Semua orang pasti pernah berada dalam situasi yang buruk. Sebagian mungkin berada dalam penderitaan, yang lain mungkin berada di tengah perselisihan. Di tengah situasi yang buruk sebagian orang cenderung menyikapi keadaan dengan cara yang buruk juga. Mereka menyalahkan orang lain. Tidak bisa menerima keadaan. Tidak jarang mereka bahkan menjadikan keadaan yang buruk sebagai pembenaran bagi sikap mereka yang buruk.
Teks hari ini mengajarkan sikap yang berbeda. Kita tidak boleh kalah dengan keadaan. Respons kita tidak boleh ditentukan oleh keadaan. Kuncinya di sini adalah cara pandang (perspektif). Keadaan yang sama bisa dipandang secara berbeda dengan lensa yang berbeda pula. Jadi, yang paling perlu untuk diubah adalah cara pandang terhadap suatu keadaan. Mereka yang terlalu ngotot mengubah keadaan justru sering kehilangan gambaran besar.
Situasi yang buruk tidak menghalangi Paulus untuk memberikan sikap yang baik. Kuncinya terletak pada perspektif teosentris (lihat pemunculan kata “Tuhan,” “Allah,” dan Kristus Yesus” di ayat 4, 5, 6, 7). Hanya perspektif dari atas yang memampukan Paulus untuk menyikapi semua keadaan ini dengan baik. Sikap positif apa saja yang muncul dari cara pandang yang dari atas ini?
Bersukacita di dalam Tuhan (ayat 4)
Nasihat untuk bersukacita muncul berkali-kali dalam surat ini (1:4, 18, 25; 2:17-18, 28-29; 4:10). Beberapa muncul dalam kalimat pernyataan, beberapa dalam kalimat perintah. Hanya di 4:4 Paulus memberikan perintah ini sebanyak dua kali: “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” Pengulangan ini jelas menyiratkan sebuah penegasan. Banyak orang mungkin tidak mampu menemukan alasan untuk bersukacita di tengah situasi yang buruk. Mereka perlu diberi dorongan dan alasan.
Jika kita sedang menghadapi persoalan yang berat dan mendengar nasihat seperti ini dari orang lain, kita mungkin akan menganggap orang tersebut terlalu menggampangkan masalah. Kita menilai orang tersebut peka terhadap perasaan kita. Bersukacita dalam segala keadaan? Mustahil! Begitu kita memahami bahwa yang memberikan nasihat ini – yaitu Paulus – sedang dalam persoalan yang berat, kita langsung membuang anggapan di atas.
Pada saat Paulus menulis surat Filipi dia sedang berada di dalam penjara (1:12-13). Selama pemenjaraannya sebagian orang mencoba menambah bebannya di penjara dengan cara memberitakan Injil secara tidak tulus (1:17). Dia belum mengetahui apakah dia nanti akan dihukum mati atau dibebaskan oleh kaisar.
Jemaat Filipi yang dia cintai juga bukan dalam keadaan yang baik-baik saja. Mereka masih menghadapi penganiayaan (1:27-30). Mereka mengalami masalah relasional (2:1-4; 4:1-3). Ancaman ajaran sesat juga ada di depan mata (3:1-3).
Alasan yang diberikan oleh Paulus untuk bersukacita adalah “di dalam Tuhan.” Konsep “di dalam Tuhan” atau “di dalam Kristus” berkali-kali muncul dalam tulisan Paulus. Maknanya cukup beragam. Salah satunya mengarah pada kedaulatan Allah. Paulus menyerahkan rencana dan keyakinannya “di dalam Tuhan” (2:19, 24). Jemaat akan mampu berdiri teguh jika berdiri “di dalam Tuhan” (4:1). Ketika menerima persembahan dari jemaat, Paulus bersukacita “di dalam Tuhan” (4:10). Dia menyadari bahwa Allah yang berdaulat telah menggerakkan jemaat Filipi untuk memberi. Jadi, kita perlu mengingat bahwa Sumber sukacita kita adalah kedaulatan TUHAN atas segala keadaan, bukan selalu pada perubahan keadaan yang Dia mungkin lakukan.
Berbuat baik karena Tuhan (ayat 5)
Ketika kita berada dalam keadaan yang pahit kita seringkali menjadi pribadi yang pahit. Kita menjadi pribadi yang menjengkelkan bagi orang-orang di sekeliling kita. Tidak jarang kita malah melukai orang lain sebagai reaksi kemarahan dan kekecewaan kita.
Paulus menasihati kita untuk menunjukkan kebaikan hati kita di depan semua orang. Apa yang dimaksud kebaikan hati di sini? Mengapa terlihat di depan semua orang? Apakah itu tidak bertabrakan dengan nasihat Tuhan Yesus bahwa kita dilarang memamerkan kebaikan kita di depan orang (Mat. 6:1-4)?
Kata “kebaikan hati” (epieikes) tidak merujuk pada pemberian sesuatu kepada orang lain. Kata ini seringkali muncul dalam konteks perselisihan (Tit. 3:2; Yak. 3:17). Dalam beberapa konteks, kata epieikes dikontraskan dengan sikap pemarah (1Tim. 3:3) atau bengis (1Pet. 2:18). Versi Inggris memberikan terjemahan yang berlainan untuk kata ini: reasonableness (ESV), moderation (KJV), gentle spirit/gentleness (NIV/NASB), forbearance (RSV). Intinya terletak pada sikap yang tidak reaktif di tengah relasi yang buruk. Kita berpikir panjang dalam menyikapi suatu persoalan.
Rahasia untuk tetap tenang dalam segala keadaan adalah “Tuhan sudah dekat” (ayat 5b). Sekilas kita mungkin memahami frasa ini sebagai rujukan pada kedatangan Kristus yang kedua kali. Penyelidikan yang lebih teliti ternyata tidak mengarah ke sana. Rujukan pada kedatangan di akhir zaman dalam Alkitab biasanya ditambahi kata “kedatangan” (parousia) atau “hari/saat” (hōra). Tambahan seperti ini tidak muncul di Filipi 4:5 (bdk. Yak. 5:8; 1Pet. 4:7).
Yang dimaksud oleh Paulus di ayat ini adalah penyertaan dan intervensi Tuhan ke dalam situasi spesifik yang sedang kita hadapi. “Tuhan dekat” berarti Dia menyertai kita. “Tuhan sudah dekat” berarti Dia segera akan bertindak. Kita tidak sendirian. Allah sedang mengontrol keadaan kita.
Kesadaran tentang siapa yang memegang kontrol atas hidup kita ini akan menolong kita untuk tidak reaktif dalam keadaan seburuk apapun. Kita tidak mudah marah, jengkel, kecewa, atau putus asa karena kita meyakini bahwa Tuhan mengendalikan keadaan kita.
Tidak kuatir dalam segala keadaan (ayat 6-7)
Keadaan buruk berpotensi bukan hanya untuk merampas sukacita dan sikap baik dalam diri kita. Keadaan buruk juga seringkali menumbuhkan kekuatiran dan ketakutan. Di tengah situasi seperti ini Paulus menasihatkan kita untuk tidak kuatir.
Kata kerja “kuatir” (merimnaō) pada dirinya sendiri tidak selalu mengandung arti yang negatif. Kata ini bisa berarti negatif (“memikirkan suatu kepentingan”; concern) atau positif (“merasa kuatir”; worry). Timotius dipuji oleh Paulus karena memikirkan kepentingan (merimnaō) jemaat Filipi. Yang jadi masalah adalah jika kadar memikirkan kepentingan ini berlebihan. Jika kadarnya berlebihan, di situ telah terjadi perubahan dari “perhatian” (concern) menjadi “kekuatiran” (anxiety).
Kekuatiran perlu diwaspadai dan dilawan. Paulus memberikan cara untuk menaklukkan kekuatiran: “nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (4:6b). Dalam teks Yunani frasa “nyatakanlah kepada Allah” sengaja diletakkan di bagian terakhir, karena bukan itu yang sedang ditekankan di sini. Jemaat Filipi pasti akan menyatakan persoalan kepada Tuhan. Mereka tidak perlu dinasihati untuk melakukan itu.
Yang ditekankan oleh Paulus adalah bagaimana mereka seharusnya menyatakan hal itu kepada Allah. Paulus memberikan penjelasan yang cukup panjang: dalam segala hal, dalam doa, dalam permohonan, dan dengan ucapan syukur. Penjelasan ini mengajarkan bahwa berdoa tidak identik dengan memohon. Doa lebih luas daripada sekadar meminta. Itulah sebabnya Paulus membedakan antara “dalam doa” dan “dalam permohonan.” Doa bukan hanya tentang permohonan, tetapi membangun hubungan. Persandaran, bukan penyampaian tuntutan. Di dalam doa kita menyatakan segalanya (“dalam segala hal”), bukan hanya permintaan. Kita bisa sekadar mencurahkan isi hati kepada Allah. Kita bisa sekadar menikmati pembicaraan dengan Dia.
Yang tidak kalah penting, doa juga harus dilakukan dengan ucapan syukur. Kebenaran ini kelihatannya sederhana, tetapi sering kita lupakan. Kita kadangkala meminta dengan tuntutan, kekecewaan, kemarahan, bahkan ancaman kepada Tuhan. Sikap seperti ini menyiratkan bahwa kita kurang memahami kebaikan Tuhan. Hati yang bersyukur mengikis kekuatiran karena terus mengingat kebaikan dan kesetiaan TUHAN di sepanjang jalan. Bukan hanya itu, seberapa besar ucapan syukur kita kepada TUHAN ditentukan oleh seberapa besar kita meyakini kebaikan-Nya dalam segala keadaan.
Ketika kita menyampaikan semua isi hati kita kepada Allah dalam doa dengan penuh ucapan syukur, Allah menjanjikan kedamaian yang melampaui segala akal. Allah akan menjaga hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus (4:7). Tambahan “dalam Kristus Yesus” di sini sangat penting. Kedamaian tidak terpisahkan dari Kristus. Kristus pernah menyediakan kedamaian yang melampaui segala akal (yaitu kita didamaikan dengan Allah), Dia juga akan selalu menyediakan kedamaian yang sama untuk persoalan yang berbeda. Inilah yang menjadi alasan bagi keyakinan kita bahwa janji Allah untuk memberikan kedamaian pasti akan dilaksanakan. Tuhan sudah pernah melakukan. Dia akan melakukannya lagi.
Sebagai penutup, kita perlu menegaskan bahwa di sini Allah tidak berjanji untuk mengubah keadaan kita. Dia hanya berjanji akan memberikan kedamaian yang melampaui akal bagi kita. Keadaan mungkin tidak berubah, tetapi kita akan tetap diberi kedamaian. Dengan kata lain, yang TUHAN janjikan adalah penjagaan (hati dan pikiran), bukan selalu perubahan (keadaan). Soli Deo Gloria.
Photo by Jonathan Bean on Unsplash