Gereja dan Penderitaan di dalam Dunia (1 Perus 4:12-19)

Posted on 29/11/2015 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/Gereja-dan-Penderitaan-di-dalam-Dunia--1-Perus-4-12-19.jpg Gereja dan Penderitaan di dalam Dunia (1 Perus 4:12-19)

Di sekeliling kita ada banyak persoalan dan penderitaan. Masalah singgah tanpa memilah. Banyak orang mengeluh dan meratap. Orang-orang Kristen pun tidak dikecualikan. Bencana, penyakit, tekanan, dan penganiayaan bukanlah hal baru untuk kita. Ketika kita berbuat dosa, Allah juga seringkali menghukum kita dengan cara menimpakan sesuatu yang tidak menyenangkan pada kita.

Situasi ini kadangkala memaksa kita untuk memikirkan keistimewaan status kita sebagai orang-orang Kristen. Tidakkah Allah seharusnya melindungi anak-anak-Nya dari penderitaan? Mengapa Allah tega membiarkan anak-anak-Nya bernasib sama dengan dunia? Bukankah seharusnya Allah lebih berbelas-kasihan terhadap anak-anak-Nya?

Dalam teks kita hari ini, Rasul Petrus memikirkan dua jenis penderitaan: sebagai hukuman (karena keberdosaan kita) dan keniscayaan (karena status sebagai orang Kristen di tengah dunia). Jenis penderitaan yang pertama disiratkan di 4:17 (bdk. 4:15). TUHAN mengamati dan menghakimi umat-Nya. Allah mengganjar dosa kita dengan hukuman (4:1-3; bdk. 1:17). Jenis penderitaan yang kedua ditunjukkan melalui ungkapan-ungkapan seperti: “karena nama Kristus” (4:14), “sebagai orang Kristen” (4:16), “karena kehendak Allah” (4:19).

Tidak peduli jenis penderitaan seperti apa yang kita sedang hadapi, kita perlu memiliki cara pandang dan sikap yang benar terhadap penderitaan itu. Dua hal inilah yang membedakan orang-orang Kristen dari dunia. Situasi kita boleh sama, namun cara pandang dan sikap kita harus berbeda.

Cara pandang terhadap penderitaan

Rasul Petrus sudah beberapa kali membicarakan tentang penderitaan. Penerima suratnya mengalami berbagai macam ujian (1:6 “pencobaan” = lit. “ujian”). Fitnahan kerap mereka terima (2:12; 3:16; 4:4). Para budak menerima perlakuan semena-mena dari tuan mereka (2:18-25). Penganiayaan pun bukan hal baru bagi mereka (3:14).

Semua ini wajar menimpa mereka, karena mereka adalah para pendatang yang menjadi kaum minoritas (1:1; 2:11). Status sebagai orang-orang Kristen yang hidup di tengah orang-orang kafir turut memperbesar peluang mereka untuk menghadapi beragam tantangan dan kesusahan (4:16).

Petrus tidak mau menyangkali kenyataan tersebut dan menjanjikan kehidupan Kristen yang indah-indah dan muluk-nuluk, seolah-olah kita hidup di negeri sejuta dongeng. Realita bukan untuk disangkali, tetapi dihadapi. Untuk melakukan hal ini secara tepat, kita memerlukan perspektif atau cara pandang yang tepat pula terhadap penderitaan.

Pernahkah kita melihat sampah yang menumpuk? Bagi banyak orang, sampah identik dengan sumber masalah. Bagi para petugas kebersihan dan pemulung, sampah seringkali justru menjadi sumber rejeki. Apa yang disampahkan seseorang tidak jarang menjadi harta bagi orang lain. Demikian pula dengan penderitaan.  

Pertama, penderitaan kita memiliki tujuan (ayat 12). Sesuatu yang terjadi secara kebetulan seringkali tidak memiliki tujuan. Penderitaan kita bukanlah peristiwa kebetulan. Petrus secara jelas menyebut penderitaan ini “karena kehendak Allah” (4:19). Menderita karena berbuat baik adalah “dikehendaki Allah” (3:17).

Karena penderitaan kita bersumber dari kehendak Allah yang baik, penderitaan tersebut juga memiliki tujuan yang baik pula, yaitu menguji kemurniaan iman kita (4:12). Di awal suratnya Petrus menandaskan: “Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya” (1:7). Api bukanlah musuh emas. Sebaliknya, api justru membuktikan keistimewaan emas.

Bukan hanya memurnikan iman kita, penderitaan yang disikapi secara tepat akan memuliakan Allah (4:16). Menderita bagi Allah sudah merupakan kemuliaan, karena Roh kemuliaan tinggal di atas kita (4:14). Lebih jauh, melalui kesalehan hidup kita dalam meresponi penderitaan, orang lain bisa dibawa untuk memuliakan Allah (bdk. 2:12; 3:1-2).

Kedua, penderitaan kita adalah persekutuan dengan Kristus (ayat 13). Ungkapan “bagian yang kamu dapat” di 4:13 (LAI:TB) lebih tepat diterjemahkan “kamu mengambil bagian” atau “berbagi” (koinōneite). Makna yang sama diungkapkan Paulus secara berbeda di Filipi 3:10 “Yang kukehendaki adalah mengenal….persekutuan dalam penderitaan-Nya”. Atau, menggunakan ungkapan Paulus yang lain, “menggenapkan apa yang kurang pada penderitaan Kristus” (Kol 1:24). Pendeknya, dengan menderita karena kebenaran kita sebenarnya sedang berpartisipasi dalam penderitaan Kristus. Kesusahan gereja adalah kesusahan Kristus juga (Kis 9:4; 22:7; 26:14).

Persekutuan dengan Kristus tidak hanya dalam hal penderitaan, namun juga kemuliaan. Tatkala nanti Kristus menyatakan kemuliaan-Nya secara sempurna di akhir zaman, semua orang yang berpartisipasi dalam penderitaan-Nya juga akan menikmati kemuliaan kekal itu. Paulus secara gamblang pernah mengungkapkan kebenaran yang sama: “Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami” (2 Kor 4:17).

Ketiga, penderitaan kita adalah berkat Allah (ayat 14). Terjemahan LAI:TB “berbahagialah kamu” (makarioi) kurang mencerminkan apa yang ada di teks Yunani. Dari sisi posisi, kata makarioi terletak di tengah. Dari sisi tata bahasa, makarioi bukan berupa kata kerja imperatif (perintah, bdk. “bersukacitalah” [chairete] di 4:13). Dari sisi arti kata, makarioi sebaiknya diterjemahkan “diberkati”. Hampir semua versi Inggris dengan tepat memilih: “Jika kalian dinista demi nama Kristus, kalian diberkati, sebab….” (4:14a “you are blessed”).

Sebelumnya Petrus telah mengajarkan bahwa menderita demi kebenaran adalah kasih karunia Allah (2:19-20). Sekarang ia menjelaskan salah satu alasannya: sebab Roh kemuliaan menyertai orang percaya (4:14b). Dunia boleh menghina dan mengolok-olok kita tatkala kita berada dalam kesusahan, namun saat itulah Roh Allah dengan kemuliaan-Nya hadir di dalam diri kita. Kita adalah orang yang terhormat.

Keempat, penderitaan kita berbeda dengan dunia (ayat 17-18). Serupa tapi tidak sama, itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan keunikan penderitaan Kristiani dengan yang lain. Penderitaan Kristiani bersifat memurnikan, penderitaan yang lain bersifat menghukum. Penderitaan Kristiani terjadi sekarang saja, penderitaan yang lain terus berlanjut sampai kekekalan. Penderitaan Kristiani tidak seberapa parah dibandingkan dengan hukuman yang akan diterima oleh orang-orang fasik.      

Sikap terhadap penderitaan

Situasi sulit dapat diresponi secara berbeda oleh orang yang berbeda. Sebagian orang mungkin memilih untuk melarikan diri dan mencari tempat aman. Sebagian lagi memutuskan untuk mengompromikan kebenaran dan mengorbankan integritas mereka. Yang lain tetap bertahan, tetapi tidak berhenti mengeluh, meratapi nasib, dan menyalahkan pihak lain. Beberapa bahkan menunjukkan keputusasaan mereka dengan cara bunuh diri. Yang lain lagi bukan sekadar bertahan, tetapi justru menjadi lebih baik melalui berbagai penderitaan yang dialami.

Salah satu faktor penentu di balik keragaman sikap di atas adalah cara pandang. Dengan perspektif seperti yang sudah diuraikan di bagian sebelumnya, sikap yang dimunculkan seharusnya positif. Nah, apa saja sikap yang dikehendaki oleh Petrus dari penerima suratnya?

Yang terutama, jangan heran (ayat 12). Dalam teks Yunani, kata “heran” (xenizesthe) dan “luar biasa” (xenou) memiliki akar kata yang sama (xen-). Keduanya berkaitan dengan kedatangan sesuatu yang asing. Mayoritas Inggris menerjemahkan “jangan terkejut….seolah-olah sesuatu yang asing/aneh sedang terjadi kepada kalian”.

Bagi para penganut teologi kemakmuran, nasihat seperti ini justru yang terdengar aneh. Mereka beranggapan bahwa kekristenan sepi masalah, jauh dari kesusahan. Pada saat penderitaan yang besar datang, mereka sulit bertahan, karena mereka tidak siap. Hanya mengharapkan yang baik tanpa mempersiapkan diri untuk yang terburuk adalah langkah awal kekalahan.

Sikap lain yang perlu ditunjukkan adalah bersukacita (ayat 13). Kata dasar “bersukacita” (chairō) muncul dua kali di ayat ini. Yang pertama merujuk pada sukacita kekinian (sekarang), yang kedua pada sukacita eskhatologis di akhir zaman. Orang Kristen seyogyanya terus-menerus bersukacita (chairete), dan akan bersukacita selamanya (charēte). Bukan hanya itu, sukacita eskhatologis ini diterangkan dengan partisip agalliōmenoi yang juga berarti “bersukacita”, sehingga beberapa versi menerjemahkannya menjadi “bersukacita dengan sukacita yang besar” (KJV/ASV) atau “bersukacita luar biasa” (NIV) atau “bersukacita dan berteriak kegirangan” (NRSV).  

Sukacita ini bukan penyangkalan realitas atau pengabaian kesedihan. Rasa sakit itu adalah nyata. Rasa sedih pun kadangkala muncul. Walaupun demikian, semua ini harus dikontrol oleh kesadaran kita bahwa Allah tetap mengontrol dan bahkan mengarahkan penderitaann untuk kebaikan kita. Pemahaman seperti inilah yang seharusnya lebih dominan menguasai diri kita.

Sikap yang lain adalah tidak malu (ayat 16). Pada zaman itu sebutan “orang Kristen” (christianos) seringkali adalah ungkapan ejekan. Orang-orang dunia yang tidak memahami makna penebusan Kristus di kayu salib pasti akan menganggap Kristus sebagai pribadi yang rendah. Jika pimpinannya saja direndahkan, apalagi para pengikut-Nya. Dibandingkan dengan orang-orang tertentu yang memilih untuk menyembah kaisar (disebut kaisaroi), christianoi terlihat begitu hina.

Dalam budaya kuno yang bergerak atas dasar “kehormatan dan aib” (honor and shame culture), tekanan sebagai christianoi tentu tidak mudah untuk ditanggung. Stigma negatif dan gambaran karikatur sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka. Di tengah situasi semacam ini Petrus menasihati mereka untuk tidak usah malu. Lebih memalukan apabila mereka menderita karena berbuat salah.

Sikap terakhir yang dituntut dari orang-orang Kristen adalah berserah pada Allah secara aktif (ayat 19). Berserah biasanya terkesan pasif, namun teks ini menggabungkan berserah dengan keaktifan: menyerahkan jiwa dan berbuat baik. Kita melakukan bagian kita (berbuat baik), dan membiarkan TUHAN mengerjakan bagian-Nya (menentukan hidup kita).

Berserah bukanlah tindakan yang mudah. Penderitaan berat yang seolah-olah tak berakhir dan bersolusi seringkali menenggelamkan asa kita untuk tetap hidup dalam kebenaran. Tatkala Allah terkesan berdiam diri, kita biasanya tidak sabar dan berusaha menyelesaikan segala sesuatu dengan kekuatan kita. Namun, kita harus ingat bahwa Allah adalah Pencipta (ayat 19). Dia juga Pencipta yang setia (ayat 19). Sebagai Pencipta, Dia berkuasa mengontrol dan menentukan hidup kita. Sebagai Pribadi yang setia, Dia akan selalu menyertai kita dan memegang janji-janji-Nya. Masihkah kita ragu untuk berserah penuh kepada-Nya? Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community