Eksposisi Filipi 4:2-3

Posted on 27/03/2022 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/04/Eksposisi-Filipi-4-2-3.jpg Eksposisi Filipi 4:2-3

Tidak ada gereja yang sempurna. Kalimat ini terkesan terlalu klise dan tidak perlu diucapkan. Ya memang klise, namun sebagian orang masih saja kaget melihat dosa yang terjadi dalam gereja. Isu ini bahkan menjadi sorotan tajam apabila dosa tersebut dilakukan oleh rohaniwan atau pemimpin gereja lainnya.

Jemaat Filipi juga tidak dikecualikan dalam hal ketidaksempurnaan ini. Secara umum mereka tergolong jemaat yang sangat baik. Mereka sangat dekat dan mengasihi Paulus. Mereka terlibat aktif dalam pekabaran Injil. Walaupun demikian, mereka masih terjebak pada perselisihan. Tidak heran beberapa kali dalam surat ini Paulus menasihati mereka untuk mempertahankan kesatuan di antara mereka (1:27; 2:1-4; 4:2-3).

Teks hari ini menunjukkan bahwa perselisihan juga terjadi pada tingkat atas, yaitu di antara para pemimpin jemaat. Penyebutan dua nama perempuan – Euodia dan Sintikhe – di 4:2 menyiratkan bahwa mereka bukan orang sembarangan. Perempuan biasanya tidak akan disebutkan secara khusus jika tidak benar-benar dianggap penting.

Keberadaan pemimpin perempuan di Filipi sebenarnya tidak terlalu mengagetkan. Sejak awal perintisan jemaat di sana para petobat awal memang perempuan (Kis. 16:12-15). Bahkan pergerakan Injil di sana sangat terbantu oleh Lidia, pengusaha kain dan petobat baru. Lidia menjadi figur “pelindung” (patronage) yang menyediakan tempat perteduhan, makanan, dan keamanan bagi Paulus dan jemaat lainnya. Euodia dan Sintikhe sangat mungkin merupakan jemaat awal yang akhirnya memperoleh penghormatan atau posisi terpandang di antara jemaat Filipi. Beberapa penafsir menduga dua orang ini termasuk penatua atau diaken di Filipi (bdk. 1:1), tetapi dugaan ini hanyalah spekulasi yang sukar untuk dibenarkan atau disalahkan. Tidak ada petunjuk dalam teks yang memadai untuk menebak posisi Euodia dan Sintikhe.

Petunjuk yang terbatas dalam teks juga menghalangi kita untuk mengetahui dengan pasti bentuk dan alasan perselisihan antara dua perempuan ini. Seburuk apakah relasi antara dua orang ini? Mengapa mereka berselisih? Kita tidak mungkin bisa menjawab dengan pasti.

Terlepas dari keterbatasan petunjuk yang ada, kita memiliki alasan yang memadai untuk menduga bahwa perselisihan ini tidak bersifat personal maupun tipikal permasalahan perempuan. Penyebutan nama di depan umum menyiratkan bahwa persoalan ini berhubungan dengan kepentingan seluruh jemaat. Secara lebih khusus, persoalan ini sangat mungkin berkaitan dengan pekerjaan pemberitaan Injil. Ada beberapa hal yang mengarah pada dugaan ini. Di 4:3 Euodia dan Sintikhe disebut dalam kapasitas sebagai para pejuang Injil (“mereka telah berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil”). Nasihat untuk bersatu juga sudah muncul sebelumnya dalam konteks pemberitaan Injil (1:27b “bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil”). Selain itu, orang yang Paulus minta untuk membantu Euodia dan Sintikhe juga seorang pekerja Injil (4:3 “temanku yang setia” = lit. “sesama penanggung kuk yang setia”; KJV/RSV/NIV). Jadi, dalam kasus ini, Paulus membicarakan sebuah persoalan bersama di depan publik. Dia tidak sedang menjelekkan nama Euodia maupun Sintikhe. Dia tidak sedang mengumbar persoalan personal seseorang ke ruang publik.

Bagaimana Paulus menyikapi perselisihan antar pemimpin dalam jemaat Filipi? Apa yang kita bisa pelajari sebagai pedoman dalam penyelesaian sebuah perselisihan? Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan di sini.

 

Menjadikan Tuhan sebagai landasan persatuan (ayat 3)

Perbedaan pendapat tidak terelakkan. Masing-masing orang memiliki pengetahuan, cara pandang, pengalaman, dan tingkat kedewasaan yang berlainan. Namun, tidak semua perbedaan harus berujung pada perselisihan.

Perbedaan adalah netral. Perbedaan bisa menjadi sebuah kekayaan sekaligus persoalan. Yang menentukan adalah sikap yang benar terhadap perbedaan.

Sebagai orang Kristen, kita harus “sehati sepikir di dalam Tuhan” (to auto phronein en kyriō). Kata phronein (dari kata phroneō) sebenarnya lebih mengarah pada “memikirkan” atau “berpikir” (1:7; 2:2, 5; 3:15, 19; 4:2, 10), kurang berhubungan dengan perasaan atau hati (kontra LAI:TB). Nah, apa arti to auto phronein (lit. “berpikir yang sama”)? Sebagian penerjemah Alkitab memahami frasa ini dalam arti “saling setuju” (RSV/NIV/ESV). Tafsiran ini tampaknya kurang tepat. Bahasa Yunani mengenal beberapa kata yang secara lebih tegas mengarah pada persetujuan (misalnya syneudokeō atau symphēmi), tetapi Paulus tidak menggunakan kata-kata tersebut di 4:2. Di samping itu, kata kerja phroneō yang disertai dengan to auto sudah muncul di 2:2a (“karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir”) dan dikenakan pada seluruh jemaat. Tidak mungkin Paulus berharap bahwa semua jemaat pada setiap waktu selalu setuju tentang segala sesuatu. Yang dimaksudkan oleh Paulus lebih ke arah bagaimana seseorang, bukan apa yang dipikirkan. Jadi, ini tentang cara berpikir atau sikap hati seseorang.

Cara berpikir di 4:2 dikaitkan dengan Kristus (4:2 “sehati sepikir di dalam Tuhan”). Dengan kata lain, jemaat Filipi diperintahkan untuk memiliki kesatuan pemikiran di dalam Kristus. Nasihat ini sudah diungkapkan Paulus sebelumnya di 2:5 (“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus”). Secara hurufiah ayat ini berbunyi: “pikirkan (phroneō) ini di antara kalian yang juga ada di dalam Kristus”. Lalu Paulus menceritakan tentang kerendahhatian Kristus yang luar biasa. Kristus rela meninggalkan sorga yang mulia dan membatasi hakikat-Nya sebagai Allah supaya bisa hidup bersama dengan manusia dan melayani manusia sampai mati di atas kayu salib (2:6-8). Dalam konteks ini terlihat jelas bahwa yang disorot adalah cara berpikir atau sikap hati, bukan sekadar apa yang dipikirkan oleh Kristus. Cara berpikir atau sikap hati yang sama seringkali melahirkan pendapat yang sama. Memang bukan jaminan bagi persetujuan, tetapi pencegahan bagi perselisihan.

 

Menerima bantuan dari pihak lain yang bisa dipercaya (ayat 3a)

Paulus tidak hanya mengirimkan sebuah surat untuk dibacakan di depan seluruh jemaat. Dia tidak sekadar memberikan nasihat kepada Euodia dan Sintikhe untuk memiliki kesatuan pemikiran. Dia menyediakan bantuan yang lain, yaitu seseorang yang diharapkan bisa menolong dua perempuan tersebut untuk bersatu di dalam Tuhan.

Identitas penolong ini dalam teks Yunani sebenarnya tidak terlalu jelas. Dalam teks Yunani kata yang muncul adalah gnēsie syzyge. LAI:TB memberi terjemahan “Sunsugos, temanku yang setia” (4:3a). Penerjemah LAI:TB menduga bahwa syzyge adalah nama orang. Dugaan ini, sayangnya, patut diragukan. Dalam budaya Yahudi maupun Romawi syzyge bukanlah nama orang. Itulah sebabnya hampir semua versi Inggris tidak ada yang memahami syzyge sebagai nama orang. Berbagai versi memilih “teman perjalanan” (NASB/ESV/NLT) atau “sepenanggung kuk” (YLT/RSV/NIV).

Siapa yang dimaksud oleh Paulus di sini? Ada banyak spekulasi yang dimunculkan (Epafroditus, Timotius, Lukas, dsb), tetapi semua hanyalah dugaan semata-mata. Sebagian penafsir lebih memilih gnēsie syzyge sebagai rujukan untuk siapa saja di antara jemaat Filipi. Dengan kata lain, Paulus tidak sedang membicarakan seseorang secara personal (namanya), melainkan secara kategorikal (orang seperti apa). Maksudnya, siapa saja yang memenuhi persyaratan sebagai rekan perjalanan/penanggung kuk yang sungguh-sungguh.

Terlepas dari tafsiran mana yang lebih tepat, fokus Paulus memang bukan pada identitas atau nama orangnya, melainkan pada apa yang dilakukan oleh orang itu bagi Injil. Orang itu adalah pekerja Injil yang sudah terbukti kesungguhannya. Kesungguhan dalam memberitakan. Kesungguhan dalam menderita bagi Injil. Kriteria ini sangat diperlukan karena yang ditolong adalah dua orang yang sama-sama bekerja bagi Injil. Lagipula, persoalan yang diselesaikan juga berhubungan dengan pekerjaan Injil.

Poin ini mengajarkan kita untuk mau melibatkan orang lain jika kita memang tidak mampu menyelesaikan sebuah persoalan sendirian. Tidak perlu enggan apalagi malu untuk mengakui bahwa kita memang membutuhkan bantuan. Yang terpenting, orang yang diminta sebagai mediator harus memiliki kompetensi yang sesuai dan yang dipercayai oleh dua pihak. Melibatkan orang yang tidak tepat dalam penyelesaian sebuah persoalan hanya akan membuat persoalan itu menjadi lebih hebat.

 

Menyoroti kelebihan orang lain atau kesamaan dengan orang lain (ayat 3b)

Beberapa orang cenderung bersikap tidak objektif dalam melihat sebuah persoalan. Mereka gagal melihat persoalan secara keseluruhan. Hal-hal yang baik pada diri orang lain atau fakta-fakta yang tidak sesuai dengan pemikirannya diabaikan, bahkan disangkali. Salah satu indikator kuat bahwa seseorang telah bersikap tidak objektif adalah kegagalannya dalam melihat hal-hal positif pada diri orang lain.

Sebagian orang juga cenderung lebih menyoroti perbedaan dirinya dengan orang lain daripada kesamaan-kesamaan yang ada. Satu perbedaan bisa mengaburkan sepuluh kesamaan. Ini merupakan sikap yang merugikan. Mereka yang lebih menyoroti perbedaan daripada kesamaan akan semakin kehilangan harapan dalam menyelesaikan perselisihan.

Paulus mengajarkan kepada kita untuk mengapresiasi hal-hal positif dalam diri orang lain. Dia memuji Euodia dan Sintikhe sebagai orang-orang yang “telah berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil.” Kebaikan yang sudah dilakukan akan terus dikenang. Tidak ada kesalahan atau perselisihan yang bisa meniadakan. Dengan yakin Paulus mengatakan bahwa nama-nama mereka tercatat dalam kitab kehidupan. Dia tidak pernah meragukan iman Euodia dan Sintikhe.

Paulus juga berusaha untuk menyoroti kesamaan-kesamaan yang ada. Frasa “telah berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil” menyiratkan kesamaan dengan Paulus dalam panggilan dan cara pelayanan. Euodia dan Sintikhe bukan pekerja yang asal-asalan. Bukan mencari kepentingan sendiri, melainkan kemajuan Injil. Tidak lupa dia juga memperbesar kesamaan yang ada dengan menyertakan lebih banyak orang (“bersama-sama dengan Klemens dan kawan-kawanku sekerja yang lain”). Dengan kata lain, Paulus meletakkan Euodia dan Sintikhe sebagai bagian penting dalam pelayanannya. Nilai penting mereka sama dengan semua rekan pelayanan Paulus yang lain.

Injil memberikan kesamaan yang fundamental: sama-sama berdosa dan sama-sama diselamatkan oleh kasih karunia. Yang benar-benar dihidupkan oleh Injil tidak akan memberi ruang bagi diri sendiri untuk merasa lebih benar. Melalui lensa Injil kita dimampukan untuk melihat kesalahan dan kelemahan diri sendiri secara lebih jelas. Dengan demikian kita akan lebih mudah menghargai kelebihan orang lain dan mensyukuri kesamaan dengan orang lain. Soli Deo Gloria.

Photo by Rosie Sun on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community