Salah satu keunikan kekristenan dibandingkan ajaran lain terletak pada konsep tentang dosa. Kita melakukan dosa karena kita memang secara hakekat sudah berdosa. Maksudnya, status dan natur berdosa yang kita dapatkan dari kegagalan Adam (Rom 5:12-21; Ef 2:1-3; 2 Kor 4:4) merupakan sumber persoalan sebenarnya. Selama isu fundamental ini tidak terselesaikan, apapun upaya kita memerangi dosa akan menjadi sia-sia. Dosa asal membawa pada dosa-dosa aktual. Bagaimana solusi bagi situasi seperti ini? Mari kita menyimak apa yang diajarkan Rasul Yohanes dalam 1 Yohanes 3:7-10.
Peringatan yang lemah-lembut tetapi serius (ayat 7a)
Sapaan ‘anak-anakku’ muncul cukup sering dalam surat ini (2:1, 18, 28; 3:7, 18; 4:4; 5:21). Kesan yang disiratkan dalam sapaan ini adalah kedekatan dan kelembutan. Walaupun Yohanes menyapa penerima surat dengan nada yang sejuk, namun isi dari peringatan yang ia berikan merupakan hal yang sangat serius, yaitu tentang bahaya ajaran sesat (bdk. 2:26).
Bahaya ini menjadi lebih serius karena para pengajar sesat dahulu berasal dari komunitas Kristen tetapi tidak sungguh-sungguh percaya (2:18-19). Mereka juga mengatasnamakan ‘pekerjaan Roh’, sehingga Yohanes perlu menasihati jemaat untuk menguji setiap roh (2:20, 27; 4:1-5). Jemaat yang tidak kritis mungkin akan langsung menganggap ajaran guru-guru palsu ini sebagai ajaran Kristiani.
Situasi yang sama sedang dihadapi gereja modern. Beragam ajaran sesat yang berorientasi pada ‘pekerjaan Roh’ yang spektakuler – seperti mimpi, penglihatan, perjalanan dalam dunia roh, dsb., - sedang menjamur. Teks Alkitab dikutip secara sembarangan untuk mendukung spiritisme yang mereka ajarkan. Celakanya, tidak banyak orang Kristen yang suka mempelajari Alkitab dengan teliti.
Ketidakterpisahan antara status dan tindakan (ayat 7b-8a)
Ajaran sesat yang dibahas di surat ini lebih mengarah pada dua hal: (1) konsep doktrinal yang sangat menyimpang; (2) pemisahan antara status orang Kristen dan tindakan mereka. Yang termasuk kategori pertama antara lain klaim tentang ketidakberdosaan (1:8-10), penolakan terhadap inkarnasi Yesus dan status-Nya sebagai Anak Allah (4:2, 14-15; 5:6-12). Yang termasuk kelompok kedua antara lain: mengaku memiliki persekutuan dengan Allah, tetapi tetap hidup dalam kegelapan dan tidak memiliki persekutuan dengan orang lain (1:5-7), mengaku mengenal Allah, namun tidak mau menaati perintah-perintah-Nya (2:3-4), mengklaim sebagai orang-orang yang mengasihi Allah, tetapi mereka tidak mengasihi sesamanya (4:20). Pendeknya, ada dikotomi (pemisahan) antara teologi (status di hadapan Allah) dan etika (kehidupan di depan orang lain). Persoalan yang terakhir inilah yang lebih banyak disorot dalam pasal 3:7-8.
Yohanes mengajarkan: “Barangsiapa yang berbuat kebenaran adalah benar” (ayat 7b). Sekilas pernyataan ini terkesan tidak diperlukan karena sudah sangat jelas. Walaupun demikian, kita perlu mengingat bahwa penerima surat sedang menghadapi bahaya gaya hidup antinomianistik (lit. ‘anti hukum’) yang bersumber dari kesombongan intelektual atau spiritualisme yang keliru. Maksudnya, Yohanes sedang menyerang konsep tersebut dengan menyatakan bahwa kebenaran dan gaya hidup yang benar adalah tidak terpisahkan.
Lebih jauh lagi, Yohanes sebenarnya sedang mengajarkan sebuah doktrin yang penting di sini, yaitu sumber dari tingkah laku yang benar. “Benar” di ayat ini sebaiknya dipahami secara lebih mendasar. Ini bukan tentang tindakan saja, melainkan status, karakter, atau hakekat seseorang. Seseorang bertingkah laku benar karena ia memang adalah orang benar.
Makna ini didukung oleh pertimbangan konteks. Pertama, Yohanes mengaitkan ‘benar’ ini dengan kebenaran Kristus (ayat 7b). Sebelumnya ia sudah menjelaskan bahwa siapa yang menaruh pengharapan kepada Kristus menyucikan diri sama seperti Dia adalah suci (3:3). Dengan kata lain, kebenaran Kristus diperhitungkan kepada orang-orang percaya sehingga mereka memiliki status yang benar dan mampu melakukan tindakan yang benar (1:29). Kedua, Yohanes mengontraskan ‘benar’ dengan ‘berdosa’ di ayat 8a. Di ayat ini ia menyoroti asal-usul orang berdosa, yaitu Iblis. Seandainya asal-usul ‘dosa’ ditarik ke belakang sampai kepada Iblis (ayat 8a), maka sangat wajar apabila asal-usul ‘kebenaran’ juga dikaitkan dengan Kristus (ayat 7b). Perhatikan paralelisme berikut ini:
Barangsiapa melakukan kebenaran >< barangsiapa tetap berbuat dosa
Adalah benar >< berasal dari Iblis
Sama seperti Kristus adalah benar >< sebab Iblis berbuat dosa dari mulanya
Ketiga, Yohanes menghubungkan kebenaran dan keberdosaan dengan status sebagai anak, entah anak-anak Allah atau anak-anak Iblis (ayat 10a). Sebutan ‘anak’ di sini jelas merujuk pada sumber keberadaan (bdk. ayat 9a ‘setiap orang yang lahir dari Allah’). Konsep yang mirip dengan ini juga ditemukan dalam tulisan masyarakat Qumran (1QS 1:18; 2:5, 19; 3:20-23)
Yohanes tampaknya memang menekankan sumber dari tindakan seseorang. Beberapa kali ia menegaskan bahwa barangsiapa berasal dari Allah, maka orang itu harus memancarkan sifat yang sama dengan Allah, misalnya hidup di dalam terang (1:5-7) dan kasih (4:7-8). Begitu pula dengan dosa. Di 3:12 Yohanes menerangkan bahwa pembunuhan yang dilakukan Kain bersumber dari kondisi kerohanian Kain yang sangat mengenaskan. Kain berasal dari Iblis (ayat 12a). Penyebab pembunuhan bukan hanya iri hati, tetapi segala perbuatan Kain memang sudah jahat dari semula (ayat 12b). Pendeknya, tindakan seseorang hanyalah cerminan dari hatinya, sama seperti Tuhan Yesus sendiri pernah mengajarkan: “dari buahnyalah kamu mengenal mereka” (Mat 7:16-17).
Sumber kebenaran (ayat 8b-10)
Bagaimana seseorang dapat hidup dalam kebenaran? Yohanes mengajarkan dua solusi. Yang pertama bersifat obyektif (karya penebusan Kristus dalam sejarah, ayat 8b), yang kedua subyektif (pengalaman kelahiran kembali dalam hati kita, ayat 9-10).
Pertama, karya penebusan Kristus (ayat 8b). Dari sisi sintaks, konstruksi kalimat di ayat 8b tampak tidak biasa. Peletakan ‘untuk inilah’ (eis touto) di depan ayat 8b dan diikuti oleh kata sambung ‘supaya’ (hina) dimaksudkan sebagai penekanan: kontras antara hakekat pekerjaan Iblis dan Anak Allah.
Penyataan Tuhan Yesus dalam surat 1 Yohanes bisa merujuk pada kedatangan yang pertama di dalam daging (1:2; 3:5, 8) atau yang kedua di dalam kemuliaan (2:28; 3:2). Berdasarkan bentuk lampau di ayat 8b, kita sebaiknya memahami penyataan diri Kristus di sini dalam konteks inkarnasi-Nya. Walaupun demikian, penyataan diri ini tidak boleh dibatasi pada kelahiran-Nya saja. Di bagian lain tatkala Yohanes berbicara tentang Bapa yang mengutus Anak-Nya ke dalam dunia, ia juga menyinggung tentang karya penebusan Kristus (4:9-10). Dengan kata lain, penyataan diri Kristus mencakup seluruh kehidupan dan pelayanan Kristus di dunia.
Tujuan dari penyataan Kristus adalah untuk membinasakan pekerjaan-pekerjaan Iblis (ayat 8b). Apa yang dimaksud dengan ‘pekerjaan-pekerjaan Iblis’? Pertimbangan konteks mengarahkan kita untuk memahami ini sebagai ‘dosa’. Ayat 8a sudah menyinggung tentang Iblis sebagai sumber dosa. Di ayat 5 dikatakan: “Ia telah menyatakan diri-Nya supaya Ia menghapus segala dosa” (perhatikan kesamaan kata ‘menyatakan diri’ = ephanerōthē di ayat ini dan 8b). Pemusnahan dosa ini dilakukan melalui penebusan Kristus di kayu salib (1:7; 2:2; 4:10).
Mengapa pekerjaan-pekerjaan Iblis perlu dibinasakan dahulu supaya manusia dapat hidup dalam kebenaran? Di akhir suratnya Yohanes mengatakan bahwa seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat (5:19). Iblis berusaha menjamah setiap orang di muka bumi ini (5:18). Dalam Injil Yohanes pun dijelaskan bahwa kematian Kristus adalah untuk mengalahkan Iblis sebagai penguasa dunia ini (12:31).
Kedua, kelahiran kembali (ayat 9-10). Bentuk keterangan waktu perfek pada kata ‘dilahirkan’ (gegennēmenos/gegennētai) menyiratkan tindakan yang terjadi di masa lampau tetapi dampaknya masih sampai sekarang. Dengan kata lain, proses kelahiran kembali yang terjadi dalam diri kita yang paling dalam memang tidak dapat dilihat, namun akibat dari proses itu tetap tampak.
Poin ini merupakan keunikan lain dari solusi Kristiani terhadap persoalan dosa. Apa yang dilakukan Kristus di kayu salib tidak akan bermanfaat apa-apa jikalau karya itu tidak teraplikasi dalam hidup kita melalui kelahiran kembali. Dalam surat 1 Yohanes kesalehan orang percaya secara konsisten ditampilkan sebagai bukti dari kelahiran kembali (2:29; 4:7). Begitu pula iman seseorang merupakan bukti bahwa ia sudah mengalami kelahiran kembali (5:1). Orang yang masih menjadi anak-anak Iblis tidak akan mungkin memiliki hasrat untuk melawan dan meninggalkan dosa. Ia akan melakukan apa yang bapanya kehendaki (bdk. Yoh 8:44). Allah perlu melahirbarukan seseorang lebih dahulu supaya ia mampu mempercayakan diri kepada Allah (bdk. Yoh 3:3-5).
Melalui iman yang timbul dari kelahiran kembali, orang-orang percaya dimampukan untuk mengalahkan dunia (5:4-5). Walaupun penguasa dunia ini berusaha menjamah kita, tetapi dia tidak akan mampu melakukan hal itu, karena kita lahir dari Allah dan dilindungi Kristus yang lahir dari Allah juga (5:18-19). Kita telah mengalami perubahan status dari anak Iblis menjadi anak Allah.
Sebagai hasil dari proses di atas, orang-orang yang sudah dilahirkan kembali tidak berbuat dosa (ayat 9a) dan tidak dapat berbuat dosa lagi (ayat 9b). Ayat ini sekilas berkontradiksi dengan pengalaman hidup kita sebagai orang percaya. Kita kadangkala masih berdosa. Kalau demikian, bagaimana kita memahami ayat ini?
Kita perlu menyadari bahwa kata kerja ‘tidak berbuat dosa’ (hamartian ou poieu) dan ‘tidak dapat berdosa’ (ou dynatai hamartanein) di sini (juga di 5:18) mengindikasikan tindakan yang terus-menerus atau merujuk pada suatu kebiasaan. Sebagai orang yang memiliki benih ilahi, kita tidak mungkin mengadopsi gaya hidup yang berdosa. Yohanes tidak mungkin mengajarkan bahwa orang Kristen tidak berbuat dosa, karena ia secara eksplisit sudah menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang tidak berdosa (1:8, 10). Ia bahkan mendorong orang percaya yang jatuh ke dalam dosa untuk mengakui dosa-dosa itu sehingga diampuni dan disucikan (1:9). Perbedaannya, dosa-dosa orang Kristen tidak termasuk yang mendatangkan maut (5:16-17), karena tidak menjadi sebuah pola hidup. Setiap orang percaya pasti akan membenci dan memerangi dosa. Setiap kali kita berdosa dan mengakuinya dengan sungguh-sungguh, Allah yang setia pasti akan memberikan pengampunan (1:9).
Ajaran lain di luar kekristenan hanya terfokus pada deretan peraturan moralitas yang harus dilakukan atau dihindari. Yang lain menekankan pada upaya manusia untuk mematikan semua keinginan dalam diri seseorang. Yang lain lagi berusaha mengasingkan diri dari semua godaan yang ada. Upaya-upaya ini tidak akan membuahkan hasil. Mengapa?
Inti persoalan terletak pada dua hal: Iblis dan natur kita yang berdosa. Sebagai penguasa dunia ini, tidak ada satu manusia pun yang tahan berdiri mengalahkan Iblis. Si jahat sangat cerdik dan sudah sangat berpengalaman. Semua manusia di dunia ini – kecuali Tuhan Yesus – sudah ia kalahkan. Natur kita yang berdosa juga turut memperburuk situasi kita. Semua yang ada pada kita sudah tercemar oleh dosa (Rom 3:10-20). Persoalan kita bukan pada ketidaktahuan tentang kebenaran, tetapi penindasan terhadap kebenaran itu (Rom 1:19-20).
Dosa hanya bisa diatasi melalui penebusan Kristus di kayu salib dan kelahiran kembali dalam diri kita. Penebusan Kristus mengatasi faktor eksternal (pengaruh Iblis atas dunia), sedangkan kelahiran kembali menyelesaikan faktor internal (natur yang berdosa). Tatkala kita sampai di surga kelak, natur kita yang berdosa akan dipulihkan sepenuhnya. Kelahiran kembali merupakan cicipan yang manis dan peneguhan bahwa natur yang berdosa bukanlah titik akhir bagi kita.
Soli Deo Gloria.