasi ini berarti akan menghadapi berbagai kesukaran dan penderitaan (ayat 10a). Semakin tua tubuh kita akan menjadi semakin lemah dan terbatas. Hidup menjadi tidak dapat dinikmati lagi. Walaupun beberapa orang berhasil hidup melebihi harapan ideal, di mata Tuhan usia mereka tetaplah singkat. Kematian mereka tetap terjadi secara buru-buru dan dapat diiba-ratkan seperti melayang lenyap (ayat 10b).
Ayat 11 dapat dimengerti sebagai berikut: “Siapakah yang mengenal kekuatan kemarahan-Mu? Karena murka-Mu adalah sebesar rasa takut yang patut diberikan kepada-Mu” (lihat NIV). Pemazmur ingin mengajarkan dua hal. Pertama, kedasyatan murka Tuhan menunjukkan seberapa besar Allah menuntut untuk dihormati. Kedua, ha-nya orang-orang yang takut kepada Allah yang dapat memahami kebesaran murka-Nya. Bagi mereka yang tidak menghormati Allah, segala penderitaan yang mereka hadapi hanya dilihat sebagai kecelakaan atau hukum sebab-akibat yang alamiah. Tidak demikian halnya dengan orang percaya. Setiap penderitaan sebagai murka Allah (tidak semua penyakit dan penderitaan adalah hukuman dosa secara spesifik) merupakan cara Allah menyadarkan kita untuk memberikan rasa takut yang memang layak kita berikan kepada-Nya.
Doa untuk memaknai hidup (ayat 12)
Ayat ini mungkin adalah bagian yang pa-ling terkenal dari mazmur ini. Pemazmur memohon agar TUHAN mengajar dia dan seluruh umat Allah untuk menghitung hari. Mengingat menghitung ini membutuhkan “pengajaran ilahi,” maka kemampuan untuk menghitung bukanlah kapasitas alamiah. Tanpa pertolongan Tuhan manusia tidak mungkin dapat melakukan hal ini. Penjelasan ini sekali-gus membantu kita untuk mengerti bahwa “meng-hitung” di sini tidak berkaitan dengan matematika. Menghitung dalam konteks ini berarti mengevaluasi atau menilai kehidupan.
Tujuan dari doa ini adalah hati yang bijak-sana (ayat 12b). Dalam kehidupan yang bukan hanya sementara, tetapi juga singkat dan dipenuhi penderitaan. Bagian terbaik apakah yang kita bisa harapkan? Ketika tidak ada kesenangan apapun dalam dunia ini, bagian terbaik apakah yang masih tersisa? Jawabannya adalah hikmat. Hikmat memampukan kita untuk memaknai hidup.
Dengan hikmat ilahi kita dapat mengenal jalan-jalan Tuhan sehingga kita tidak perlu menambah penderitaan lagi akibat pelanggaran kita sendiri. Dengan hikmat ilahi kita akan disadarkan bahwa semua keterbatasan dan penderitaan kita hanyalah sebuah ajakan ilahi agar kita bersandar pada Allah yang kekal.
Dengan hikmat ilahi kita akan dimampukan untuk berkata seperti Asaf: “Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya” (Mzm 73:26).
Amin. Soli Deo Gloria.